Bagi
bangsa Arab Jahiliyah, persoalan agama mungkin bukan termasuk persoalan yang
sangat urgen dalam kehidupan mereka, sehingga tidak banyak, atau bahkan jarang
sekali syair-syair Jahiliyah yang berbicara tentang kehidupan beragama.
Kemungkinan lainnya adalah, ajaran agama saat itu belum sampai ke tangan mereka. Namun demikian, hal ini tidak berarti mereka sama sekali tidak
menganut sistem kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat ghaib, sebab terbukti
dalam syair mereka dijumpai beberapa simbol keagamaan meski dalam bentuk yang
paling sederhana. Namun sebelum membahas lebih lanjut tentang simbol-simbol
keagamaan dalam syair Jahiliyah, terlebih dahulu dibahas tentang kategorisasi
syair Jahiliyah. Masing-masing
kategori mewakili struktur sosial yang
berkembang di kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah saat itu.
A. Kategorisasi Syair Jahiliyah
Berdasarkan
struktur sosial, masyarakat Arab Jahiliyah terbagi ke dalam dua unsur yang satu
sama lain sangat kontradiktif. Pertama penduduk perkotaan (Hadhari) yang
hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan.[1]
Kedua adalah masyarakat pedesaan (Badawi), yang memiliki kehidupan
sebaliknya. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak
pernah lepas dari gejolak.[2]
Sedangkan secara genealogis[3]
dan geografis, bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu Arab bagian
Utara yang disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan yang
disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan
kaum Adnan karena mereka berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan
Ismail bin Ibrahim as.[4]
Bangsa Yaman (Arab Selatan) inilah yang oleh penulis buku ‘Buhûts fi al-Adab
al-Jâhili’ dikategorikan sebagai kelompok hadlari dalam struktur
sosial bangsa Arab.[5]
Sedangkan bangsa Arab Utara (Hijaz) meskipun di dalamnya terdapat beberapa
kerajaan kecil (keturunan Adnan) seperti; kerajaan Gassan di Syam (protektorat
kerajaan Romawi), kerajaan Hirah di Irak (protektorat kerajaan Persia), dan
kerajaan Kindah di Hadlramaut (Arab Tengah), menurut Jurji Zaidan sebagian
besar kabilahnya masih bersifat badawi, kecuali yang berada di
pusat-pusat kerajaan.[6]
Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas penduduk Arab
Jahili, selain bangsa Yaman adalah masyarakat yang hidup secara nomaden (badawi).
Penduduk badawi
sendiri, oleh sejarawan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ghair Sha`âlîk
dan Sha`âlîk. Pembagian seperti ini terkait erat dengan sistem kabilah
yang mereka anut, yaitu adanya stratifikasi sosial antara satu golongan dengan
golongan lainnya, yang terdiri dari; abnâ’ al-qabîlah[7],
abîd[8],
dan al-mawâlî.[9] Al-mawâlî
sendiri terdiri dari hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan juga al-Khulâ’â
(orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) yang di antaranya adalah kelompok
Sha’alik.[10]
Berdasarkan
kategorisasi-kategorisasi sosiologi di atas, para ahli sastra Arab akhirnya
mengklasifikasikan para penyair Jahili ke dalam beberapa kelompok, sebagai
contoh penulis buku Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi menyebutkan
sebanyak delapan belas penyair Arab Jahili yang kemudian ia bagi ke dalam enam
kategori, yaitu: penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk
dan ghair Sha’âlîk, penyair bangsawan, penyair istana atau penyair
komersil, penyair filsuf (hikmah), penyair religi (madzhab), dan
penyair perempuan.[11]
Selain berdasarkan pertimbangan kandungan syair, tampak jelas bahwa pembagian
tersebut juga terutama didasarkan pada aspek-aspek sosial dan budaya.
Adapun
yang dimaksud dengan penyair bangsawan atau Raja, yaitu penyair yang berasal
dari kalangan atas dan keturunan kerajaan, bukan penyair kerajaan yang biasanya
menjadikan syair sebagai alat mencari nafkah. Para ahli sastra biasanya hanya
menyebutkan satu nama untuk kategori ini, yaitu Umru al-Qais[12] (500-540
M). Meskipun kurang representatif[13],
Umru al-Qais dapat mewakili satu sisi kehidupan kelompok hadlari. Ia
mewakili sisi gelap kehidupan istana yang serba gemerlap dan hidup
bersenang-senang.
Dalam
dunia sastra, Umru al-Qais memiliki sejumlah syair yang terangkum dalam Dîwan
Umru al-Qais. Syair-syair Umru al-Qais sendiri banyak yang dijadikan sebagai
syair al-mu’allaqat. Dalam syairnya Umru al-Qais memiliki karakteristik
tersendiri seperti, banyak menggunakan tasybîh, isti’ârah, dan kinâyah[14].
Kategori
penyair yang kedua adalah penyair Sha’alik. Masyarakat Badawi merupakan
mayoritas penduduk bangsa Arab Jahiliyah. Mereka adalah kabilah yang biasa
hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang dianggap subur
dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti ini menimbulkan
fanatisme kesukuan yang sangat berlebihan, sehingga ketika bersentuhan dengan
kabilah lain dan merasa dirugikan yang terjadi adalah perang antar kabilah.
Perang bagi mereka adalah makanan sehari-hari.
Di
antara masyarakat Badawi ini muncul kelompok baru yang disebut dengan al-
Sha’âlîk yang memiliki norma dan aturan tersendiri. Sebagaimana disebutkan
dalam bab tiga sebelumnya bahwa, di suatu kabilah terdiri dari beberapa
stratifikasi sosial, yaitu: abnâ al-qabîlah, yakni anggota kabilah yang
memiliki ikatan darah dan keturunan dan merupakan pilar kabilah, Abîd
atau hamba sahaya, al-Mawâlî yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan
dan termasuk dalam kelompok ini al-Khulâ`â yaitu orang-orang yang
dikeluarkan atau diusir dari kabilah karena melanggar norma-norma yang
ditetapkan kabilah. Di antara al-Khula’a adalah kelompok Sha’âlîk
yang sangat terkenal.[15]
Secara
terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis
kemiskinan. Sha’lûk (singular)
atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan sebagai
orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.[16]
Dalam sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk
bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping
itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki
keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat
sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang
sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah
yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang
tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang
mereka impikan.[17]
Penulis
buku Dîwan Urwah ibn al-Ward menyebutkan beberapa karekateristik syair Sha’âlîk,
seperti:
1.
Dari
segi isi, syair Sha’âlîk adalah gambaran dari tingkah laku, sikap dan
kepribadian, serta tendensi mereka.
2.
Syair
Sha’âlîk menggambarkan aspek psikologis yang dirasakan oleh kaum Sha’alik
3.
Syair
Sha’âlîk menggambarkan realitas kehidupan mereka dari aspek pekerjaan
dan perbuatan.
4.
Syair
mereka terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak
terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal (rayuan), bukâ’
al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al-rahîl
(menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya.
5.
Mayoritas
syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan-penggalan), bukan qashîdah
(rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak
suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran.
6.
Dalam
syair Sha’âlîk tidak terdapat ghazal atau rayuan terhadap
perempuan.
7.
Mayoritas
syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap
istrinya.[18]
Beberapa
penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Ta’abbath Syarran[19],
Syanfara[20],
dan ‘Urwah ibn al-Ward.
Selain
penyair sha’alik, kategori yang juga tidak kalah terkenalnya adalah penyair Badawi
Ghair Sha`âlîk. Berdasarkan kategorisasi sosial yang membagi masyarakat
Arab Jahili ke dalam kelompok hadlari (perkotaan) dan badawi
(nomaden) dan juga komponen kabilah yang terdiri dari abnâ’ al-qabîlah, abd,
dan mawâlî, juga klasifikasi syair sebelumnya, maka bisa dipastikan bahwa
yang dimaksud dengan syair ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir
dari kelompok badawi murni, bukan berasal dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk,
maupun para penyair kerajaan dan juga penyair filsuf. Biasanya penyair Ghair
Sha`âlîk merupakan abnâ’ al-qabîlah (anggota kabilah papan atas).
Tim penulis buku al-Mûjaz fi
al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi,
menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk,
yaitu; al-Muhalhil[21],
al-Harits ibn Halzah[22],
Amr ibn Kaltsum[23]
dan ‘Antarah ibn Syaddad.[24]
Keempatnya adalah Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqah)
yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah.[25]
Di antara keempat penyair badawi
tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan memiliki dîwan
syair. Antarah[26]
ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab
yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani
Abas[27],
sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah
bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya,
sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-arab’ (burung Jalak dari Arab).[28]
Dalam
dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat
terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamasah
(spirit dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl
yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus.
Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu’allaqah.
Pada
masa Jahiliyah, keberadaan penyair Istana merupakan suatu keharusan. Bagi
sebagian penyair Jahiliyah, komersialisasi syair (al-takassub bi al-syi’r)
dan kehidupan mewah dalam istana (al-bilâth) adalah keuntungan lain yang
dapat diperoleh dari kemahiran mereka dalam menggubah syair. Hal ini terjadi,
karena tingginya nilai jual syair dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahili.
Syair pada saat itu dianggap mampu menunjukkan kehebatan dan kewibawaan para
raja, sekaligus menjadi alat propaganda dan media diplomasi kerajaan. Damai
atau perang, maju atau mundur, kalah atau menang, semuanya tergantung dari
kehebatan para penyair. Kebutuhan akan adanya penyair dalam setiap kabilah,
adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Hal inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh sebagian penyair untuk mengais rizki dari kepandaian mereka
dalam bersyair. Adanya hubungan komersialisme antara penyair dan para pejabat
kerajaan, sebagian penyair memilih syair sebagai profesi yang menjanjikan.[29]
Sebanyak
lima nama disebutkan oleh tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa
Târikhihi, yaitu Tharfah ibn al-‘Abd[30],
‘Ubeid ibn al-Abrash[31],
al-Nâbighah al-Dzubyâni, al-A’syâ al-Akbar[32],
dan al-Huthai’ah[33].[34]
Secara kuantitatif jumlah penyair istana yang disebutkan relative lebih banyak
jika dibandingkan dengan kelompok penyair lainnya.
Al-Nâbighah
al-Dzubyâni adalah penyair yang sangat terkenal dalam kelompok ini. Nama
lengkapnya Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama
al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân[35] yang
menghabiskan hidupnya dengan mondar mandir antara kabilahnya dan dua istana
kerajaan, Hîrah dan Ghassan. Memiliki penampilan yang menawan, cerdas dan
berbakat. Ia adalah salah seorang penyair yang diuntungkan akibat terjadinya
pertikaian yang berkepanjangan antara kerajaan Hirah dan Gassan.[36]
Syair-syair
al-Nabighah terkenal sangat elegan dan indah, bahasa yang padat berisi, dan
tidak banyak takalluf (dipaksakan). Syair-syairnya merupakan cermin dari
perjalanan hidupnya. Di kalangan para penyair, syair i’tidzâr[37]
al-Nâbighah sangat terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu
ia juga terkenal dengan syair washfnya.[38]
Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair komersil.
Kategori
yang erat hubungannya dengan kajian ini sebenarnya ada pada kategori penyair
filsuf (hikmah) dan penyair madzhab (religi). Di dalam syair
Jahiliyah, ada dua nama yang biasanya dikategorikan sebagai penyair hikmah,
yaitu Zuhair ibn Abî Sulmâ dan Labîda ibn Rabî’ah al-‘Âmirî[39].
Di antara keduanya yang paling terkenal adalah Zuhair ibn Abi Sulma. Sedangkan
pada penyair madzhab (penyair religi)[40], ada tiga nama yang disebutkan dalam buku
tersebut, yaitu; al-Samual[41],
‘Iddi ibn Zaid[42],
dan Umayyah ibn Abi al-Shalt.[43]
Agar
lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penyair madzhab oleh penulis,
sebagai sampel, berikut gambaran salah seorang penyair madzhab, yaitu Umayyah
ibn Abi al-Shalt wafat pada tahun 624 M.
Umayyah ibn Abi al-Shalt ibn Abi Rabî`ah dari Qais ‘Ailan, seorang penyair
Jahiliyah yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji buku-buku klasik
terutama Kitab Taurat. Ia adalah orang yang sangat terbuka terhadap agama, hal
itu terbukti pada saat ia melakukan perjalanan niaga ke Syam dan bertemu dengan
sejumlah ahli agama, yang menganjurkannya agar menjauhi dunia. Ia akhirnya
memilih jalan zuhud (hidup sederhana), mensucikan diri dan mengabdi pada
Tuhan. Dalam syair-syairnya ia menyebutkan nama-nama seperti Ibrahim, Isma’il,
dan agama hanif, selain itu ia juga menyebutkan hal-hal seperti surga dan
neraka, larangan untuk meminum khamr, meragukan keberadaan berhala-berhala, dan
juga rindu akan nubuwwat (kenabian).[44]
Kategorisasi
penyair yang terakhir adalah penyair perempuan. Dalam
buku al-Mûjaz ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu
al-Khansa. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia
lebih banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara
laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil
beberapa sampel lain yang termuat dalam Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi
al-Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan
Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah[45]
(ahli debat), dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak
menggubah syair-syair hikmah, dan tidak kalah penting adalah Aminah binti Abd
al-Wahab Ibunda dari Rasulullah saw, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan
kategorisasi tersebut, agar penelitian ini lebih komprehensif dan mendalam, penulis
berusaha mengambil sampel dari masing-masing kelompok yang berbeda latar
belakang sosialnya dan menjadikan karya mereka sebagai pintu masuk untuk
menganalis kehidupan beragama saat itu.
B.
Simbol-simbol Agama Dalam Syair Badawi
a.
Latar Belakang sejarah agama masyarakat
Arab Jahiliyah
Sebelum
Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang berbagai jenis agama, baik agama
asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan
Nasrani. Namun demikian, bedasarkan data sejarah, kedua agama tersebut tidak
berpengaruh banyak pada sistem kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah yang tinggal
di Mekah tempat agama Islam lahir. Masyarakat Arab pada masa Jahiliyah
mempercayai agama pagan, yakni penyembahan berhala. Kepercayaan asli mereka
pada dasarnya adalah gabungan antara pengkultusan nenek moyang, fetisisme,
totemisme, dan animisme.[46]
Fetisisme adalah suatu kepercayaan yang diwujudkan
dalam bentuk penyembahan terhadap benda, seperti kayu dan batu. Oleh bangsa
Arab, batu diyakini mempunyai kekuatan berupa roh yang menempati batu. Rohlah
yang disembah mereka, bukan batunya. Batu dan benda lainnya, hanyalah tempat
bersemayam roh. Maka dapat dipahami ketika Aus
ibn Hajar dalam syairnya menyebut nama
Latta dan Uzza dengan didahului kata Allah:
Demi
Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya
Demi
Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu) [48]
Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya mereka
percaya pada kekuatan yang ada dalam batu (berhala-berhala), bukan pada berhala
itu sendiri. Fetisisme adalah kepercayaan Arab kuno yang paling banyak berkembang di
Jazirah Arab.
Selain
fetisisme, kepercayaan lain yang juga berkembang di Jazirah Arab kuno adalah
totemisme. Totemisme adalah pengkultusan terhadap hewan dan tumbuhan yang
dianggap suci. Pengkultusan ini mungkin disebabkan oleh ketergantungan mereka
terhadap hewan dan tumbuhan-tumbuhan yang dianggap suci. Oleh karena itu,
mereka melarang membunuh, memotong, atau makan daging hewan dan tmbuh-tumbuhan
tersebut. Salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap binatang dan tumbuhan,
tampak pada pemberian nama Kabilah yang disandarkan pada hewan dan tumbuhan,
seperti Bani Asad (keturunan Singa), Bani Fahd (singa), Bani Namir (harimau),
Bani Dhabbah (Biawak), Bani Kalb (anjing), Bani Handalah (Timun) dan lain
sebagainya.[49]
Kepercayaan
lainnya yang dianut masyarakat Arab Kuno adalah animisme, yakni kepercayaan
terhadap roh. Mereka percaya bahwa roh itu ada yang baik dan ada yang jahat,
sehingga baik air, udara, api, kayu, dan lainnya memiliki roh baik dan buruk.
Keyakinan lainnya adalah percaya terhadap Jin, bintang, matahari, dan bulan.[50]
Namun apakah
yang digambarkan dalam Ensiklopedi Dunia Islam tersebut, seluruhnya
benar dan terbukti dalam syair-syair Jahiliyah, maka perlu sebuah kajian
mendalam terhadap syair-syair yang berkembang saat itu.
b.
Simbol-simbol ketuhanan Dalam syair Jahiliyah
Bila
di atas, bebicara banyak mengenai kondisi keagamaan dan keyakinan masyarakat
Jazirah Arab pada masa Pra Islam, dalam syair-syair Jahiliyah sendiri tidak
banyak simbol keagamaan yang bisa kita temukan, padahal sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa syair adalah satu dari tiga bukti sejarah yang
tertinggal dari masa pra Islam. Hal ini membuktikan, bahwa kehidupan beragama
pada saat itu belum banyak dikenal oleh bangsa Arab. Namun demikian, hal ini
bukan berarti bangsa Arab Jahiliyah sama sekali tidak memiliki kepercayaan
terhadap wujud supranatural. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya ungkapan
yang menggunakan kata Allah (الله) dalam syair mereka.
Kata
Allah (الله) dalam bahasa Arab berasal dari kata
a-la-ha (أله). Menurut ibnu
al-Manzhur dalam kitab Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa al-Ilah (الإله) berarti Allah (الله), dan setiap yang
disembah oleh selainnya, maka ia adalah Tuhan bagi penyembahnya. Jamak dari Ilah
(إله) adalah alihah (آلهة). Dan al-Alihah (الألهة) diartikan oleh Ibnu
al-Manzhur dengan berhala (الأصنام). Dinamakan demikian,
karena keyakinan bangsa Arab saat itu, bahwa yang berhak disembah adalah
berhala. Nama tersebut mengikuti keyakinan mereka, bukan pada makna yang ada
dalam hakekatnya. Kata Allah menurut Ibnu Atsir diambil dari kata Ilah dari
wazan ulhaniyah (ألهانية)
dengan asal kata aliha ya’lahu (أله - يأله), yang berarti tahayyara (تحيّر). Kata tersebut berarti
apabila seseorang terjatuh dalam pengagungan Allah atau sifat-sifat ketuhanan
lainnya, atau seseorang yang abghadha (أبغض) sehingga hatinya tidak
pernah berpaling pada yang lain.[51]
Dalam
syair Jahiliyah, kata Allah cukup banyak ditemukan di hampir setiap kategorisasi
sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan lafaz Allah digunakan untuk berbagai konteks, di antaranya:
1. Alat sumpah. Ada beberapa
jenis sumpah yang diidhafatkan (disandarkan) pada lafaz
Allah, seperti yang terdapat dalam syair Imru al-Qais berikut
ini:
نظرتُ إليها والنجوم كأنها مصابيح رهبان تُشَبُّ لقفّال
Kutatap dia, bintang-bintangpun bagaikan
pelita para Rahib yang menerangi mereka yang kembali dari perang
سَمَوْتُ إليها بعد ما نام أهلها سمُوّ
حباب الماء حالا على حال
Akupun bangkit menuju padanya, setelah keluarganya terlelap
seperti buih air yang semakin meninggi
فقالت سباك الله إنك فاضحى ألستَ
السمار والناس أحوالى
Iapun berkata, semoga Allah melemparmu, engkau sungguh memalukan
Bukankah engkau salah seorang sumar[52],
dan orang-orang ada di sekitarku
فقلتُ يمين الله
أبرح قاعدا ولو قطعوا رأسى
لديك أوصالى
Akupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di sini
Andai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai
حلفتُ لها بالله
حلفة فاجر لناموا فما إن من حديث
ولا صال[53]
Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq[54]
Bahwa mereka semua telah terlelap, dan tak ada
seorangpun yang bercakap-cakap dan berdiang[55]
Dalam syair tersebut, sebanyak tiga kali kata
Allah digunakan. Yang pertama diungkapkan oleh seorang tokoh perempuan yang
terdapat dalam syair Imru al-Qais dalam ungkapannya سباك الله yang artinya semoga Allah
menjauhkanmu dariku dan melemparkanmu. Tokoh perempuan dalam syair tersebut
sepertinya tahu betul karakteristik Imru al-Qais yang selalu tergila-gila dan
bermain-main dengan perempuan. [56] Untuk itu penyebutan kata Allah dalam ungkapan tersebut pada
hakekatnya adalah sebuah wujud kejijikan dan keheranannya akan kenekatan Imru
al-Qais dalam mendekati perempuan. Untuk itu, penyebutan kata Allah dalam
ungkapan tersebut sepertinya hanyalah retorika percakapan yang biasa mereka
gunakan dalam ungkapan-ungkapan hiperbola, tanpa merujuk pada makna metafisik,
seperti halnya ungkapan dalam bahasa Inggris oh my God, yang tidak
memiliki tendensi pada makna baik atau buruk.
Berikutnya,
masih dalam syair yang sama, kita menemukan dua ungkapan sumpah yang
disandarkan pada kata Allah yaitu يمين الله dan حلفتُ بالله yang artinya sama-sama
sumpah demi Allah. Tidak jauh berbeda dari kata سباك الله, kedua ungkapan inipun
hanyalah sebuah retorika bahasa yang tidak memiliki makna spiritual bagi
penggunanya, selain untuk meyakinkan lawan bicaranya. Dan hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh ungkapan penyair sendiri, bahwa sumpahnya tidak lebih dari
sumpah seorang keparat yang biasa berdusta dan berbuat dosa. Hal ini berarti,
bahwa lafaz Allah dalam syair tersebut, bukanlah sebuah simbol keagungan Tuhan,
namun lebih merujuk pada makna budaya berbahasa yang biasa menjadikan kata
Allah sebagai media untuk bersumpah.
Selain itu, masih banyak lagi syair Imru
al-Qais yang menggunakan lafaz Allah sebagai media sumpahnya, seperti yang
terdapat dalam syair berikut ini:
يا لهف هند إذ خطئن
كاهلا تالله
لا يذهب شيخى باطلا
Sungguh engkau rugi hai Hindun[57],
karena telah menyerang Bani Kahil
Demi Tuhan, masa tuaku tidak akan berlalu
dengan sia-sia
حتى أبير مالكا وكاهلا
القاتلين الملك
الحلاحلا[58]
Hingga Raja dari Bani Kahil yang menyerang sang Raja yang mulia[59]
hancur
Bait syair di atas, diungkapkan oleh Imru al-Qais pada
saat menyerang Bani (suku) Asad yang menyerang Bani Kinanah. Ketika Bani Asad
mengetahui, bahwa Imru al-Qais sangat menginginkan mereka untuk membalaskan
dendam, mereka kabur pada malam harinya, sehingga Imru al-Qais tidak menemukan
seorang pun di antara mereka. Maka iapun melampiaskan kemarahannya melalui bait
syair di atas.[60]
Dalam bait syair tersebut, Imru al-Qais menggunakan
kata تالله
(tallahi) sebagai alat sumpah. Ia menggunakan lafaz Allah sebagai alat
untuk melampiaskan segala bentuk
kekecewaan, kekesalan dan kemarahannya atas semua kenyataan yang tidak
diinginkannya. Tuhan dalam hal ini menjadi simbol kemarahan dan kekecewaan
Bentuk sumpah lainnya yang disandarkan pada lafaz
Allah adalah kata wallahi (واللهِ)
sebagaimana yang terdapat dalam syair Antarah berikut ini:
Teruslah memusuhiku dan menentangku
Engkau (Ablah) [62]
Demi Allah tak akan pernah menyakiti perasaanku
Ada kemiripan antara sumpah yang dibuat oleh Imru
al-Qais dengan sumpah yang dibuat oleh Antarah, yaitu kedua-duanya sama-sama
menggunakan sumpah atas nama Tuhan untuk meyakinkan perasaan mereka terhadap
perempuan. Namun demikian apabila kita merujuk pada latar belakang historis
kedua penyair tersebut, maka diketahui perbedaan makna dari kedua sumpah
tersebut. Imru al-Qais menggunakan sumpah hanya sebatas retorika sebagai
seorang playboy, sedangkan Antarah menjadikan sumpah sebagai wujud
kesungguhan perasaannya yang mendalam terhadap kekasihnya.
Lepas dari persoalan apakah sumpah atas nama Allah
yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah sebuah bentuk
keseriusan tentang apa yang disampaikannya, atau hanya sebatas retorika dalam
percakapan, namun demikian kita dapat menyimpulkan bahwa ada 4 bentuk sumpah
yang biasa digunakan oleh bangsa Arab
pada masa Jahiliyah yang disandarkan pada lafaz Allah, yaitu kata يمين الله, حلفتُ بالله atau cukup بالله, تالله, dan واللهِ yang semuanya berarti sumpah
demi Allah.
2. Simbol do’a dan cerca.
Selain digunakan untuk bersumpah, lafaz
Allah oleh bangsa Arab Jahiliyah juga biasa digunakan dalam retorika bersyair.
Lafaz ini ada yang mengandung makna do’a, namun tidak sedikit yang mengandung
makna cerca. Artinya lafaz tersebut digunakan tergantung dari niat pembicara.
Hal ini tampak dalam beberapa syair di bawah ini:
Kawanku –semoga Allah menjagamu- bangunlah,
bernyanyilah untukku
Di atas gelas-gelas kematian dari darah
yang kuminum
Tidakkah engkau tahu –semoga Allah menghancurkanmu dan
melaknatmu- bahwa aku, tak perlu bersenjata saat bertemu dengan mereka yang
bersenjata
Iapun berkata - semoga Allah melemparmu- engkau sungguh memalukan
Bukankah engkau salah seorang sumar[68],
dan orang-orang ada di sekitarku
Pada ketiga syair di
atas ada tiga lafaz Allah yang disandarkan pada kata kerja (فعل)
yaitu رعاك الله, لحاك الله,
dan سباك الله. Yang
pertama diartikan sebagai (semoga) Allah menjagamu, yang kedua (semoga) Allah
menghancurkanmu dan malaknatimu, dan yang ketiga (semoga) Allah menjauhkanmu (dari)
dan melemparkanmu. Arti sesungguhnya dari ketiga istilah tersebut, pada
dasarnya terlepas dari kata semoga. Kata ini diartikan oleh penulis dengan
menggunakan semoga berdasarkan pada konteks kalimat pada syair tersebut.
Dalam struktur tata bahasa Arab ketiga istilah
tersebut dikategorikan sebagai al-jumlah al-I’tiradhiyyah yaitu kalimat
yang menyelip di antara dua unsur kalimat yang tidak dapat dipisahkan seperti
antara subjek dengan predikat, syarat dan jawab, subjek dan objek, dan lain
sebagainya.
Ketiga ungkapan jumlah I’tiradhiyyah di atas
yang di dalamnya terdapat lafaz Allah, oleh para penyair Arab Jahiliyah
digunakan sebagai simbol-simbol do’a dan cerca. Artinya bisa dijadikan sebagai
simbol do’a dan harapan yang baik untuk lawan bicara atau juga sebagai alat
untuk melaknatnya.
3.
Simbol keyakinan dan pengakuan akan adanya
kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
Bangsa Arab Jahiliyah memang dikenal
sebagai bangsa yang belum banyak tersentuh ajaran-ajaran agama Samawi. Namun
demikian, sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan muslim, bahwa di antara
mereka sudah ada yang menganut suatu keyakinan ilahiyah. Namun demikian,
syair-syair di bawah ini bukan berarti sebuah bukti bahwa para penyairnya
adalah para penganut agama samawi (wahyu), akan tetapi hal ini membuktikan akan
adanya suatu keyakinan pada suatu hal yang ghaib yang mereka panggil dengan
nama Allah. Berikut ini beberapa syair
إذا كان أمر الله أمر يقدّر
فكيف يفرّ المرء منه ويحذر
Jika ketentuan Allah itu suatu hal yang
pasti
Lalu mengapa seseorang harus lari dan takut
darinya
Siapa yang dapat menolak kematian atau menghalangi
qadhanya (ketentuannya)
Terjadinya adalah sebuah kepastian yang
tidak dapat dihindari
وكان أجلُّ الناس قدرا
وقد غدا أجلّ قتيل زار أهل
المقابر[70]
Ajal manusia adalah sebuah takdir
Seorang yang terbunuh (pada hakekatnya)
mengunjungi kuburan lebih dahulu
Ada dua hal penting dalam bait-bait syair di atas yang
menyangkut simbol keagamaan, yaitu istilah qadla dan qadar.
Sepertinya penyair paham betul tentang qadla dan qadar
sebagaimana diimani oleh kaum muslimin. Penyair dalam syairnya jelas-jelas
menyandarkan kepastian akan kematian dengan ketentuan Tuhan, sehingga manusia
tidak perlu untuk merasa takut atau menghindar darinya.
Qadla secara bahasa berarti menentukan,
memutuskan dan memerintahkan sesuatu. Istilah qadla dalam agama Islam
didapati dalam dua terma, yakni terma ibadat khususnya di bidang fikih[71]
dan terma aqidah (keyakinan). Syair di atas terkait erat dengan keyakinan yang
ada masyarakat Arab pra Islam, sehingga term Qadla dalam hal ini lebih
pada makna akidah. Yang dimaksud dengan qadla dalam akidah keagamaan
adalah ketentuan Tuhan. Kata ini menurut Ensiklopedi Aqidah Islam,
sering digandengkan dengan kata qadar atau lebih popular dengan kata
takdir.[72]
Berdasarkan pada makna qadha tersebut, maka
makna qadar sebenarnya merupakan sinonim dari kata qadha. Namun
demikian, dalam aqidah Islam kedua istilah tersebut dibedakan, qadha
adalah keputusan Tuhan dan ketetapannya, yang berarti manusia tidak punya
harapan untuk campur tangan di dalamnya. Sedangkan qadar atau takdir
adalah rencana atau keadaan yang dikehendaki Allah kepada umat manusia.
Sehingga qadha adalah sebuah
istilah yang dimaksudkan untuk ketentuan Tuhan yang tidak akan berubah,
sedangkan qadar adalah ketentuan Tuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah.
Merujuk pada apa yang dijelaskan dalam Ensiklopedi
tersebut, maka dalam syair di atas tampak jelas penggunaan kata qadla, qadar,
dan yuqaddir yang bergandengan antara satu dengan yang lainnya, merujuk
pada kata al-maut (kematian) dan ajal al-nas (ajal manusia).
Kedua kata ini kemudian ditegaskan dalam bait yang lainnya dengan kata محتومة
yang berarti sesuatu yang dipastikan. Hal ini membuktikan bahwa keyakinan akan
adanya ketentuan dari yang Maha Kuasa (Tuhan) telah ada sejak masa sebelum
Islam datang. Namun demikian, baik pemahaman terhadap qadha maupun qadar
dalam syair tersebut adalah sama, belum pada makna seperti yang dipahami dalam
aqidah Islam. Dalam syair di atas,
kematian manusia (maut atau ajal) merupakan qadha sekaligus qadar
Tuhan.
Namun, demikian ada hal penting yang perlu dicermati,
berdasarkan latar belakang kehidupan penyair, Antarah ibn Abi Syadad, meskipun Ayahnya
tetua Bani Abas[73] seorang Arab tulen, namun ibunya
yang bernama
Zabibah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah. Dan dari fakta sejarah, Habasyah
(sekarang Ethopia) saat itu sudah memeluk agama Nasarani. Sehingga bukan suatu
hal yang mustahil, jika kemudian anaknya diajarkan nilai-nilai agama Nasrani
oleh ibunya, meskipun kemudian tidak menjadikannya sebagai penganut agama
Nasrani, namun nilai-nilai kristiani pada dasarnya telah sampai pada sebagian
masyarakat Arab Badawi. Hal ini tampak dalam syair-syair lainnya, seperti:
لله درّ بنى عبسٍ لقد نسلوا من الأكارم ما قد
تنسُل العرب
Kabilah Bani Abas adalah milik Allah, terlahir
dari orang-orang mulia yang darinya bangsa Arab lahir
لئن يعيبوا سوادى فهو
لى نسب يوم النزالِ إذا ما فاتنى النسب[74]
Jika mereka menghina kehitamanku, aku ini punya nasab
Saat aku dilahirkan, meskipun nasab itu meninggalkanku[75]
لىَ فلا تكفر النُعمى واثنِ بفضلها ولا تأمنَنْ ما يحدث الله فى غد
Janganlah kamu mengingkari nikmat, tapi
syukurilah
Dan janganlah kamu berharap pada apa yang
akan Allah berikan esok hari
فإن يك عبد الله لاقى فوارسا يردون خال العارض المتوقد[76]
Jika seorang hamba Allah bertemu dengan pasukan perang
Mempertahankan bendera pasukan simbol semangat
Makna pada bait syair di atas, pada hakekatnya adalah
sama dengan ajaran Islam yang menyuruh manusia untuk selalu mensyukuri nikmat yang dianugerahkan
pada mereka dan tidak mengingkarinya, sebab dengan itu seseorang tidak berfikir
tentang apa yang akan Tuhan berikan esok hari. Pada bait selanjutnya, Antarah lebih
menegaskan keyakinannya dengan menamakan dan mengibaratkan dirinya sebagai abdullah
yang berarti hamba Allah, dan hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang
meyakini akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.
Bila
dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia disebutkan empat
(4) unsur penting dalam agama, yaitu:
1.
Pengakuan
bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
2.
Keyakinan
bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara
manusia dengan kekuatan ghaib itu.
3.
Sikap
emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut,
hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain.
4.
Tingkah
laku tertentu yang dapat diamati seperti shalat, sembahyang, doa, puasa, suka
menolong, tidak korupsi dan lain-lain, sebagai buah dari tiga unsur pertama.
Maka sesungguhnya sebagian dari masyarakat
Arab pada masa Jahiliyah baru sampai pada tahapan yang ketiga, yakni timbulnya sikap
emosional pada hati mereka terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut,
hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain. Menurut
Ensiklopedi Islam Indonesia, tiga
unsur pertama itu merupakan jiwa agama, sedangkan unsur keempat pada dasarnya merupakan bentuk lahiriahnya.[77] Bentuk keempat ini pada dasarnya hanya bisa
dilakukan bila wahyu telah sampai pada manusia.
Salah
satu contoh sikap emosional yang ada pada
hati manusia terhadap kekuatan ghaib sebagaimana diungkapkan oleh Antarah dalam syairnya:
Kuadukan semua perlakuan jahat kaumku pada Tuhan
Tak kutemukan seorang pun teman yang dapat menolong
Pernyataannya إلى الله أشكو (pada Allah aku mengadu) yang
dilontarkan penyair adalah suatu simbol kelemahan yang dimiliki manusia, dan
juga simbol akan kebutuhan pada sesuatu yang gaib yang dapat menolongnya dan
memberinya kekuatan yang tidak dapat diberikan oleh manusia. Dalam syair
Antarah, sangat jelas kalau penyair merasa sangat lemah dan butuh terhadap
kekuatan gaib atas segala persoalan yang ia hadapi dan ia merasa bahwa hanya
kekuatan gaib yang ia seru yang dapat merasakan penderitaannya.
Menurut
Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kekuatan ghaib adalah kondisi manusia yang merasa lemah dan butuh pada
kekuatan gaib sebagai tempat meminta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus
mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib tersebut.[79]
Bangsa
Arab Jahiliyah sebagaimana tersirat dalam syair tersebut, tampaknya baru sampai
pada tahapan lemah dan butuh pada kekuatan gaib, namun belum sampai pada tahap
mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut yang diwujudkan dengan
mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib tersebut, karena wahyu pada
hakikatnya belum sampai pada mereka.
4. Alat pujian dan simbol-simbol agama Samawi
Selain digunakan
untuk bersumpah, berdoa, dan juga mencerca, lafaz Allah dalam syair Jahiliyah
juga dijadikan sebagai alat untuk memuji seseorang. Sebagai contoh syair yang digubah oleh al-Nabighah
al-Dzubyani berikut ini:
فتلك تبلغنى النعمان، إن له فضلا على الناس فى الأدنى وفى البعد
Semua itu telah sampai kepadaku, bahwa yang Mulia
(raja) punya
keistimewaan
di banding manusia lainnya, (di kalangan) dekat maupun jauh
ولا أرى فاعلا فى الناس يشبهه ولا أحاشى من الأقوام من أحد
Dan aku
tidak menemukan seorang pun yang menyamainya
Dari kaum manapun tanpa kecuali
إلا سليمان إذ قال الإله له قم فى البرية فأحددها عن الفند
Selain Nabi
Sulaiman, saat Tuhan bersabda padanya
Jadilah pemimpin manusia, maka Aku jauhkan meraka dari kufur nikmat
وخيس الجن! إنى أذنت لهم يبنون تدمر بالصفاح والعمد
Tundukkankah jin! Telah Kuijinkan mereka
membangun Tadmur dengan
Dengan rusuk dan tiang[80]
فمن أطاعك فانفعه بطاعته كما أطاعك وادلـلْــــه على الرشد
Siapa yang taat padamu, manfaatkanlah
ketaatannya
Dan tunjukkanlah ia pada jalan kebenaran
ومن عصاك فعاقبه معاقبة تنهى
الظلوم ولا تقعد على ضمد[81]
Dan bagi yang mendurhakaimu, hukumlah ia
dengan hukuman yang
Dapat mencegahnya dari berbuat jahat, dan
janganlah kamu merendahkan diri
Jika dianalisis berdasarkan aghrad al-syi’ir
(tujuan syair), bait-bait syair al-Nabighah al-Dzubyani di atas jelas dibuat
untuk memuji al-Nu’man.
[82]Maka kata Ilâh (Tuhan) dalam syair
tersebut jelas-jelas digunakan sebagai alat untuk memuji penguasa saat itu,
meskipun penyair menggunakannya dalam gaya bahasa perumpamaan. Sang penyair
mengumpamakan al-Nu’man (Sang raja) dengan Nabi Sulaiman as dengan segala
keistimewaan yang diberikan oleh Allah.
Selain lafaz Allah, hal lain yang menarik dalam
bait-bait syair di atas adalah kisah tentang Nabi Sulaiman as yang juga banyak
disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an kisah Nabi Sulaiman as selalu
dibahas dengan keistimewaannya sebagai seorang raja yang juga juga mampu
menundukkan bangsa Jin. Dan apa yang disampaikan dalam al-Qur’an tentang Nabi
Sulaiman as, pada hakekatnya sama dengan apa yang disampaikan al-Nabighah
al-Dzubyani penyair Arab Jahiliyah, meskipun ia menceritakannya sebagai
perumpamaan bagi al-Nu’man.
Berdasarkan hal
tersebut, timbul dalam benak kita pertanyaan besar, jika demikian mungkinkah
bangsa Arab Jahiliyah itu telah mengenal Tuhan dan juga cerita-cerita tentang
kenabian? Jawabannya tidak dapat dijawab secara langsung, namun harus
ditelusuri berdasarkan latar belakang penyair itu sendiri. Apakah ia seorang
Arab Badawi tulen ataukah bukan. Berdasarkan riwayat hidup al-Nabighah
al-Dzubyani sebelumnya, diketahui bahwa ia termasuk ke dalam kategori penyair
kerajaan yang kehidupannya ia habiskan untuk mondar-mandir antara dua kerajaan
besar yaitu Hîrah dan Ghassan. Menurut para sejarawan, sebagian dari
raja Hirah memeluk agama Nasrani. Dan Ghassan menurut para sejarawan adalah
pintu masuk agama Kristiani di Jazirah Arab.[83]
Berdasarkan hal tersebut, bukanlah suatu hal yang mustahil bila ternyata
al-Nabighah al-Dzubayani banyak mengenal ajaran-ajaran Nasrani, meskipun ia
tidak menobatkan dirinya sebagai seorang penganut agama Nasrani, namun ia
banyak bergaul dengan para penganut agama Nasrani terutama di kalangan pembesar
kerajaan. Dan sebagai seorang penyair komersil, ia harus benar-benar memahami
apa yang diinginkan oleh para penguasa saat itu, sehingga ketika ia menggubah
syairnya, mengenai sasaran dengan tepat.
Syair lainnya yang menggunakan lafaz Allah sebagai
alat pujian, tampak dalam bait-bait berikut ini:
ألم تر أن الله أعطاك سورة ترى كلّ ملك دونها يتذبذب
Tidakkah engkau menyadari bahwa Allah telah memberimu kekuasaan
Dengan itu engkau melihat setiap raja di bawah kekuasaanmu terguncang
فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلعتْ لم يبد منهن كوكب[84]
Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintang
Jika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak
لهم شيمة لم يعطها الله غيرهم من الجود والأحلام غير عوازب
Mereka memiliki sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain
Kedermawan dan kecerdasan
مجلتهم ذات الإله ودينهم قويم فما يرجون غير العواقب[85]
Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama mereka
Lurus, dan mereka tidak berharap selain pahala
Pada bait syair yang pertama dan kedua, lafaz Allah
jelas digunakan oleh penyair sebagai alat untuk memuji penguasa. Namun pada
bait keempat yaitu:
مجلتهم ذات الإله ودينهم قويم فما يرجون غير العواقب[86]
Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama mereka
Lurus, dan mereka tidak berharap selain balasan
Tampak dalam bait tersebut istilah tertentu yang
menunjuk pada sebuah simbol keagamaan. Kata majallah dalam syair
tersebut dalam syarah diwan al-Nabighah dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah
kitab suci para penguasa. Dan sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa para
penguasa tempat al-Nabighah mencari nafkah beragamakan Nasrani. Meskipun dalam
syair tersebut, entah dengan alasan apa tidak disebutkan secara jelas kitab
sucinya, namun mengisyaratkan bahwa ada kitab suci yang dianut oleh bangsa Arab
Jahiliyah terutama kaum Nasrani.
Simbol agama lainnya adalah kata din yang
berarti keyakinan atau agama yang dianut. Hal penting yang patut dicermati
adalah baik pada penyebutan majallah (kitab suci) maupun din
(agama), penyair menggabungkannya dengan dhamir (kata ganti orang) هم
yang artinya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Sang penyair dalam hal ini
al-Nabighah menganut keyakinan di luar keyakinan yang dianut oleh para penguasa
di mana ia berada, atau dengan kata lain ia bukanlah seorang Nasrani, namun
demi kepentingan profesi ia banyak mengenal ajaran Nasrani.
Dalam syair yang sama, penyair juga menyebutkan kata العواقب
yang kami artikan dengan balasan atau pahala. Bentuk tunggal dari kataالعواقب adalah عاقبة yang artinya akibat atau balasan dari suatu perbuatan.
Dalam syair tersebut dinyatakan bahwa mereka tidak mengharapkan selain
pahala. Konotasi dari ungkapan tersebut adalah mereka dalam melakukan
segala hal hanya dilandasi oleh keyakinan pada sang Maha kuasa (Allah) dan
hanya mengharap balasan dariNya. Dan keyakinan ini hanya ada pada penganut
agama Samawi, atau dalam hal ini lebih tepatnya penganut agama Kristiani yang
sudah meyakini akan adanya Tuhan melalui wahyu yang dalam syair tersebut
diistilahkan dengan kata majallah. Dan masih banyak lagi syair-syair
al-Nabighah yang menyebutkan lafaz Allah di dalamnya. Dan hampir semua lafaz
Allah yang ia sebutkan dalam syairnya berhubungan dengan keyakinan para
penguasa atau raja-raja di sekitarnya, yaitu raja-raja dari kerajaan Hirah dan
Gassaniah yang menurut para sejarawan beragama Nasrani. Di dalam
syair-syairnya, al-Nabighah tidak pernah menisbatkan kata Allah untuk
keyakinannya sendiri, melainkan selalu dirangkai dengan ungkapan-ungkapan lain
terutama pujian untuk para pembesar kerajaan.
Itulah beberapa ungkapan syair tentang ketuhanan yang
ada pada masa Jahiliyah yang di dalamnya menggunakan lafaz Allah.
Selain
kata Allah, kata lainnya yang terkait dengan keyakinan pada masa Jahiliyah
adalah kata rabb (ربّ). Namun apakah kata ini
sebagaimana diyakini oleh kaum Muslimin berarti sama dengan Tuhan, ataukah pada
masa Jahiliyah memiliki konotasi lain, atau menjadi simbol selain symbol Tuhan.
Kata
Rabb (ربّ) oleh Ibnu Manzhur diartikan sebagai Allah SWT (الله) pemiliknya, memiliki sifat memiliki
terhadap seluruh ciptaannya, tidak ada sekutu baginya, dan dia adalah الله. Kata Rabb khusus
bagi Allah, namun kata al-Rabb (الربّ) tanpa alif dan lam
digunakan untuk selain Allah. Pada masa Jahiliyah istilah ini sering digunakan
untuk Raja atau para pembesar lainnya.[87]
Berikut ini beberapa syair yang menggunakan
kata rabb di dalamnya:
سجدت
تعظم ربها فتمايلت لجلالها أربابنا
العظماء[88]
Ia (Ablah)[89]
bersujud mengagungkan Tuhannya, dan karena
keaggunannya itu para penguasa kami yang
agung berpaling
Dalam syair tersebut
kata rabb disebutkan sebanyak dua kali, yang pertama dalam bentuk mufrad
(tunggal) yaitu kata rabb sendiri, dan yang kedua dalam bentuk jamak
yaitu kata arbâb. Dalam kamus bahasa Arab, kata rabb diartikan dengan
pemilik atau penguasa. Untuk itu dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah adalah
penguasa sekalian alam (rabb al-‘Alamin). Dalam syair di atas, kata rabb
dalam bentuk tunggal diartikan dengan Tuhan, hal ini berdasarkan pada konteks
kalimat yang menyertainya yaitu kata sajadat yang artinya bersujud.
Dalam bentuk jamak kami artikan sebagai makna aslinya yaitu para penguasa, hal
ini terkait dengan keanggunan atau kecantikan yang dimiliki oleh Ablah,
perempuan yang ada dalam syair tersebut sebagaimana digambarkan oleh penyair.
Dalam syair berikutnya
tampak makna rabb yang sesungguhnya:
Jika kamu mengaku sebagai pemilik unta tersebut
Jangan
biarkan kawanmu berjalan di belakangmu, tanpa ikut mengendarainya
Dalam masyarakat Arab Jahiliyah, Hatim al-Tha’i
dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan dan memiliki rasa solidaritas yang
sangat tinggi. Hal ini lahir dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang sha’alik.
Ia tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini tampak pada
syairnya di atas, yang melarang seseorang mengendarai kendaraannya (unta),
sedangkan orang lain berjalan di belakangnya dengan kelelahan. Kata rabb
di atas jelas-jelas mengandung makna pemilik sesuatu yang dalam hal ini adalah
pemilik unta yang masih muda dan kuat (al-qalûsh).
Kata rabb yang terkait erat dengan makna
ketuhanan tampak dalam bait-bait syair berikut ini:
إلههم ربى وربى إلههم فأقسمتُ
لا أرسو ولا أتمعّد[91]
Tuhan mereka adalah Tuhanku, juga Tuhanku
adalah Tuhan mereka
Untuk itu aku bersumpah akan tetap seperti ini dan tidak
akan memakai pakaian khusus
وربّ عليه الله أحسن صنعه وكان له على البرية ناصرا[92]
Allah memelihara ciptaan terbaikNya
Dan Dia adalah penolong bagi manusia
Kata rabb dalam kedua bait syair di atas
terkait erat dengan simbol keyakinan terhadap Tuhan. Pada bait pertama kata
rabb disandingkan dengan kata ilah. Dalam syair tersebut, penyair
menyampaikan keyakinannya bahwa manusia di mata Tuhan adalah sama. Untuk itu,
ia tidak akan memperlakukan seseorang secara khusus dengan berpenampilan di
luar kebiasaannya. Pada bait pertama, kata
rabb sudah memiliki makna khusus yaitu sama dengan ilâh
(Tuhan), dan pada bait kedua, kata rabb terkait erat dengan fungsi
ketuhanan yaitu menjaga, memelihara, dan menolong makhlukNya.
Makna dari kata rabb lainnya yang juga
digunakan oleh masyarakat Arab Jahiliyah tampak dalam syair berikut ini:
نزور يزيد وعبد المسيح وقيسا هم خير أربابها[93]
Kami mengunjungi Yazid, Abdul Masih, dan Qais
Mereka para pemimpin terbaik kami
Dalam syair tersebut,
penyair menggunakan kata arbâb sebagai bentuk jamak dari rabb.
Makna Arbâb dalam syair tersebut jelas merujuk pada para penguasa yang
disebutkan oleh penyair. Pengagungan yang sangat luar biasa terhadap para
penguasa, membuat masyarakat Arab pada
masa Jahiliyah banyak menggunakan kata rabb sebagai simbol penguasa yang
mengatur kehidupan mereka.
Berdasarkan hal tersebut, Allah SWT menegaskan dalam al-Qur’an surat al-Fatihah dengan
pernyataaNya: Alhamdulillah Rabb al-Alamin. Bahwa Allahlah pengatur dan
penguasa seluruh alam. Ayat tersebut berisikan penegasan Tuhan tentang
eksistensiNya. Yang pertama adalah pengakuan mutlak akan namaNya yakni melalui kata Allah, dan yang kedua
menegaskan tentang sifat dann fungsinya. Sehingga makna yang tepat adalah
segala puji bagi Allah, Penguasa sekalian Alam.
Adapun simbol keyakinan lainnya yang dianut oleh
bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah kepercayaan pada hal-hal ghaib seperti
terdapat dalam fakhr[94] Antarah berikut ini:
وكم من فارس أضحى بسيفى هشيم الرأس مخضوب اليدين
Berapa banyak
prajurit yang kubunuh dengan pedangku
Dengan kepala yang remuk dan tangan
terpenggal
Ia dikelilingi rajawali kematian
Dan
sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian
Dalam syair di atas, terlihat kepercayaan lain dari
masyarakat Arab pada masa Jahiliyah, yaitu kepercayaan pada tanda-tanda yang
tampak oleh mata yang dalam hal ini kepercayaan pada burung gagak. Burung gagak
dalam hal ini diyakini sebagai symbol kematian bagi seseorang. Kepercayaan
seperti ini, sepertinya sama saja dengan kepercayaan yang dianut sebagian
masyarakat Indonesia dulu dan sekarang yang tetap percaya pada tanda-tanda atau
ramalan-ramalan tentang sesuatu.
Selain itu juga, ada beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa bangsa Arab juga meyakini matahari, bintang dan benda-benda lainnya
sebagai kekuatan yang disembah. Namun berdasarkan pengamatan terhadap beberapa
syair Jahailiyah, tampaknya istilah-istilah syams (matahari), kaukab (planet atau benda angkasa lainnya), nujum (bintang), dan lain-lain
yang terdapat dalam syair Jahiliyah, bukanlah sebuah bentuk penyembahan
terhadap benda-benda tersebut, namun lebih pada simbol
kekaguman pada hal-hal yang dikagumi,
seperti perempuan, pemimpin, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai contoh tampak dalam syair al-Nabighah al-Dzubyani berikut ini:
Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintang
Jika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak
Atau dalam syair
Antarah ibn Syaddad berikut ini:
مرّت أوان العيد بين
نواهد مثل الشموس لحاظهن ظباء
Di hari raya, ia berlalu di antara gadis-gadis
bagai mentari-mentari, kerlingan mereka bagai kijang
وبدتْ فقلتُ البدر
ليلة تمّه فقد قلّدتْهُ نجومَها
الجوزاء
Ia (Ablah) pun muncul, lalu aku katakan, rembulan saat purnama
Bintang kejorapun melingkari bintang-bintangnya
Dalam syair di atas, ada beberapa simbol alam yang
disebutkan oleh penyair, yaitu syams (matahari), kaukab (planet),
badr (bulan purnama), nujum (bintang-bintang) dan al-jauza
(bintang kejora). Kata syams pada
syair al-Nabighah digunakan untuk memuji (madh) orang yang dikaguminya
yakni al-Nu’mân al-Mundzir raja dari kerajaan Hirah. Ia menggunakan kata syams
sebagai perumpamaan (tasybih) orang yang dipujinya. Adapun kata kaukab
ia gunakan sebagai perumpamaan bagi raja-raja kecil yang tunduk di bawah kekuasaan
al-Nu’man, sehingga ketikan matahari muncul dengan sinarnya yang sangat terang
dan kuat, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang dan planet lainnya (kaukab)
yang semula terlihat, jadi tidak tampak.
Pada syair Antarah, kata al-syumûs yang merupakan
jamak dari syams adalah simbol perumpamaan dari perempuan-perempuan
cantik. Dan al-badr (bulan purnama) adalah simbol dari kekasih hatinya
yang bernama Ablah. Oleh karena itu, kata al-badr ia rangkai dengan kata
nujûm dan al-jauzâ. Al- jauzâ adalah bintang yang paling
terang di antara bintang-bintang yang lainnya atau biasa diterjemahkan dengan
bintang kejora. Bintang ini biasanya tampak mencolok dibandingkan dengan
bintang-bintang lainnya yang ada di sekitarnya. Semua simbol-simbol alam
tersebut oleh penyair dijadikan sebagai perumpamaan bagi perempuan-perempuan
cantik yang dikaguminya.
Dari contoh-contoh tersebut, maka pendapat yang
menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah penyembah matahari,
bulan, bintang dan lain sebagainya diragukan, sebab simbol-simbol tersebut
lebih banyak digunakan sebagai bentuk kekaguman terhadap sesuatu, dan kagum
bukan berarti menyembah. Maka ketika ada nama yang disandarkan pada
simbol-simbol tersebut, mungkin saja hanya berupa kekaguman pada benda tersebut
karena memberikan manfaat yang sangat luar biasa dalam kehidupan mereka.
C. Simbol-simbol Agama dalam Syair Nasrani
a. Asal-usul Agama Nasrani di Jazirah Arab
Agama Nasrani adalah satu di antara agama yang
berkembang pada masa Jahiliyah di Jazirah Arab. Agama Nasrani pertama kali
muncul di Palestina pada pertengahan abad ke-1 Masehi. Dari Palestina, agama
ini menyebar ke Yunani dan Italia, melalui para penyebar agama. Pada mulanya,
penganut agama Nasrani terdiri dari lapisan masyarakat fakir miskin. Kemudian
lapisan atas ikut memeluk agama ini, termasuk para pembesar Negara. Salah satu
alas an kenapa kaum papa memeluk agama Nasrani adalah karena agama ini mengajarkan
kasih dan damai di dalamnya.[97]
Pada awal abad ke-4 M, imperium Palestina
memproklamirkan agama Nasrani sebagai agama resmi Negara. Mulailah agama
Nasrani yang semula sebagai agama yang dianut oleh golongan tertindas menjadi
institusi yang digunakan oleh kaum imperium untuk bertindak sesuai dengan
kemauan mereka atas nama agama.[98]
Berdasarkan catatan sejarah agama Yahudi masuk ke
Jazirah Arab melalui imigrasi dan perdagangan, sedangkan agama Nasrani masuk ke
Jazirah Arab melalui misionaris, pedagang dan budak, terutama yang diimpor dari
wilayah Binzantium dan Sasaniah. Hal ini terkait erat dengan ambisi imperium
Romawi dan Sasaniah untuk melebarkan kekuasaannya ke wilayah Arabia Timur yang
pada mulanya terkonsentrasi pada Iran dengan misi untuk menguasai perdagangan
sutra. Salah satu upaya yang mereka lakukan agar tercapai misinya adalah dengan
cara mengirim para misionaris dan mengirim berbagai bantuan guna mendirikan
geraja yang megah seperti yang terdapat di Aden dan Hormuz.[99]
Pada akhirnya Nasrani menemukan jalan di antara
Arabia, Syam dan Irak, sehingga agama ini kemudian muncul di Ghassaniah, Bahra,
dan Taghlib. Syam sendiri saat itu berada di bawah kekuasaan Binzantium, dan
Nasrani menjadi agama resmi di wilayah tersebut. Untuk itu, penduduk Syam ikut
menyebarkan agama Nasrani di kalangan masyarakat yang berada di bawah kekuasaan
Binzantium maupun di luar itu. Orang Syam menganut Nasrani yang beraliran
Monofizi (Monofisit), yaitu aliran alam (kodrat) yang satu (esa). Aliran ini
mengatakan bahwa Isa al-Masih itu esa, dan al-Masih itu sendiri adalah Allah.
Di sisi lain, sebagian orang Hirah memeluk aliran al-Nasthuriyah (Nestorian),
yang dinisbahkan kepada Nestorius seorang patriakh (kepala agama) untuk wilayah
Konstantinopel yang hidup pada tahun 428-451 M. Aliran ini mengatakan bahwa
al-Masih adalah dua karakter yang berbeda yang terpisah satu dengan yang
lainnya, yang satu karakter Ilahiyah (ketuhanan) dan yang kedua karakter
basyariyah (kemanusiaan).[100]
Menurut para sejarawan, sebagian dari raja Hirah
memeluk agama Nasrani, dengan alasan di Hirah terdapat gereja. Di antara
penganut agama tersebut adalah Hani bin Qabisyah al-Syaibani, salah seorang
pemuka Bani Syaiban. Ia meninggal sebagai penganut Nasrani. Di Irak salah satu
penganut agama Nasrani adalah Bani Ajam bin Lujaim dari kabilah Bakr bin Wail.
Pemimpin suku ini adalah Handalah bin Tsa’labah bin Sayyar al-Ajali. Agama
Nasrani kemudian menyusup ke Jazirah Arabia melalui Syam, Irak, dan Ethiopia melalui
misionaris, pedagang, para kafilah baik di darat maupun di laut yang memeluk
Nasrani. Di antara tempat yang memungkinkan untuk menjadi jalan ke Arabia
adalah Ailah dan Dumat al-Jandal. Mayoritas penduduk Dumat al-Jandal adalah
dari Bani Suhun dan Bani Kalb yang mayoritas beragama Nasrani.[101]
Di Yatsrib yang
kemudian dinamakan Madinah, terdapat sejumlah kecil pemeluk agama Yahudi. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ,
dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan
Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.[102] Sedangkan di Mekah terdapat sejumlah besar
penganut agama Nasrani, terutama di kalangan budak. Budak-budak ini diimpor
dari Ethiopia untuk bekerja bagi kepentingan saudagar Mekah. Di antara penganut
Nasrani dari kalangan Mekah ialah sebagian suku quraisy dari Bani Asad bin
abdul ‘Uzza. Di Thaif terdapat beberapa orang budak yang menganut agama
Nasrani. Di daerah Najed, suku Ta’I dan Kindah tercatat oleh sejarah sebagai pemeluk
agama Nasrani. Kemudian agama inipun berhasil masuk ke Yamamah, daerah yang
sangat terkenal dengan kemajuan pertanian dan industrinya, juga peradaban
penduduknya yang relative tinggi. [103]
Salah satu suku yang menempati wilayah Yamamah dan
menganut ajaran Nasrani menjelang kedatangan Islam adalah Bani Hanifah. Dalam
syair al-A’sya salah seorang penyair pada masa itu disebutkan beberapa bait
syair yang mengandung pujian terhadap Hamzah bin Ali al-Hanafi salah seorang
pemuka kabilah Bani Hanifah yang juga memeluk agama Nasrani.[104]
Berdasarkan hal ini, untuk memudahkan proses
penelitian tentang simbol-simbol keagamaan pada masa Jahiliyah terutama yang
berhubungan dengan ajaran Nasrani, penulis mengambil sampel dari bait-bait
syair yang digubah oleh al-A’sya al-Kabir salah seorang penyair Nasrani yang
hidup pada masa Jahiliyah menjelang kelahiran agama Islam. Selain al-A’sya,
penulis juga memberikan contoh dari syair-syair Hatim al-Tha’I yang meskipun
tidak didaulat sebagai penyair Nasrani, namun dari latar belakang sejarahnya,
ia banyak mengenal ajaran Nasrani.
b.
Simbol-simbol agama Nasrani
Sebagaimana disebutkan dalam kategorisasi syair
Jahiliyah di atas, bahwa pada masa Jahiliyah muncul beberapa penyair madzhab Nasrani[105]
atau penyair-penyair keagamaan Nasrani, seperti ‘Iddi ibn Zaed dan Umayyah
ibn al-Shult. Di samping kedua penyair tersebut, penyair lainnya yang juga
dikenal sebagai penganut Nasrani adalah al-A’sya al-Kabir. Bila melihat pada
latar belakang kehidupan Al-A’sya al-Kabir[106],
sebenarnya ia lebih tepat masuk pada katergori penyair kerajaan sebagaimana
dikategorikan oleh kitab al-Mujaz. Namun berdasarkan latar belakang
agama yang dianutnya, tidak ada salahnya kalau dalam kajian ini dimasukkan
dalam kategori penyair religi. Selain itu, dalam syair-syairnya pun ia banyak
menggunakan simbol-simbol keagamaan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan
analisis. Berdasarkan hal tersebut, penulis menganalisis simbol-simbol agama
Nasrani yang ada pada masa Jahiliyah berdasarkan pada simbol-simbol yang
terdapat dalam syair al-A’sya al-Kabir berikut ini:
1.
Simbol-simbol Keyakinan
Sebagai penganut agama Kristiani dan juga sebagai
penyair kerajaan, merupakan sebuah kewajaran bila al-A’sya memiliki banyak
informasi dan juga wawasan yang lebih dari yang lainnya. Sebab sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, bagi bangsa Arab penyair dianggap bagai dewa yang tahu
segalanya. Hal ini pun tampak pada syair al-A’sya yang banyak berbicara tentang
informasi keagamaan yang pernah ada sebelum Nabi Isa diutus. Seperti yang
terdapat dalam syair berikut ini:
أولن ترى فى الزبْر بيـ نةً
بحسن كتابها
Tidakkah kau lihat segala penjelasan yang
ada pada kitab Zabur
Dengan segala kebaikan Kitabnya
إن القرى يوما ستهـ لَك
قبل حقّ عذابها
Bahwa kota ini suatu hari akan musnah,
Sebelum azab yang sebenarnya datang
وتصير بعد عمارة يوما لأمر خرابها
Lalu (kota) itu yang semula ramai
Menjadi hancur
أولم ترى حجرا – وأنـ تِ حكيمة ولما بها
Tidakkah kamu melihat kota Hijr
Dan kamu adalah seorang pemimpin di sana
Pada mashra’[107]
pertama, penyair dengan jelas menyebutkan kata al-Zubr (الزُبْر) yang kemudian ia tegaskan
dengan mashra’ yang kedua dengan kata Kitab pada ujungnya. Dari
rangkaian bait tersebut, makna al-zubr berorientasi pada kitab suci yang
dikenal dengan nama Zabur. Zabur sebagaimana yang disebutkan dalam bait syair
al-A’sya adalah sebuah nama kitab suci yang diberikan kepada nabi Daud as. Zabur berasal dari kata zabûr yang diambil
dari kata kerja (fi’il) zabara-yazburu-zabr (زبَرَ- يزبُر- زبْرا). Secara etimologi kata zabur
dalam bentuk mufrad (tunggal), berarti kitab tertulis. Jamak dari kata
zabur adalah zubur. Dalam al-Qur’an kata zabur dan jamaknya zubur
disebutkan pada sembilan ayat, sedangkan yang disebutkan mufradnya saja
terdapat dalam tiga ayat.[108] Berdasarkan
hasil analisa, ayat yang merujuk pada kitab Zabur yang diturunkan Tuhan pada
Nabi Daud as, ternyata hanya yang berbentuk mufradnya (tunggal).
Sedangkan dalam bentuk zamak, istilah zabur lebih merujuk pada seluruh kitab
suci yang diwahyukan pada nabi-nabi terdahulu. Adapun Zabur dengan arti kitab
yang diwahyukan kepada Nabi Daud as, dalam bahasa Arab disebut dengan mazmûr
(مزمور)
dan jamaknya mazâmîr (مزامير).
Mazmur dalam bahasa Ibrani disebut Mizmor, dalam bahasa Suriani disebut Mazmor,
dan dalam bahasa Ethiopia disebut mazmûr.[109]
Berdasarkan hal tersebut, Zabur Nabi Daud as adalah
kumpulan mazmur, nyanyian rohani yang dianggap suci[110]
yang berasal dari Nabi Daud as. Zabur Nabi Daud as berisikan nyanyian rohani
yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya, dosa-dosanya, kejatuhannya, pengampunan
dosanya oleh Allah, sukacita kemenangannya atas musuh Allah, dan kemuliaa
Mesiah yang akan datang. Zabur yang merupakan mazmur berisikan lima macam
nyanyian, yaitu, nyanyian liturgi untuk memuji Tuhan, nyanyian perorangan
sebagai rasa syukur, ratapan-ratapan jemaat, ratapan dan do’a individu, serta
nyayian untuk raja.[111]
Berdasarkan pada penjelasan di atas, syair di atas
menggunakan kata Zabur dalam bentuk tunggal, sehingga makna yang diinginkan
lebih dekat pada kitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Daud as. Hal ini juga
ditegaskan oleh bait berikutnya yang menjelaskan sebagian isi dari kitab Zabur
tentang ramalannya terhadap kota –pada bait selanjutnya kota ini disebutkan
namanya yaitu Hijr- yang ditempatinya, bahwa kota tersebut suatu hari akan
musnah, sebelum azab yang sesungguhnya datang. Artinya kehancuran kota Hijr sudah
di ambang pintu yang diakibatkan oleh ulah mereka sendiri, bukan diakibatkan
oleh azab yang sudah dijanjikan Tuhan. Berdasarkan hal ini, maka dapat
dipastikan bahwa kaum Nasrani pada masa Jahiliyah telah mengenal kitab Zabur,
sebagai salah satu kitab suci agama Samawi sebelum agama Nasrani. Penyebutan
kata Zabur pada syair tersebut menjadi simbol, bahwa umat Nasrani pada masa
Jahiliyah telah mengenal ajaran-ajaran Samawi melalui kitab Zaburnya,
penyebutan kitab Zabur dalam syair tersebut juga menunjukkan akan adanya sistem
keyakinan terhadap kitab suci yang dianutnya.
Hal menarik lainnya dalam rangkaian bait syair di atas
adalah disebutkannya kata Hijr, nama sebuah kota yang juga disebutkan dalam
al-Qur’an:
ولقد
كذّب أصحاب الحجر المرسلين
Dan sungguh, penduduk negeri Hijr itu telah mendustakan para Rasul.
Ramalan yang ada dalam kitab Zabur, sebagaimana
disebutkan dalam syair al-A’sya tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan
dalam al-Qur’an. Tentang pendustaan kaum Hijr terhadap para utusan Tuhan di
negeri tersebut. Penyebutan kata Hijr dalam syair tersebut menjadi simbol akan
adanya pengingkaran terhadap ajaran agama yang disampaikan oleh para utusan
Tuhan yang dilakukan oleh kaum terdahulu, yang mungkin juga dilakukan oleh kaum
setelahnya yang kemudian menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa. Hijr adalah
simbol pengingkaran manusia masa lalu terhadap Tuhan yang dijelaskan baik dalam
kitab Zabur, maupun ayat al-Qur’an. Berita
tentang kaum Hijr hanyalah salah satu symbol keyakinan tentang berita masa lalu
yang diyakini oleh penyair.
2.
Peralatan
ritus dan upacara
Simbol lainnya yang terkait dengan kehidupan beragama
kaum Nasrani tampak pada peralatan ritus yang digunakan saat itu. Hal ini tampak
pada bait syair berikut ini:
إن الثعالب بالضحى يلعبنَ فى محرابها
Di pagi hari, orang Bani Tsa’labah [112]
bermain-main
Di mihrabnya
فخلا لذلك ما خلا من وقتها وحسابها[113]
Untuk itu ia berkhalwat (mengasingkan diri)
Menghindar dari saatnya dan hisabnya
Dalam bait syair yang
pertama, terdapat kata mihrab, sebuah istilah yang identik dengan tempat
beribadat, baik dalam agama Nasrani, Yahudi, maupun Islam. Tempat ini biasanya
menjadi arah kiblat dalam beribadah, atau tempat imam berdiri saat memimpin
jama’ah. [114]
Mihrab dalam syair tersebut merupakan simbol ritus agama Nasrani.
Adapun simbol upacara atau tata cara peribadatan
penganut agama Nasrani tampak pada syair berikutnya:
والجن تعزف حولها كالحُبش فى محرابها
Dan Jin bernyanyi di sekelilingnya
Seperti kaum Habasyah di Mihrabnya
Syair ini merupakan lanjutan
bait sebelumnya. Pada bait sebelumnya penyair menggambarkan ritual yang
dilakukan oleh Bani Tsa’labah di mihrab. Dalam bait ini, tampak penyair
menggambarkan situasi ritual di dalam mihrab tersebut, di mana di dalamnya para
jin ikut bernyanyi. Namun hal penting dari bait syair tersebut adalah
perumpamaan (tasybih) yang digunakan penyair untuk menggambarkan ritual kaum
Habasyah yang notabene beragama Nasrani dengan ibadat yang dilakukan oleh para
jin dari Bani Tsa’labah, yaitu sama-sama menyanyi (تعزف)
yang mungkin kita kenal dengan istilah nyanyian kebaktian.
Simbol ritus dan ajaran Nasrani lainnya dapat dilihat
dalam syair berikut ini:
وجميع ثعلبةَ بن سعـ ـد بعد حول قبابها
sedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah itu
Di sekeliling kubah-kubahnya
من شربها المزّاءَ ما اسـ ـتبطنتُ من إشرابها
Sambil meminum khamr (arak) yang aku
sendiri
Tak ingin meminumnya[115]
وعلمتُ أن الله عمـ ـدا حسّها وأرى بها[116]
Sebab aku tahu bahwa Allah telah dengan
sengaja
menetapkan hina (najis) pada arak itu
Selain kata Mihrab,
simbol peralatan ritual lainnya yang juga ada hubungannya dengan mihrab adalah
kata qibbab yang merupakan jamak dari qubbah. Dalam kamus kata
tersebut diartikan dengan kata yang sama yaitu kubah, sebuah atap bangunan berbentuk
bundar dan melengkung. Berdasarkan syair di atas, kubah ini dijadikan sebagai
tempat berkumpul masyarakat Arab saat itu, sambil berpesta minuman arak.
Berkaitan dengan minum arak, penyair sebagai penganut
agama Nasrani dengan tegas menyatakan bahwa ia sendiri tidak meminumnya. Alasan
ketidakikutsertaan penyair dalam minum arak sangat jelas termaktub dalam
syairnya, “Sebab aku tahu bahwa Allah telah dengan sengaja menetapkan hina
(najis) pada arak itu”. Landasan keyakinan akan agama yang dianutnya jelas
menjadi alasan penyair untuk tidak meminum arak. Ungkapan ini juga menjadi
simbol salah satu ajaran Nasrani yang mengharamkan umatnya untuk meminum
minuman keras yang dalam syair disebut dengan istilah syurb al-muza ( شرب المزّاءَ).
وردت على سعيد بن قيـ س ناقتى ولما بها
Untaku datang pada Sa’id bin Qais
Dengan segala tujuannya[117]
فإذا عبيد عكّفٌ مسك على أنصابها
Tiba-tiba seorang ahli ibadah (pendeta)
melarang memberikan apapun pada
berhala-berhalanya
Pada bait-bait syair di atas terdapat banyak simbol
keagamaan nasrani, baik yang bersifat materi maupun dalam bentuk ajaran agama.
Sebagai contoh pada bait pertama terdapat kata ‘abîd (عبيد)
yang dirangkai dengan ‘ukkaf (عكف).
Keduanya menunjukkan simbol keagamaan, sebab ‘abid bila diartikan adalah
seorang ahli ibadah atau dalam agama Nasarani lebih tepatnya pendeta. Kata ‘ukkaf
diambil dari suku kata ‘a-ka-fa yang artinya beri’tikaf atau berdiam
diri dengan sengaja di tempat ibadah untuk untuk beribadah. Kata ‘ukkaf
sendiri merupakan isim fa’il (pelaku) dari I’tikaf. Kedua kata
tersebut berarti ahli ibadah yang sedang beribadah. Dari kedua kata ini muncul
symbol lain yang berbentuk ajaran Nasrani. Ajaran ini tampak pada apa yang
dilakukan oleh ahli ibadah Nasrani tersebut yang terlihat dalam ungkapan mumsik
‘ala anshabiha (مسك
على أنصابها)
yang dalam syarah diwan al-A’sya diartikan dengan seseorang yang melarang orang
lain dari memberi makanan atau sesaji pada berhala-berhala. Dari syair di atas,
tampak jelas bahwa agama Nasrani pada saat itu telah berupaya untuk
menghilangkan tradisi bangsa Arab yang suka menyembah berhala. Anshab
atau berhala sebagaimana digambarkan dalam syair tersebut jelas menjadi salah
satu peralatan ritus bangsa Arab pada masa Jahiliyah.
3. Simbol Keyakinan
Selain simbol-simbol yang berbentuk fisik dan ajaran,
dalam syair al-A’sya juga terdapat simbol-simbol keyakinan yang tampak dalam
konteks syairnya seperti berikut ini:
شباب وشيب وافتقار وثروة فلله هذا الدهر كيف تردّدا
Muda dan Tua, miskin dan kaya
Semua
(masa) itu milik Allah, bagaimana engkau bisa ragu
وما زلتُ أبغى المال مذ أنا يافع وليدا وكهلا حين شبتُ وأمردا
Aku akan tetap mencari harta (bekerja),
selagi masih muda
Ketika rambut bercampur uban maka aku telah
tua (tak mampu bekerja)
Dalam syair tersebut terlihat simbol-simbol keyakinan
yang dianut oleh penyair, bahwa segala hal yang terjadi pada manusia, baik masa
muda, menjadi tua, keadaan miskin, maupun kaya, pada hakekatnya adalah takdir
Tuhan dan kehendaknya yang tidak boleh diragukan lagi. Namun demikian, meskipun
semua yang disebutkan tersebut adalah kehendak Tuhan, bukan berarti manusia
harus berpangku tangan tanpa usaha. Untuk itu ia tegaskan dengan bait “Selagi masih muda, Aku akan tetap mencari harta
(bekerja), dan ketika rambut bercampur uban itu berarti aku telah tua (tak
mampu bekerja lagi)”. Berdasarkan
syair tersebut, kita tentu ingat apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW pada
umat Islam:
اعمل لدنياك كأنك تعيش
أبدا واعمل لأخيرتك كأنك تموت غدا
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya
Dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari
Berdasarkan hal
tersebut, maka tampak persamaan ajaran antara kedua agama Samawi, Islam dan
Nasrani.
Al-A’sya adalah penyair
Nasrani Jahiliyah, namun sempat mengalami hidup semasa dengan Rasulullah SAW.[118]
Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ia sempat hendak memeluk Islam,
namun dihalangi oleh kaum kafir Quraisy, sehingga ia memutuskan untuk tidak
meneruskan keinginannya tersebut. Namun demikian, ia mengakui akan kebenaran
ajaran Muhammad SAW.[119]
Beberapa pengakuannya terhadap kebenaran ajaran Islam dapat kita saksikan dalam
syair-syairnya berikut ini:
متى ما تناخى عند باب ابن هاشم تريحى وتلقى من فواضله يدا
Kapan saja kamu memohon keberkahan di depan pintu Ibnu
Hasyim (Muhammad Saw)
Pasti kamu merasa damai dan memperoleh
keberkahan tangannya.
نبيّ يرى ما لاترون وذكره أغار، لاعَمرى فى البلاد وأنجدا
Seorang Nabi yang dapat melihat apa yang
tidak dapat kalian lihat dan
–demi agamaku- menyebut-nyebutnya adalah sebuah
kemuliaan di kota ini
له صدقات ما تغبُّ ونائل وليس عطاء اليوم مانعه غدا
Shadaqahnya tak pernah berhenti
Memberi hari ini tidah menghalanginya untuk
bersedekah esok hari
أجدّك لم تسمع وصاة محمد نبيّ الإله حين أوصى وأشهدا
Sungguh engkau belum mendengar ajaran
Muhammad
Seorang Nabi Allah ketika ia berwasiat dan
bersaksi
إذا أنتَ لم ترحل بزاد من التقى ولاقيتَ بعد الموت من قد تزوّدا
Jika kamu hidup tidak berbekal takwa
Lalu setelah mati berjumpa dengan orang
yang bertakwa
ندمتَ على أن تكون كمثله وأنك لم ترصد لما كان أرصدا
Kamu pasti menyesal karena tidak seperti
dia
Dan kamu tidak bersiap-siap seperti yang ia
lakukan
فإيك والميتات لا تأكلنَّها ولا تأخذنْ سهما حديدا لتفصدا
Jauhilah bangkai dan janganlah kamu
sekali-kali memakannya
Dan jangan pula melempar panah besi untuk
mengundi nasib
وذا النصب المنصوب لاتُنسكنَّه ولا تعبد الأوثان والله فاعبدا
Patung yang disembah-sembah itu, janganlah
kamu sembah
Dan janganlah menyembah berhala, namun
sembahlah Allah
وصلِّ على حين العشيّات والضحى ولا تحمد الشيطان والله فاحمدا[120]
Shalatlah pada waktu malam dan siang hari
Dan janganlah memuji Syetan, pujilah Allah
Dalam rangkaian syair madah (pujian) yang
ditujukan pada Nabi Muhammad SAW tersebut, terdapat beberapa simbol keagamaan
yang ia utarakan, seperti kemuliaan dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW,
pengakuan akan kenabian Muhammad SAW, keistimewaan sedekah, anjuran untuk hidup
berbekal takwa, larangan memakan bangkai dan mengundi nasib (judi), larangan
menyembah berhala, dan keharusan untuk menyembah Allah SWT, perintah untuk
menjalankan shalat dan memuji Tuhan, serta larangan untuk memuji syetan. Dari
syair tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa semua hal yang diungkapkan
penyair, pada dasarnya adalah simbol-simbol ajaran Islam yang mungkin ia yakini
kebenarannya, sebab pada prinsipnya adalah sama.
Dari keyakinan tersebut, sebagaimana terdapat dalam
syair-syair Jahiliyah yang lain, al-A’sya pun sebagai penyair Nasrani terbiasa
menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menegaska sesuatu yang diyakininya.
Hal ini membuktikan bahwa tradisi bersumpah dengan nama Allah sudah menjadi
budaya masyarakat Jahiliyah. Hal tersebut dapat kita saksikan dalam contoh
syair berikut ini:
كلّا، يمين الله حتى تُنْزلوا من رأس شاهقة إلينا
"الأسودا"
Ingatlah, Demi Allah, hingga kalian
melepaskan
“Aswad” [121]dari
ketinggian
لنقاتلنكم على ما خيّلتْ ولنجعلنَّ لمن بغى وتمرّدا[122]
Akan kuperangi kalian, seperti yang
dibayangkan
Kuperuntukkan bagi yang menentang dan
melawan
Kata يمين الله dalam syair di atas adalah salah satu gaya bahasa dalam
bersumpah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arab di samping wallahi,
tallahi, halaftu billahi, dan lain sebagainya. Persoalannya apakah lafaz
Allah tersebut, berasal dari bahasa Arab atau diadopsi dari bahasa Agama
sebelumnya, hal ini perlu argumentasi yang lebih banyak lagi.
Simbol keyakinan pada Yang Maha pemberi rizki tampak
dalam syair di bawah ini:
وجعل الإله طعامنا فى مالنا رزقا تضمنه لنا لن ينفدا[123]
Allah telah menjadikan makanan dalam harta
kita
Sebagai rizki yang tak pernah salah
نزور يزيد وعبد المسيح وقيسا هم خير أربابها[124]
Kami mengunjungi Yazid dan Abdul Masih
Juga Qais, mereka semua pemimpin kami yang
terbaik
Syair pertama menyatakan adanya keyakinan pada Sang
pemberi rizki dengan menyandarkannya pada lafaz Allah, sedangkan pada bait
kedua, menjadi bukti adanya keyakinan umat Nasrani atas ketuhanan Isa al-Masih.
Hal ini terbukti dari nama yang disebut oleh penyair yaitu Abd al-Masih
yang artinya hamba al-Masih, dan al-Masih adalah nama lain dari
nabi Isa as. Dalam bahasa Arab, pengidhafatan (penyandaran) kata abd
(hamba) biasanya dirangkai dengan sesuatu yang dianggap sakral dan suci atau
memiliki makna penyembahan, seperti Abdullah yang artinya hamba Allah, abd
al-syams (hamba matahari), abd al-Uzza (hamba Uzza/berhala bernama Uzza),
dan lain sebagainya.
Selain al-A’sya al-Kabir yang sudah dikenal sebagai
penganut Nasrani, simbol-simbol agama Kristiani juga tampak pada bait-bait
syair yang digubah oleh Hatim al-Tha’i[125].
Hatim al-Tha’I, memang dalam buku-buku sejarah Sastra Arab tidak dikategorikan
sebagai penyair religi, namun demikian sebagaiman disebutkan di atas bahwa suku
Tha’i dan Kindah yang terletak di daerah Najed, tercatat sebagai pemeluk agama
Nasrani. Hatim sebagaimana julukan populernya al-Tha’I, adalah penyair kelahiran Najed dari suku Tha’i yang mayoritas
adalah pemeluk agama Nasrani. Hal ini juga diperkuat dengan bukti sejarah
lainnya yang mengatakan ia juga tinggal di wilayah Syam karena menikah dengan
Mawiyah binti Hajar seorang putrid dari kerajaan Sasaniah (Ghasaniah). Dan Syam
sebagaimana disebutkan di atas salah satu pusat perkembangan agama Kristiani.
Untuk itu, besar kemungkinan Hatim telah banyak mengenal ajaran-ajaran
Kristiani dan menjadi salah seorang penganutnya. Hal ini tampak dalam beberapa
bait syairnya yang mengandung jaran-ajaran agama:
فلو كان ما يعطى رياء لآمسكت به جنباتُ اللوم يجذبنه جذبا
Andai apa yang diberikan ini sebuah bentuk
keriyaan (pamer), maka sesungguhnya celaan itu akan menahannya dengan kuat
Yakni apabila seseorang memberikan sesuatu hanya untuk
tujuan riya (pamer), maka yang ia dapatkan sesungguhnya hanyalah sebuah
kehinaan.
Akan tetapi hendaklah berbuat karena Allah
semata
(Jika sudah berniat seperti itu),
berikanlah, maka engkau sesungguhnya telah beruntung dalam perniagaan.
Bila diperhatikan,
sungguh erat kaitannya antara penyebutan kata Allah pada bait kedua dengan
sikap riya pada bait sebelumnya. Sikap riya dalam berderma sepertinya sangat
ditentang oleh penyair, bahkan pada bait selanjutnya ia tegaskan bahwa segala
perbuatan khususnya berderma hendaknya hanya karena Allah semata dan mencari
keridhaanNya. Syair tersebut menjadi simbol bahwa agama Nasrani pada hakekatnya
telah mengajarkan nilai-nilai keikhlasan dalam beramal sebagaimana juga yang
diajarkan oleh agama Islam.
Bait syair ini sungguh mengingatkan kita pada
ajaran-ajaran Islam tentang nilai-nilai shadaqah. Sebuah ajaran yang sama-sama
mengajarkan kasih dan keikhlasan dalam beramal. Istilah يبغى به الله yang berarti berbuat sesuatu karena Allah, dalam
al-Qur’an disebutkan secara berulang-ulang, dengan berbagai ungkapan, seperti يبتغون فضلا من الله , لتبتغوا
فضلا من ربكم , ابتغاء وجه الله ,ابتغاء
مرضاة الله
dan masih banyak lagi yang semuanya menunjukkan pada makna perbuatan yang hanya
dilakukan atas nama Allah dan hanya mencari keridhaanNya.
كلوا الآن من رزق الإله وأيسروا فإن على الرحمان رزقكم غدا[127]
Nikmatilah rizki Allah saat ini, dan
permudahlah
Karena sang Maha pengasihlah yang akan
memberi kalian rizki esok Hari
Sebuah konsep keyakinan
yang biasa diyakini oleh pemeluk agama Samawi bahwa Allahlah pemberi rizki
makhluknya, sekarang dan esok hari. Tidak perlu ada ada rasa ketakutan akan
lapar yang akan menimpa esok hari, karena rizki itu di atur oleh sang Maha
kasih (al-Rahman). Nama al-Rahman
sebagaimana yang kita ketahui adalah salah satu Nama Allah yang ada dalam al-asma
al-husna (Nama-nama Allah yang baik).
Selain yang terkait
dengan ajaran-ajaran di atas, lafaz Allah juga seperti penduduk Arab lainnya,
dalam syair Hatim juga digunakan untuk bersumpah. Bersumpah dengan menggunakan
lafaz Allah sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah dan
menjadi retorika dalam percakapan bahasa Arab. Terbukti sumpah-sumpah dengan diidhafatkan
pada nama Allah dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Arab pada masa itu,
seperti halnya juga dilakukan oleh penganut agama Nasrani seperti dalam syair
Hatim al-Tha’i beirikut ini:
وتواعدوا وردَ القريّة غدوةً وحلفتُ
بالله العزيز لنُحبَس
Mereka saling berjanji di sebuah sumur air
di pagi hari
Dan aku bersumpah atas nama Allah yang Maha Agung,
kami akan menahan diri
Dan Allah tahu, jika datang para pembawa kehancuran
dengan membawa arak-arak mereka
Hari-hari akan terus dalam kesulitan
Sungguh menarik syair
Hatim al-Tha’i ini, dan hal ini semakin membuat kita yakin kalau ia adalah
seorang yang religius. Maka tidak salah jika ia kemudian dimasukkan dalam
kategori penyair religi Nasrani. Dalam syairnya tersebut ia bersumpah atas nama
Allah bahwa ia akan menahan diri dari minum-minuman keras yang ia sebut dengan
nama sulâf,[129]
meskipun di tempat pertemuan yang ia sebut dengan wird al-qaryah semua
orang meminum arak. Larangan meminum khamr tersebut, sangat jelas
dinyatakan oleh Hatim al-Thai’I bahwa landasannya adalah agama, meski tidak
dinyatakan secara inplisit bahwa agama Nasranilah yang melarangnya. Dari
caranya menyandarkan sebuah ajaran atau prinsip hidup dengan atas nama Allah
adalah sebuah bukti bahwa meminum khamr bukan hanya dilarang bagi umat
Islam, namun juga sudah dilarang oleh agama sebelum Islam, terutama oleh agama
samawi seperti agama Nasrani. Dalam syair tersebut juga jelas disebutkan akibat
yang akan terjadi jika mereka tetap tidak berhenti meminum-minuman keras, yakni
akan muncul berbagai kesulitan yang ia namakan dengan kata musykis.
أأفضح جارتى وأخون جارى معاذ
الله أفعل ما حييتُ[130]
Apakah aku pantas membuka aib tetangga perempuanku dan
menghianati tetangga laki-lakiku
Aku berlindung pada Allah dari melakukan hal seperti
itu
Selain ajaran tentang larangan meminum arak, dalam
syairnya, Hatim juga mengucapkan kata ma’adzallah (معاذ الله) yang artinya aku mohon
perlindungan dari Allah. Kata tersebut ia ucapkan sebagai permohonan kepada
Allah agar ia tidak pernah menyebarkan aib seseorang atau juga menghianatinya.
Dua ajaran moral yang juga menjadi ajaran Nabi Muhammad SAW yang sangat ditekankan,
bahkan dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa siapapun yang menyebarkan aib orang
lain, ibarat memakan bangkai saudaranya sendiri. Dan perintah untuk selalu menjaga amanat dan
larangan untuk tidak melanggar perjanjian, dalam al-Qur’an ditekankan secara berulang-ulang,
begitu pula dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Jika semua ini syair di
atas adalah sebuah kebenaran, maka sesungguhnya ajaran agama Samawi pada
hakekatnya satu.
Menurut
Prof. Dr. Koetjaraningrat yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor, ada beberapa
komponen yang terkait dengan sistem religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2)
sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan
upacara, dan (5) umat beragama.[131] Dari simbol-simbol agama yang
telah disebutkan di atas, maka Nasrani pada masa Jahiliyah sudah memenuhi semua
persyaratan untuk menjadi sebuah agama karena di dalamnya sudah tercermin emosi
keagamaan, keyakinan, ritus dan peratalannya, serta penganut agama itu sendiri
D.
Simbol-simbol
keagamaan dalam syair Yahudi
a. Latar Belakang Sejarah Agama Yahudi pada Masa Jahiliyah
Yahudi adalah salah satu agama Samawi yang berkembang
di Jazirah Arab. Penganut agama Yahudi yang masuk ke Jazirah ini berasal dari
Suriah, Paletina, dan Irak. Agama yahudi akhirnya mendapatkan penganut yang
kuat di Yaman. Perpindahan orang Yahudi ke Yaman ini disebabkan oleh adanya
peperangan yang terus-menerus di Pelastina pada abad pertama Masehi. Hal
tersebut mendorong pindahnya orang Yahudi dari tanah air mereka untuk
menyelamatkan diri. Meskipun demikian, di Yaman mereka juga mendapatkan
kesulitan karena Yaman tetap menjadi ajang pertikaian antara dua kekuatan
besar, yakni Binzantium yang beragama Nasrani dan Sasaniah yang beragama
Zoroaster. Kedua imperium ini menggunakan agama sebagai alat pembenaran bagi
ekspansi mereka ke Yaman, wilayah yang memiliki sumber alam potensial.[132]
Di samping Yaman, daerah yang menjadi tujuan pengikut
Yahudi ialah Madinah, Lembah al-Qura’, Khaibar dan Taima. Penganut agama Yahudi
juga terdapat di Bahrein. Ketika Nabi Muhammad SAW mengajak penduduk wilayah
ini untuk masuk Islam, ternyata mereka beragama Yahudi. Pengikut Yahudi bekerja
di sektor perdagangan, pertanian, dan industri, di samping sebagai rentenir di
kalangan masyarakat miskin. Di Nejran sebuah wilayah pertanian yang subur, para
penganut Yahudi mendirikan pemukiman dan tempat tinggal bersama penduduk Arab
asli yang menyembah berhala, dan pemeluk agama Nasrani. Berbeda dengan orang
Nasrani, orang Yahudi tidak menekankan bimbingan agama untuk sesama Yahudi atau
menyebarkan agamanya bagi masyarakat lain. Mereka juga tidak memiliki fasilitas
khusus untuk kepentingan agama Yahudi. Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya
hanya mendiami tempat-tempat yang dapat dijangkau transportasi. Mereka lebih
mementingkan pengumpulan harta sebanyak-banyaknya.[133]
Hal yang paling penting yang perlu diketahui bahwa
meskipun kaum Yahudi itu lebih mementingkan materi, namun demikian berkat
tangan mereka, pemikiran tentang ketuhanan, termasuk ajaran-ajaran tentang
kejadian alam, kebangkitan, perhitungan amal di akhirat, surga, neraka, setan
dan iblis di Jazirah Arab mulai dikenal.[134]
Kaum Yahudi pada masa Jahiliyah tidak mengembangkan
karakteristik tertentu dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, nama orang,
keluarga, maupun kabilah diambil dari nama-nama Arab. Dan syair yang digubah
oleh penyair Yahudi pun memiliki cirri-ciri khas Arab pada masa itu.Begitu juga
halnya dalam kehidupan sosial politik, tidak terdapat perbedaan yang menonjol
antara kaum Yahudi dengan bangsa Arab pada umumnya. Untuk itu, banyak orang
Arab yang memeluk agama Yahudi, sehingga istilah Yahudi pada saat itu lebih
berkonotasi agama.[135]
b. Simbol-simbol Agama dalam syair Umayyah Ibn Abi al-Shult[136]
Agama Yahudi adalah agama yang sempat berkembang pada masa
Jahiliyah, seperti halnya agama Kristen. Pemeluk agama Yahudi menempati kota
Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani
Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan
suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga
terkadang bermusuhan. Sebagaimana agama Samawi lainnya, simbol-simbol keagamaan
dalam kehidupan mereka tampak jelas.
Sebagai contoh syair religi yang digubah oleh Umayyah ibn Abi al-Shult
Penyair Yahudi berikut ini:
الحمد
لله مُمسانا ومُصبحَنا بالخير
صبحنا ربّى ومسّنا
Segala puji bagi Allah di pagi hari
dan sore hari
Wahai Tuhanku, berikan kami
kebajikan di pagi dan sore hari
ربّ
الحنيفة لم تنفذ خزائنها مملوءة
طبق الآفاق سلطانا
Tuhan (pemilik agama) Hanif
yang kekayaannya tidak pernah habis
Kuasanya meliputi seluruh lapisan
cakrawala
Pada
bait pertama, tampak nyata simbol keyakinan yang dianut oleh penyair, yaitu
keyakinan pada Allah SWT yang mengatur roda kehidupan alam ini. Silih bergantinya siang dan malam, adalah
sebuah bukti akan kekuasaan Allah yang harus disyukuri. Dalam syair tersebut
juga terselip sebuah doa pada Allah agar senantiasa memberikan kebaikan dari
setiap pergantian masa, baik pagi hari maupun sore hari. Sebagai seorang
muslim, mungkin hapal atau miminimal pernah mendengar doa dari Rasulullah
berikut ini:
اللهم
بك أصبحنا وبك أمسينا وبك نحيا وبك نموت وإليك النشور
Ya Allah bersamaMu kami jalani pagi ini dan bersamaMu pula kami jalani
sore ini
bersamaMu hidup dan mati kami, dan padaMulah kami kembali
Inti dari do’a tersebut hampir sama dengan syair Umayyah
Ibn Abi al-Shult sebelumnya, bahkan dari segi bahasa ada beberapa kemiripan
antara keduanya, yaitu pada kata pagi dan sore hari yang dirangkai dengan
permohonan pada Tuhan untuk mendapat kebaikan di dalamnya. Hal yang membedakan
antara keduanya terletak pada penambahan kata akhir sebagai penyempurna do’a
bagi umat Islam, yaitu pada kata denganMu hidup dan mati kami, serta padaMu
kami kembali.
Pada bait berikutnya, kata hanifah yang
terdapat dalah syair tersebut adalah simbol agama samawi. Hanifah secara
bahasa berarti condong ke jalan yang lurus (benar). Yakni sikap yang berpihak
pada kebenaran yang datang dari Allah SWT melalui ajaran agama Islam yang
dibawa Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW.
Di dalam al-Qur’an terdapat 12 kata hanif dan kata-kata
lain yang berasal dari derivasi yang sama. Dari syair Abu al-Shult di atas,
terbukti bahwa istilah hanif sudah dikenal sejak zaman pra Islam. Memang
dalam bait tersebut tidak disebutkan apakah yang ia maksudkan dengan kata hanifah
adalah agama Nabi Ibrahim as atau bukan, namun dari mashra’ berikutnya
dapat diketahui bahwa ada sebuah keyakinan agung dari sang penyair akan adanya
penguasa yang menguasai jagat raya ini, sebagaimana keyakinan agama hanif
yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terdapat dalam bait syair:
ألا نبيٌّ لنا منا فيخبرنا ما بعد غايتنا من رأس محيانا
(ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk
kita,
untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita.
بينا يرببّنا آباءنا هلكوا وبينما تقتنى الأولاد افنانا
Apa yang diajarkan oleh nenek moyang kita pasti hancur
Dan apa yang didapat oleh anak-anak akan berkembang
وقد علمنا لو أن العلم ينفعنا أن سوف يلحق أخرانا بأولانا[137]
Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat
(dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan
akhir adalah awal perjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.
Dari bait-bait syair di
atas, tampak jelas bahwa kata rabb al-hanifah (Tuhan pemiliki agama yang
lurus), terkait erat dengan kata nabi yang diutus untuk umat manusia yang
berasal dari kelompoknya masing-masing. Untuk itu perlu diperhatikan syair
ini:
ألا
نبيٌّ لنا منا فيخبرنا ما بعد
غايتنا من رأس محيان
(ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk
kita,
untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita.
Kata nabi pada bait syair tersebut tidak ditujukan
pada satu nama nabi, tidak Ibrahim, tidak Isa, tidak juga Muhammad. Hal ini
terlihat dari kata Nabi yang menggunakan isim nakirah bukan ma’rifah.[138] Hal
ini sudah ditegaskan dalam syair sebelumnya bahwa rabb al-hanifah (Tuhan
pemilik agama yang hanif), Dialah yang mengutus Nabi kepada setiap umat yang
akan menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan yang sebenarnya, yang akan memberitahukan
tentang akhir tujuan hidup ini.
Pada bait selanjutnya disebutkan:
وقد علمنا لو أن العلم ينفعنا أن سوف يلحق أخرانا بأولانا[139]
Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat
(dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan
akhir adalah awal perjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.
Syair ini menunjukkan adanya keyakinan pada penyair
tentang adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini yang dinyatakan
dengan kata ukhrâna dan ulâna. Yang pertama berarti akhir dari
kehidupan (dunia) dan yang kedua awal dari kehidupan (akhirat).
Pada syair berikutnya, Abu al-Shult menyebutkan
berbagai simbol keyakinan seperti terdapat pada bait-bait berikut ini:
الله وملائكته
لك الحمد والنعماء والملك ربنا فلا شيء أعلى منك مجدا وأمجدُ
Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, kenikmatan dan kekuasaan
Tak ada sesuatu pun yang lebih
tinggi dan mulia dari-Mu
وملائكةٌ أقدامهم تحت عرشه بكفيه لولا الله كلّوا وأبلدوا
Di bawah ArsyNya
kaki-kaki Malaikat
Demi kedua telapak tanganNya, jika bukan karena Allah,
mereka pasti letih dan lemah
قيامٌ على الأقدام عانين تحته فرائصهم من شدة الخوف ترعد
Tampak nyata berdiri dengan kaki di bawah Arasy
Tubuhnya bergetar karena sangat takut[140]
وسبط صفوف ينظرون قضاءه يصيخون بالأسماع للوحي رُكَّد
Berbaris dengan rapi, menunggu keputusannya
Mendengarkan wahyu dengan tenang
أمينٌ لوحي القدْس جبريل فيهم وميكالُ ذو الروح القويّ المسدّدُ
Yang dapat dipercaya untuk (mengemban) wahyu yang suci, di antara mereka
Jibril dan Mikail yang memiliki ruh yang sangat kuat lagi
benar
وحُرّاس أبواب السموات دونهم قيام عليها بالمقاليد رصّدُ[141]
Dan para Malaikat penjaga pintu-pintu langit di bawahnya
Berdiri di atasnya, mengawasi dengan cermat
Pada syair di atas,
selain menyebutkan keyakinan penyair terhadap adanya Tuhan dan kekuasaanNya,
penyair juga menyebutkan simbol lainnya yang terkait dengan keyakinan, terutama
keyakinan pada hal-hal yang bersifat gaib, seperti keyakinan akan adanya
malaikat dan tugas-tugasnya serta Arsy (singgasana Tuhan). Ada dua nama
malaikat yang secara jelas dinyatakan dalam syair tersebut, yaitu Jibril dan
Mikail. Adapun di antara tugas malaikat disebutkan di antaranya sebagai
penopang Arsy, melaksanakan titah Tuhan, mendengarkan wahyu-wahyu Tuhan, serta
menjaga pintu-pintu langit dan mengawasinya.
Menurut Fazlur Rahman
sebagaimana dikutip oleh Ensiklopedi Islam, malaikat yang sering dinyatakan
dalam al-Qur’an adalah makhluk-makhluk langit yang mengabdi kepada Allah SWT.
Mereka melakukan berbagai kewajiban, dari mencabut nyawa hingga memikul arsy
Allah SWT. Di dalam ensiklopedi Islam juga disebutkan bahwa di antara ciri-ciri
malaikat adalah tidak pernah mengingkari Allah SWT atau berbuat dosa kepadanya,
mereka juga hanya mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa ada inisiatif untuk
berbuat yang lain, dan mereka secara khusus diciptakan Allah untuk melakukan
tugas-tugas tertentu.[142] Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan penyair di
atas bahwa ada malaikat yang secara khusus memikul singgasana Allah SWT yang
karena kuasa-Nya tidak merasa letih dan lelah, setia mendengarkan
titah-titah-Nya (wahyu), serta selalu takut pada-Nya.
Dalam ajaran Islam,
percaya akan adanya malaikat adalah salah satu rukun Iman. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam al-Qur’an: Kebaktian itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
Timur dan Barat, namun kebaktian yang sebenarnya adalah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, …(QS.2:177).
Sebagaimana agama samawi lainnya, istilah malaikat dalam agama Yahudi telah
sangat dikenal pada masa Jahiliyah. Hal ini terbukti dengan disebutkannya di
dalam syair dua nama malaikat yang juga sangat dikenal dalam ajaran Islam,
yaitu Jibril dan Mikail.
Jibril dan Mikail
sebagaimana disebutkan dalam syair, adalah dua dari sepuluh malaikat yang wajib
diimani keberadaannya dalam agama Islam. Jibril, sebagaimana diyakini oleh umat
Islam selain bertugas mengepalai seluruh malaikat, ia juga bertugas
menyampaikan wahyu pada para nabi. Tugasnya berakhir hingga kenabian Muhammad
SAW. Adapun malaikat Mikail adalah malaikat yang bertugas membagi rizki pada seluruh
makhluk, memberi makanan, minuman, dan menurunkan hujan.[143] Dalam
al-Qur’an kedua malaikat ini disebutkan secara berulang kali, terutama malaikat
Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad
SAW.
Simbol agama lainnya yang terdapat dalam syair
Jahiliyah yang juga sangat familier di telinga umat Islam adalah kata arasy. Kata
Arasy secara bahasa berarti singgasana. Di dalam
al-Qur’an banyak ditemukan kata arsyuhu yang artinya singgasana Tuhan.
Para ulama sepakat bahwa arasy atau singgasana Tuhan itu tidaklah sama
dengan singgasana apapun yang dipunyai makhlukNya. Namun demikian,
sebagian ulama meyakini bahwa arasy yang dimaksud terkait dengan
kekuasaan Tuhan, sehingga Rabb al-arsy al-azhim diartikan dengan
pengatur kerajaan yang agung. [144]
Namun melihat pada apa yang diungkapkan dalam syair Abu al-Shult penyair Yahudi
di atas, tampak jelas bahwa istilah arasy bukanlah semata-mata milik
umat Islam dan hanya diinformasikan pada kaum Muslimin. Sebab sangat jelas
dalam syair tersebut, bahwa kaum Yahudi pun sebagai penganut agama samawi telah
terlebih dahulu mengetahui informasi tentang arasy Tuhan dengan segala
hal yang ada di sekitarnya, persis sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam
al-Qur’an. Berdasarkan fakta tersebut, maka dari segi ideologi tidak tampak
perbedaan antara Islam dan Yahudi.
Yahudi sebagai sebuah
agama, tampak telah menganut suatu kepercayaan
kepada wujud supranatural (Tuhan) dan berbagai hal gaib lainnya, serta telah memiliki
nilai-nilai emosi keagamaan seperti pengagungan pada yang Maha Kuasa, keyakinan
akan adanya kehidupan setelah ini, dan lainnya. Sayangnya, karena berbagai keterbatasan,
penulis belum sempat menyajikan secara menyeluruh simbol-simbol lainnya yang
pada dasarnya masih banyak lagi.
Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya,
terlihat jelas bahwa pada masa Jahiliyah, sebagian dari ajaran agama Nasrani
maupun Yahudi pada dasarnya telah sampai ke Jazirah Arab, sayangnya, karena
berbagai hal, ajaran kedua agama ini masih belum menyentuh bagian dalam
masyarakat Arab terutama masyarakat badawi. Untuk itu Allah SWT mengutus nabi
Muhammad SAW yang berasal dari golongan mereka sendiri untuk menyampaikan wahyu-wahyu
Ilahi sebagai pesan dari langit yang disebut dengan agama hanif (agama
yang lurus)
Berdasarkan fakta yang terdapat dalam syair-syair di
atas, maka apa yang dinyatakan dalam Ensiklopedi Dunia Islam bahwa masyarakat
Arab sesungguhnya telah memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat
sederhana, sesederhana kehidupan mereka[145]
adalah benar. Hanya saja sampai sejauh mana keyakinan sederhana tersebut,
sebagiannya tampak pada syair-syair yang telah disebutkan di atas.
Demikianlah beberapa fakta tentang simbol-simbol
keagamaan yang ada pada masa Jahiliyah yang terungkap dari syair-syair
Jahiliyah. Karena keterbatasan penulis, data tersebut mungkin hanya sebagian
kecil saja, sebab masih banyak simbol-simbol keagamaan lainnya yang masih belum
terungkap ke permukaan.
[1] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
[2] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya
tidak ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban,
sebab selalu ada tahapan seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat
perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal
usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnya
berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah
orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28
[3] Genealogis
atau ilmu nasab, yaitu Ilmu yang digunakan untuk mengetahui silsilah atau
keturunan seseorang.
[4] Al-Iskandari
dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10
[5] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
[6] Keterangan
lengkap mengenai ketiga kerajaan tersebut, lih. Jurji Zaidan, Al-‘Arab Qabla
al-Islam, (tp: Dar al-Hilal, tth), hal. 185-248
[7] Kelas
tertinggi dalam struktur kabilah, dan menjadi ujung tombak setiap kabilah.
[8] Abîd
atau hamba sahaya merupakan kelas paling rendah dalam struktur kabilah, karena
kelompok ini tidak memiliki kemerdekaan dan berhak diperjual belikan, biasanya
mereka diimpor dari negeri Habasyah (Ethiopia). Sedangkan dari Arab sendiri,
biasanya budak berasal dari hasil tawanan perang.
[9] Keterangan
lengkap lih. bab III, hal. 21
[10] Syauqi Dlaif, Tarikh
al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jahili, (tp: Dar al-Ma’arif, 1965), cet. 2,
hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Imru al-Qais al-Malik al-Dlalil,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
[11] Karl Brookman,
dikutip oleh Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa
Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 64
[12] Nama
lengkapnya adalah Umru al-Qais ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr
ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang
agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian
mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru
al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki
dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain
itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh.
[13] Umru al-Qais
-menurut penulis - tidak bisa mewakili cara pandang seluruh unsur kelompok high
class (kerajaan), karena berdasarkan biografinya, ia termasuk salah seorang
raja yang kurang baik, bahkan ia dijuluki sebagai al-Malik al-Dlillil,
yaitu raja yang sesat, karena banyak melakukan banyak kesalahan, dan semasa
hidupnya selalu dihabiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya.
[14] Kinayah
adalah gaya bahasa sejenis kiasan yang tidak menutup kemungkinan untuk
diartikan sebagaimana makna aslinya, seperti kata panjang tangan yang dapat
diartikan sebagai kebiasaan seseorang yang suka mencuri atau makna yang
sesungguhnya yaitu seseorang yang memiliki tangan yang panjang.
[15] Syauqi Dlaif, Târikh
al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’arif, 1965), cet. 2,
hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
[16] Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi
pembahasan صعلك, dikutip oleh Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr
al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21
[17] Asmâ’ Abu Bakr
Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34
[18] Asmâ’ Abu Bakr
Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41
[19] Ta’abbath
Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah
keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun
yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang
sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya.
[20] Syanfara
(diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi). Namanya
adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara.
[21]
Al-Muhalhil (wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah
al-Taghlibi, paman dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil[21]
karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al-Muhalhil, julukan lain
yang diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak
berbuat maksiat), karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di
kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang
terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr.
[22] Harits ibn
Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M.
Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia
135 tahun.
[23] Ia adalah Abu
al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti
al-Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan
termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M
di usianya yang ke-150.
[24] Lajnah (tim
penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80
[25] Keempat
penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’ yang
ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dar al-Kutub
al-`Ilmiyah, 1985 M)
[26] Sebagian orang
menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah (ة) seperti ia menyebutkan dirinya dalam
syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah (ة) lebih
valid.
[27] Bani Abas
merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah
inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani
Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya
adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan
adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali
al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
[28] Lajnah (tim
penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr
al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn
Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al-Ra’uf
Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, (Libanon:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha
[29] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal.
74
[30] Nama aslinya
adalah ‘Amr ibn al-‘Abd al-Bakri. Lahir di Bahrain, keturunan dari kabilah Bakr
ibn Wâ’il dari Rabî’ah. Tharfah merupakan penyair andalan kabilah Rabî’ah.
[31] ‘Ubeid ibn
al-Abrash al-Asadi, sebagai penyair istana, semasa hidupnya ia hilir mudik
antara istana Hujr al-Kindi ayah Umru al-Qais
dan istana kerajaan Hirah. Ia mati terbunuh sekitar tahun 554 M oleh
al-Mundzir ibn Mâ’ al-Samâ’ pada saat perang Bu’sah.
[32] Al-A’sya
al-Akbar, nama lengkapnya adalah Abu Bushair Maimun ibn Qais al-Bikri yang
lebih dikenal dengan julukan al-A’sya. Ia lahir di sebuah kampung kecil di
Yamamah. Masa remajanya ia habiskan untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Al-A’sya adalah penyair yang memiliki diwan syair yang banyak di samping
al-Nabighah al-Dzubyani. Ia juga salah seorang dari al-Sab’ al-Mu’allaqat.
[33] Nama
lengkapnya Abû Malîkah Jarwal, lebih dikenal dengan julukan al-Huthai’ah. Ia
merupakan keturunan dari kabilah Abas. Lahir dari seorang budak perempuan
bernama al-Dlarra, sehingga ia akhirnya menjadi seorang budak pula.
[34] Keterangan
lengkap tentang para penyair, lih. Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi
al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 127-171
[35] Kabilah
Dzubyân merupakan turunan dari kabilah Qais, dan Qais adalah turunan dari
kabilah Mudlar.
[36] Tim penulis (Lajnah),
al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon:
Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143
[37] Syair i’tidzâr
adalah salah satu jenis syair yang digunakan untuk memohon pengampunan dan maaf
seseorang. Di dalam syair Jahili, corak ini tidak terlalu disukai, karena
menunjukkan kelemahan dan kekurangan seseorang, sehingga tidak sesuai dengan
watak bangsa Arab yang keras. Satu-satunya penyair yang memiliki banyak syair i;tidzar
adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni saat ia memohon pengampunan pada al-Nu’mân
al-Mundzir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts
fi al-Adab al-Jâhili, hal. 67
[38] Al-Iskandari
dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 79
[39] Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Uqail Labida ibn Rabi’ah al-‘Amiri, satu dari tujuh ashab
al-mu’allaqat. Ia tumbuh di
lingkungan keluarga yang terhormat, suka menolong orang yang lemah. Pada saat
Islam datang, ia memeluk agama Islam pada tahun 629, lalu pindah ke Kufah dan
menghabiskan waktunya di sana hingga akhir hayatnya.
[40] Tim penulis al-Mûjaz
fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, sebagaimana pada kategorisasi
sebelumnya, sama sekali tidak menyebutkan alasan mengapa ada kategorisasi
penyair religi. Namun berdasarkan nama-nama yang disebutkan, latar belakang
kehidupan mereka, serta contoh-contoh syairnya, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan penyair madzhab adalah para penyair yang berasal
dari kalangan ahli agama, seperti Yahudi Nasrani maupun agama hanîf
(Ibrahim).
[41] Al-Samual ibn
Gharîdl ibn ‘Âdiyâ’, seorang penyair beragama Yahûdi, pemilik kuda pacuan yang
diberi nama Ablaq yang sangat terkenal
di Taimâ. Ia sangat terkenal dengan sifatnya yang selalu menjaga amanah, sehingga
namanya menjadi perumpamaan bagi orang yang selalu menjaga amanah (al-wafa’).
Ia wafat sekitar tahun 560 M. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, hal. 191
[42] ‘Addi ibn Zaid
ibn Hamâd ibn Ayyûb, dari keturunan Zaid Munât ibn Tamîm. Ia seorang penyair
yang beragama Nasrani dan tinggal di kerajaan Hirah. Ia sering berhubungan
dengan kerajaan Persia dan banyak mempelajari bahasa Persia, sehingga
syair-syairnya banyak terkontaminasi bahasa Persia. Untuk itu para ulama bahasa
Arab, biasanya tidak menjadikan syair-syair ‘Addi sebagai argumen kebahasaan. al-Mûjaz
fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 195
[43] Keterangan
lengkap mengenai penyair-penyair tersebut, lih. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz
fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191-204
[44] Tim penulis (Lajnah),
al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 201
[45] الحجيجة
[46] Tim Penyusun, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), hal. 27
[47] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
[48] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
[51] Lebih lengkap
tentang asal-usul dan makna kata Allah, lih. Ibnu al-Mazhur, Lisan al-Arab,
(Beirut: Dar Shadir, tth), Jilid, 13, hal. 467-470
[52] Samar adalah
percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, juga diartikan
sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang
bercakap-cakap dalam kelompok tersebut.
[53] Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal 124-125
[54] sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau
orang-orang yang banyak melakukan dosa dan kebohongan, bukan sumpah yang
sebenarnya.
[56] Untuk memahami
latar belakang gaya kehidupan Imru al-Qais dapat dilihat pada penjelasan
sebelumnya.
[57] Dalam syarah
diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa Hindun adalah nama saudara perempuan Imru
al-Qais, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia adalah istri dari ayahnya.
[59] Yang dimaksud denga Al-Halahil (Raja yang mulia
nan suci) oleh Imru al-Qais adalah ayanya sendiri.
[64] Dalam Syarah Diwan ‘Antarah dijelaskan
bahwa kataلحاك الله diartikan dengan أهللك ولعنه yang artinya semoga Allah menghancurkanmu dan
melaknatimu.
[65] Kata dalam Syarah Diwan
‘Antarah diartikan dengan seseorang yang tanpa
senjata saat berperang. Penyair dalam hal ini ingin menegaskan bahwa dirinya
adalah seorang pemberani yang tak perlu senjata untuk maju ke medan perang.
[67] Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal 124-125
[68] Samar adalah
percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, juga diartikan
sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang
bercakap-cakap dalam kelompok tersebut.
[72] Tim penyusun, Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution
(Editor), Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Kencana: 2003), hal. 325
[73] Bani Abas
merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah
inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani
Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya
adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan
adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali
al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
[74] Syarah
Diwan ‘Antarah, hal. 10
[75] Antarah Ibn Syadad meski dilahirkan dari
seorang ayah yang asli keturunan Arab, namun ibunya adalah seorang budak yang
berkulit hitam yang diimpor dari Habasyah. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka ketika ia diejek sebagai seorang
kulit hitam yang juga konotasinya adalah budak, ia membalas ejekan tersebut
dengan menyebutkan asal usul keturunannya yang dianggap oleh bangsa Arab
sebagai kabilah yang terhormat yakni Bani Abbas. Lebih jelas
lagi lihat biografi antarah sebelumnya.
[77] Tim penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), hal. 63
[80] Yang dimaksud dengan rusuk di sini adalah batu-batu
yang disusun dengan rapid an kokoh layaknya tulang rusuk manusia.
[81] ‘Abbas Abd
al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hal. 12-13
[84] ‘Abbas Abd
al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.
27-28
[85] Diwan
al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32
[86] Diwan
al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32
[88] ‘Abdul al-Mun’im ‘Abd al-Rauf Syulma (Tahqiq) dan
Ibrahim al-Abyari, Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 6
[92] Diwan
al-Nabighah al-Dzubyani, hal.45 dan 48
[94] Fakhr
adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab,
keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Di dalam sastra dunia dikenal dengan istilah narsisisme (narcissism),
yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri.
Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat klasik yang tertarik sekali
pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal.
54
[95] Syarh Dîwan
‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173
[96] ‘Abbas Abd
al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.
27-28
[97] Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 30
[102] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
hal. 26
[106] Nama lengkapnya Maimun ibnu Qais ibn Jandal ibn
Syarahabil ibn ‘Auf ibn Sa’ad ibn Dhabi’ah ibn Qais ibn Tsa’labah. Lahir di
sebuah kampung bernama Manfûhah di wilayah Yamamah. Ia dikenal dengan nama
al-A’sya sebagai julukannya, karena keterbatasannya dalam penglihatan, hingga
pada akhirnya mengalami kebutaan. Gambaran tentang kondisi fisik dirinya ini
dapat ditemukan dalam beberapa bait syairnya, seperti:
فلستُ بمبصر شيئا يراه وليس
بسامع منى حوارى
Aku tidak melihat sesuatupun yang ia lihat
Dan ia juga tidak mendengar apa yang saya
perbincangkan
Atau dalam bait lainnya:
رأتْ رجلا غائب الوافديـ ن
مختلف الخلق أعشى ضريرا
Ia melihat seorang laki-laki yang kehilangan
penglihatan
Makhluk yang berbeda, A’sya yang buta
[108] Nama-nama surat dan ayatnya yang mengandung kata zabur
dan jamaknya zubur lihat di Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1999), jilid. 5, hal. 219
[112] Kata tsa’alib adalah jamak dari tsa’labah.
Dalam bahasa kamus kata ini diartikan dengan kancil, namun selain kata tersebut
dalam sejarah bangsa Arab dikenal juga nama Bani Tsa’labah, sebuah nama kabilah
yang ada di Jazirah Arab. Arti yang kedua mungkin lebih dekat, penegasan kata
ini dapat kita lihat pada bait setelahnya:
وجميع ثعلبةَ بن سعـ ـد
بعد حول قبابها
sedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah itu
Di sekeliling kubah-kubahnya
[113] Mahdi Muhammad Nashiruddin (penyusun dan pensyarah), Diwan
al-‘A’sya al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987 M/1407 H), hal.
16
[115] Kandungannya syair ini sangat bertentangan dengan
kebiasaan al-A’sya yang menurut beberapa riwayat adalah orang yang gemar mabuk.
Hal ini bisa dipahami, karena ia adalah seorang penyair kerajaan yang banyak
bergaul dengan kalangan atas yang menjadikan minum arak sebagai sebuah tradisi.
Namun demikian, syair di atas bisa dipahami bila berbicara berbicara dalam
konteks agama yang melarang umatnya untuk meminum arak.
[117] Dhamir (kata
ganti) nya dalam syair tersebut adalah untuk tokoh perempuan yang bernama Sulma
yang ada dalam syair al-A’sya sebagaimana yang terdapat dalam muqadimah
syairnya.
[121] Dalam Diwan al-‘A’sya al-Kabir dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan al-Aswad adalah saudara kandung Haufzan yang sedang
ditawan oleh Kisra (raja).
[125] Nama
lengkapnya Hatim ibn Abdillah ibn Sa’ad ibn al-Hasyraj al-Tha’I al-Qahthani.
Seorang penyair Jahiliyah yang terkenal dengan kedrmawannya.
[126] Ahmad Rasyad
(Penghimpun dan pesyarah), Diwan Hatim al-Tha’i, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), 1986 M/1406 H), hal. 9
[129] Dalam Diwan Hatim al-Tha’I disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan sulâf
adalah khamrah atau arak.
[131] Heny
Narendrany, Psikologi Agama, hal. 6
[136] Umayyah ibn Abi al-Shult ibn Abi Rabi’ah berasal dari
suku Qais ‘Ailan. Ia banyak mempelajari kitab-kitab kuno terutama Taurat. Untuk
itu ia termasuk penyair yang sangat religius, bahkan termasuk seorang zahid.
[138]
Nakirah adalah isim (kata benda)
yang belum pasti, biasanya ditandai dengan tanwin pada akhir katanya, sedangkan
ma’rifah adalah isim yang sudah jelas. Dalam bahasa inggris nakirah biasanya ditandai dengan artikel a
atau an, sedangkan untuk ma’rifah diberi tanda artikel the.
[140]
Fara’ish jamak dari farishah artinya
bagian tubuh (daging) antara bahu dan ketiak. Ungkapan ini digunakan untuk
ketakutan atau keterkejutan yang hebat.
[141] Tim Penyusun, al-Mujaz
fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu: al-Adab al-Jahili, hal. 202
[142]
Tim Penyusun, Ensiklopedi
Islam, Jilid 3, hal. 135
[143]
Tim Penyusun, Ensiklopedi
Islam, Jilid 3, hal. 136
[144]
Tim Penulis, Ensiklopedi
Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), hal. 126
[145] Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 27
0 komentar:
Posting Komentar