Social Icons

CAHAYA SEJATI BERSUMBER DARI NURANI

Rabu, 12 Agustus 2015

PENGARUH SASTRA ARAB

TERHADAP  SASTRA INDONESIA LAMA DALAM PUISI-PUISI  HAMZAH FANSURI

Oleh: Cahya Buana *

Abstract
Abstract: Hamzah Fansuri was a famous Indonesian sufi writer and poet. He wrote several poems which talked about sufism concepts especially ‘wahdat al-wujud’. Those poems were assumed as having influence of Arabic literature. To prove this assumtion, the writer has to make some comparation between Arabic and Indonesian literature. The result of research proves that his poems style were influenced by Arudlh and Balaghah, as metre (wazan), rhyme (qafiyah), iqtibas, etc. And from the contens was  found ghazal, that usually used by arabic poets. 


Kata Kunci: Komparatif sastra, Hamzah Fansuri, syi’ir dan syair, wazan, qafiyah, saja’, ghazal, isti’arah.
PENDAHULUAN
Dalam lintasan sejarah sastra Indonesia, salah satu jenis sastra yang pernah berkembang di Bumi Nusantara ini adalah ’Sastra Sufi’, baik dalam bentuk hikayat maupun syair. Sastra Sufi menurut para ahli sejarah sastra Melayu dianggap sebagai cikal bakal bentuk kesusasteraan Nusantara lainnya, seperti pantun, gurindam, taliban, karmina, dan lain sebagainya yang telah dikemas secara metodologis dan sistematis.
Salah seorang pelopor sastra sufi jenis puisi dan dianggap sebagai perintis kesusasteraan Indonesia lama adalah Hamzah Fansuri seorang ahli Tasawuf yang berasal dari daerah Sumatera yang diperkirakan hidup pada medio abad ke-16 perintis tarekat al-Qadiriyah dan aliran tasawuf wahdat al-wujud di Indonesia.
Sastra Nusantara Lama ditenggarai sangat dipengaruhi sastra asing terutama Arab dan Persia. Namun demikian perlu pembuktian yang akurat apakah benar sastra Indonesia lama banyak dipengaruhi oleh sastra Arab, sampai sejauh mana pengaruh tersebut, dan aspek apa saja yang mendapat pengaruh dari sastra Arab?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sebuah metode analisis yang disebut analisis komparatif sastra, sebuah metode kajian sejarah sastra dengan cara membandingkan dua jenis sastra yang berbeda secara bahasa. Adapun inti dari kajian sastra banding pada hakekatnya  adalah mengkaji tentang adanya ’pengaruh mempengaruhi’ (at-ta’tsîr wa at-ta’atsur) antara dua atau lebih sastra yang berbeda secara bahasa.
Sekilas Tentang Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri, adalah tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdat al-wujud yang dicetuskan Ibnu ‘Arabi. Penyair pertama yang memperkenalkan bentuk syair ke dalam sastra Melayu.[1]
Meskipun riwayat hidupnya tidak diketahui secara pasti, akan tetapi berdasarkan fakta sejarah yang ada, Hamzah Fansuri diperkirakan hidup pada medio akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 saat Aceh dibawah pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah Sayyidil Mukammil (997-1011 H/ 1589-1604 M). Dari nama belakangnya “Fansur” dapat kita ketahui bahwa ia berasal dari Barus, kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, daerah pesisir Barat pulau Sumatra itu bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab akan menjadi “Fansur”. Namun demikian, semua penulis yang membahas tentang riwayat hidup Hamzah Fansuri hingga kini masih sepakat, bahwa tanggal lahir Syeikh Hamzah al-Fansuri secara tepat belum dapat dipastikan. Riwayat hidupnya sendiri tidak banyak diketahui orang. Namun yang jelas ia berasal dari keluarga Fansuri, keluarga yang telah turun temurun berada di Fansur (Barus)[2], kota pantai di Sumatra Utara. Hal ini senada dengan ungkapan Hamzah Fansuri tentang dirinya di dalam syair berikut ini:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Daripada Abdul Qadir Jilani
Hamzah Fansuri adalah orang yang pertama kali membawa paham tarekat Qadiriyah masuk ke wilayah Indonesia.[3] Keterlibatan Hamzah Fansuri dengan tarekat ini, terlihat jelas dalam ungkapan-ungkapan syairnya yang disebutkan secara berulang-ulang, salah satunya seperti pada bait syair di atas. 
Hamzah Fansuri ulama sekaligus pujangga Islam Nusantara meninggal pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M). Dimakamkan di kampung Oboh Simpang Kiri rundeng  di Hulu Sungai Singkil.[4]

Pengaruh Sastra Arab Terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri
Dalam bidang sastra, Hamzah Fansuri memiliki beberapa karya sastra yang berhasil diselamatkan dari pemusnahan, baik yang berbentuk syair maupun prosa. Karya tulisnya yang berbentuk syair di antara adalah Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Adapun yang berbentuk prosa di antaranya adalah Asrâr al-‘ârifin fi bayân ilm al-sulûk wa tauhîd (keterangan mengenai perjalanan ilmu suluk dan keesaan Allah) dan Syarâb al-‘âsyiqîn (minuman orang-orang yang cinta pada Tuhan). Karya puisinya tergabung dalam kitab Ruba’i. Karya ini kemudian disyarah oleh al-Sumatrani.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui studi komparatif sastra terhadap sejumlah puisi-puisi Hamzah Fansuri seperti Minuman Para Pencinta, Sidang Ahli Suluk, Burung Pingai, Laut Maha Tinggi, dan Syair Perahu, terdapat beberapa unsur sastra Arab yang masuk ke dalam Syair-syair Hamzah Fansuri. Di antaranya dapat dilihat dari aspek bahasa, konsep pemikiran dan gaya bahasa.
A.      Aspek Bahasa
Aspek pertama yang tampak sangat mencolok dan memberikan indikasi yang sangat akurat bahwa puisi-puisi Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh sastra Arab, adalah ditemukannya sejumlah besar kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa Arab di setiap bait syair-syairnya. Untuk itu Abdul Hadi berkomentar:
“Jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh di dalam proses Islamisasi bahasa Melayu, dan Islamisasi bahasa adalah sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab, yang bukan saja memperkaya pembendaharaan kata bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Syekh telah melakukan destruksi radikal terhadap bahasa Melayu lama yang beku dan tak lagi berkembang, dan dari kreatifitasnya tersebut lahirlah bahasa Melayu yang benar-benar baru, dengan ciri-ciri dasar sistem linguistik yang tetap orisinil dan bertahan hingga abad 20.[5]

Dari sejumlah puisi yang dijadikan sebagai bahan analisis, terbukti bahwa puisi-puisi Hamzah Fansuri banyak menggunakan kosakata bahasa Arab. Kosa kata-kosa kata dalam bahasa Arab tersebut tersebut sebagian besar diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan hanya sedikit yang tidak dimuat. Hal ini adalah salah satu indikasi bahwa Hamzah Fansuri dalam menggubah puisinya terpengaruh oleh sastra Arab.  Sebagai contoh syairnya yang banyak menggunakan bahasa Arab:
Sekali menjadi thalib
Sekali menjadi ghaib
Sekali menjadi ta’ib
Di dalam dunia terlalu ghalib
Kata thâlib (orang yang mencari), ghâib (orang yang menghilang), tâ’ib (orang yang bertaubat), dan ghâlib (biasa), adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Dan hampir setiap bait pada puisi Hamzah Fansuri mengandung kosakata bahasa Arab.
            Indikasi lain dari aspek bahasa adalah penggunaan istilah-istilah sastra Arab dalam syair-syairnya. Salah satunya adalah penggunaan kata syair itu sendiri. Istilah syair tiada lain ia ambil dari pembendaharaan kosakata yang ada dalam bahasa dan sastra Arab yaitu kata “sy’ir (شِعْرٌ).  Hal ini dapat kita lihat pada salah satu bait puisi Syair Perahu :
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
            Membetuli jalan tempat berpindah
Disanalah I’tiqad diperbetuli sudah
            Bait puisi ini memberikan dalil yang akurat, jika Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh sastra Arab. Selain kata syair, di dalam bait tersebut ia juga menyebutkan salah satu tujuan ditulisnya puisi, yaitu sebagai madah (مَدْح) atau pujian yang biasa digunakan oleh para sastrawan Arab dan termasuk salah satu tujuan penulisan syi’ir (aghradh al-syi’r).
            Kedua kata tersebut sangat jelas memberi indikasi bahwa Hamzah Fansuri dalam menulis puisi-puisinya sangat dipengaruhi oleh sastra Arab, meskipun Braginsky meragukannya dengan mengatakan:
“Yang pertama-tama harus ditegaskan ialah, bahwa di dalam sastra Arab-Parsi tidak ada bentuk puisi yang jelas dapat dipandang sebagai pendahulu syair. Bahwa genre ini bernama Arab, tidak harus merupakan argumen yang kokoh untuk mencari tempat asal muasal syair di Timur Tengah, apalagi di Timur tengah istilah syi’r tidak digunakan sebagai nama suatu genre puisi tertentu, melainkan merupakan sebutan umum bagi puisi”. [6]

            Pendapat tersebut, tentu saja tidak semuanya salah, namun demikian penamaan Hamzah Fansuri yang secara jelas menyatakan dalam Asrar Arifinnya bahwa puisinya tersebut dinamakan dengan syair adalah bukti konkrit bahwa ia terpengaruh oleh sastra Arab. Masalah terjadinya perbedaan-perbedaan antara syi’r Arab dan syair Hamzah Fansuri adalah sangat wajar, karena perbedaan karakteristik kedua bahasa yang tidak memungkinkan untuk itu, yang kemudian mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran makna antara dua jenis sastra tersebut. Dan hal ini justru menunjukkan kecerdasan dan kepiawaian Hamzah Fansuri dalam meramu dua karakter bahasa yang berbeda, sehingga mampu menciptakan genre baru dalam dunia sastra Melayu. 
            Selain kata syair dan madah, istilah sastra lainnya yang mempengaruhi puisi Hamzah Fansuri adalah penggunaan istilah bait pada syairnya yang kemudian menjadi istilah dalam sastra Indonesia. Hal ini terlihat pada definisi syair yang diberikan Hamzah Fansuri pada kitabnya Asrar al-Arifin:
          Adapun ini empat sejawang (sic!) pada sebuah bait” (Doorenbos 1933:120-121).[7]
            Kata bait yang terdapat pada definisi tersebut secara esensi adalah sama dengan bait yang terdapat pada syi’ir Arab, yakni jumlah larik atau baris yang terdapat dalam setiap kelompok puisi. Yang membedakannya adalah jumlah baris pada masing-masing bait. Jika dalam bahasa Arab setiap bait terdiri dari dua mashra’ (larik), sedangkan Hamzah Fansuri menciptakan model atau pola baru, yakni empat larik ( empat sejawang/ saja’). Hal tersebut –mungkin- apabila hanya terdiri dari dua larik/baris seperti dalam bahasa Arab, tidak dapat mewadahi ide penyair karena sifat bahasa yang berbeda, sehingga tidak dapat menciptakan satu kesatuan ide yang sempurna.
            Jika demikian, maka tidaklah salah jika dinyatakan bahwa puisi-puisi Hamzah Fansuri tampil sebagai salah satu variasi puisi Arab, namun demikian ia juga sebagai realisasi dari norma-norma puisi lisan Melayu.
B.      Ide dan Konsep Pemikiran
Pada tataran konsep, baik ideologi maupun pemikiran, sesungguhnya banyak tokoh yang turut mempengaruhi Hamzah Fansuri. Dalam hal ini Abdul Hadi WM. menyatakan:
Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama Bayazid Bisthami, Manshur al-Hallaj, Fariduddin, ‘Attar, Syeikh Junaidi al-Baghdadi, Ahmad Ghazali, Ibnu Arabi, Rumi, Maghribi, Mahmud Shabistari, ‘Iraqi dan Jami’. Sementara Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta (isyq) dan ma’rifat, di pihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta ‘Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya. Di bagian lain lagi, khususnya di dalam puisi-puisinya, Syeikh banyak memperoleh ilham dari karya ‘Attar Manthiq al-Thair (musyawarah Burung)…”[8]

Hal ini dapat kita telusuri melalui karya-karyanya. Untuk mendukung pendapat Abdul Hadi tersebut, saya akan membandingkannya dengan ide dan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdat al-wujud berikut ini:
فالله والرب والرحمن والملك               حقائق كلها فى الذات تشترك
فالعين واحدة والحكم مشترك               لذا بدا الجسم والأرواح الفلك
وكلها أدوات بين خالقنا                      وبيننا ولهذا يضمن الدرك  [9]
Allah, al-Rabb, al-Rahman, al-Malik
adalah realitas, semuanya bersekutu dalam Zatnya
Zatnya (Ain)[10] satu, bentuknya bermacam-macam
Untuk itu muncullah tubuh, jiwa dan semesta
Semuanya hanyalah media (yang menghubungkan) antara Tuhan   
dan kita, untuk itu Ia meliputi segalanya

Ibnu Arabi termasuk tokoh tasawuf Arab yang sangat mempengaruhi pola pikir Hamzah Fansuri, dalam hal wahdat al-wujudnya. Hampir seluruh syair Hamzah Fansuri mengarah pada paham-paham wahdat al-wujud. Contoh:
Ia itu raja yang kaya
Bernama wahid yang kaya
Pertipu dan banyak daya
Da’im berlindung di dalam saya

Namun demikian, sebagaimana Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri pun tidak pernah menyebutkan istilah wahdat al-wujud dalam keyakinan tasawufnya tersebut. Namun dari syair-syairnya tersebut nampak bahwa yang ia ajarkan seluruhnya mengarah pada paham-paham wahdat al-wujud, yaitu paham kesatuan antara Tuhan dan makhluknya.
Contoh lain konsep tasawuf  yang turut mempengaruhinya adalah konsep Al-Fana[11] dan al-baqa Abu Yazid al-Bustami, yang berulang kali disebutkan dalam syair-syairnya seperti:
Kabarkan ini pada maulana qadi
Syurbat nin bening warnanya safi
Barang yang meminum dia mabuk dan fani
Mendapat mahbub yang bernama Baqi

Pengaruh sufi lain yang terkandung dalam syair-syair Hamzah Fansuri dari aspek pemikiran terlihat pada sikap pro Hamzah Fansuri terhadap syatahat ana al-haqq” yang artinya Aku Yang Maha Benar yang diungkapkan oleh al-Hallaj [12] pada saat terjadinya al-hulul persatuan dengan Tuhan atau mengambil tempat.
Sikap setuju Hamzah Fansuri terhada syatahat al-Hallaj tampak pada salah satu bait puisinya berikut ini: 
Syurbat mulia dari tangan Khaliq
Akan minuman sekalian ‘asyiq
Barang meminum dia menjadi natiq
Mengatakan Ana al-Haqq terlalu sadiq

Pembahasan mengenai keterpengaruhan Hamzah Fansuri dari aspek ideologi dan pemikiran telah banyak dibahas pada dunia Tasawuf, khususnya tasawuf Nusantara.
C.    Gaya Bahasa
Berdasarkan data historis tentang sejarah sastra Arab, dapat disimpulkan bahwa orisinalitas syair-syair Arab tetap terjaga dalam bentuknya yang asli (berdasarkan pada kaidah-kaidah ilmu Arudl), hingga akhir abad 18 M dengan masuknya pengaruh Barat ke dunia Arab yang menimbulkan terjadinya pembaharuan di dunia Islam dalam berbagai aspek termasuk sastra. Dengan munculnya modernisasi tersebut, muncul aliran-aliran baru seperti realisme dan romantisme yang mencoba menghembuskan paham-paham kebebasan ke dunia sastra Arab, termasuk diharuskannya puisi-puisi Arab terbebas dari ikatan-ikatan ilmu Arudl.  
Namun demikian, dari fakta sejarah tersebut, bisa dipastikan bahwa syair-syair Arab yang dipelajari oleh Hamzah Fansuri adalah syair-syair Arab murni, sebab ia lahir sebelum modernisasi melanda kawasan Timur-Tengah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Hamzah Fansuri lahir sekitar abad ke-16.
Adapun yang dimaksud dengan syi’ir dalam sastra Arab klasik adalah “kalam (ucapan atau susunan kata-kata yang fasih) yang dibuat secara sengaja dengan menggunakan wazan (matra) dan qafiyah (rima), untuk mengilustrasikan tentang khayalan–khayalan yang indah (menarik)”.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan, bahwa syi’ir Arab terbentuk dari beberapa unsur, yaitu: wazan, qafiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayal (imajinasi). Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syi’ir dari aspek fisik atau performa, sedangkan al-ghardh (tema) dan unsur khayal merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syi’ir. Untuk itu keterpengaruhan gaya bahasa syair-syair Hamzah Fansuri oleh sastra Arab dalam dapat dilihat dari aspek bentuk dan isi.
a.      Pengaruh sastra Arab dari aspek bentuk
Di dalam syi’ir Arab klasik, kontruksi syi’ir diatur oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh. Selain ilmu Arudh, aspek lain yang turut mempengaruhi gaya bahasa syi’ir Arab dari segi bentuk adalah ilmu Balaghah, terutama ilmu Badi’. Ilmu Badi’ adalah ilmu yang secara khsusus membahas aksesoris yang dapat menambah keindahan sebuah karya sastra, termasuk puisi.
            Dalam ilmu Arudh, penekanan utamanya adalah wazan dan qafiyah. Kata wazan itu sendiri dalam kamus Hans Wehr, Arab-Inggris, khusus untuk puisi diartikan dengan measure dan meter (ukuran)[13]. Sedangkan di dalam Kamus Istilah Sastra meter dinamakan juga dengan matra (meter/metre) yang berarti unsur irama yang berpola tetap.[14] Sedangkan qafiyah diartikan dengan rhyme atau dalam bahasa Indonesia rima yakni pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Sedangkan menurut ilmu Arudh wazan, yaitu kumpulan dari untaian nada yang harmonis bagi kata-kata yang tersusun dari satuan-satuan bunyi tertentu yang meliputi harakah dan sakanah yang melahirkan taf’ilah-taf’ilah dan bahr-bahr syi’ir, seperti: فاعلن، مستفعل، فاعلاتن، فعول، مفاعيلن، مفاعلتن، متفاعلن dan lain-lain.   
Sedangkan Qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syi’ir, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. Intinya adalah huruf-huruf yang terdapat di akhir bait syi’ir.
Dari wazan muncul istilah bahr-bahr yang membentuk pola pada setiap bait syi’ir. Seperti bahr basith yang terdiri dari wazan: mustaf’ilun-fa’ilun-mustaf’ilun-fa’ilun. Maka syi’ir yang dibentuk dengan pola bahr basith harus disusun dengan kata-kata yang mengikuti wazan tersebut, baik dari segi harakat maupun sakanahnya (Konsonan dan vokalnya). Contoh:   
فالله والرب والرحمن والملك     حقائق كلها فى الذات تشترك
فللاهور- رببور-رحمانول- ملك حقائق – كللها- فذذاتتش-ترك
/ه/ه//ه - /ه//ه- /ه/ه//ه - ///ه                //ه//ه- /ه//ه - /ه/ه//ه-///ه
مستفعلن فاعلن مستفعلن فعلن              متفعلن فاعلن مستفعلن فعلن

            Pada puisi-puisi Hamzah Fansuri, karakteristik seperti di atas tidak mungkin dapat diterapkan karena adanya perbedaan karakteristik bahasa, di mana bahasa Indonesia atau Melayu tidak memiliki pola kata yang baku seperti dalam bahasa Arab, namun demikian upaya untuk menyelaraskan kata-kata seperti pada syi’ir Arab nampak terlihat jelas dalam setiap bait sya’ir Hamzah Fansuri, yaitu dengan cara menyelaraskan jumlah kata yang ada pada setiap baris. Contoh:
Nurani itu hakikat khatam
Pertama terang di laut dalam
Menjadi makhluk sekalian alam
Itulah bangsa Hawwa dan Adam

Dari contoh tersebut, maka terlihat jelas adanya upaya dari penyair untuk mengikuti gaya bahasa syi’ir Arab terutama dalam merangkai kalimat demi kalimat pada setiap baris dan bait, agar terlihat selaras dan sepadan.
Upaya lain yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam menyusun tipologi syairnya tersebut adalah pada penyesuaian huruf akhir yang terdapat pada setiap baris syair. Hal ini menyerupai qafiyah yang terdapat pada syi’ir Arab yang membahas huruf-huruf yang terdapat di ujung bait syi’ir, baik huruf akhir yang mati di ujung bait atau huruf hidup sebelum huruf mati.
Keselarasan dan kesepadanan seperti ini, didapati di semua bait syair Hamzah Fansuri, sehingga ketika ada kata yang dianggap tidak sesuai, ia berusaha menyelaraskannya, contoh:
Syari’at akan tirainya
            Tarikat akan bidainya
            Hakikat akan ripainya
            Makrifat yang wasil akan isainya

Menurut Abdul Hadi W.M.. kata ripai seharusnya ditulis ‘ripi’ dan isai ditulis ‘isi’, namun demi menyelaraskan kata, maka ia gubah agar sesuai dengan pola bunyi akhir (qafiyah/pemakalah).[15]
Selain hal-hal yang disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa, hal-hal lain yang membedakan antara syair Arab dengan syair Hamzah Fansuri adalah, jika pada Syair Arab, satu bait syi’r terdiri dari dua mishra’. Contoh:
فالله والرب والرحمن والملك               حقائق كلها فى الذات تشترك
sedangkan pada puisi-puisi Hamzah Fansuri meskipun tehnik penulisannya mirip dengan syair Arab, namun dari susunannya dapat dilihat bahwa ia terdiri dari empat baris. Mungkin hal ini yang disebutkan oleh Braginsky, bahwa puisi Hamzah Fansuri mirip dengan ruba’i Parsi. 
Bila pada syi’ir Arab, ilmu Arudl dan qawafi ini, ikut menentukan jenis dan irama musik[16], maka pada puisi-puisi Hamzah Fansuri perlu dibuktikan apakah hal ini juga memberi warna pada musik dan irama tertentu, sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa bahwa kaum sufi dengan tarekatnya biasanya tidak jauh dari seni, baik musik, lagu, maupun tarian tertentu yang tentu saja dibuat dan dikemas demi mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Dan sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa Hamzah Fansuri adalah salah seorang pengikut tarekat Qadiriyah yang banyak melahirkan berbagai qasidah yang terkenal terutama dalam kitab-kitab Barjanji yang begitu terkenal masyarakat Indonesia, terutama pada kelompok-kelompok pengajian atau majlis ta’lim. Jika demikian, maka ada kemungkinan syair-syair Hamzah Fansuri tersebut, juga menggunakan jenis dan irama tersendiri pada saat mengucapkannya. Hal ini mungkin saja jika kita melihat pada perkembangan musik melayu yang memiliki ciri khas tersendiri. 
Selain Arudh dan qawafi, aspek lain yang turut mempengaruhi puisi-puisi Hamzah fansuri adalah aspek balaghah. Di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ada unsur-unsur balaghah yang sangat kental mewarnai bait-bait syairnya, terutama unsur-unsur ilmu Badi’. Berikut ini beberapa contoh keterpengaruhan Hamzah Fansuri oleh ilmu Balaghah:
  1. Saja’ (sajak)
Aspek Badi’ yang tampak paling menonjol dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri adalah irama saja’ atau dalam bahasa Indonesia menjadi sajak. Dari awal hingga akhir puisi, ia menggunakan irama ini tanpa terputus. Di dalam ilmu Balaghah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saja’ adalah penyesuaian huruf akhir dalam qafiyah. Contoh saja’ dari ayat al-Qur’an:
ما لكم لا ترجون لله وقارا   وقد خلقكم أطوارا
Antara kata waqara dengan athwara terlihat kesusaiannya pada huruf akhir yaitu ra. Inilah yang dinamakan dengan saja’.
Contoh saja’ dalam syi’ir Arab:
يا أخى أين عهد ذاك الإخاء       أين ما كان بيننا من صفاءِ
كشفت منك حاجتى هنوات        غطيت برهة بحسن اللقاءِ
تركتنى ولم أكن سيئ الظـ        ـنّ أسئ الظنون بالأصدقاءِ[17]
Kata Shafa’i, liqa’i dan ashdiqa’i, misalnya, semua kata pada akhir bait diakhiri dengan huruf hamzah dengan harakat kasrah (i), dan menunjukkan adanya persamaan huruf dan bunyi pada akhir setiap bait. Hal ini memiliki persamaan dengan puisi-puisi Hamzah Fansuri, hanya saja jika pada syi’ir Arab dalam satu bait terdiri dari dua baris (mishra’) yang satu sama lain berkaitan makna, atau bahkan lafaznya pun masih berkesinambungan, sehingga sajak hanya diletakkan pada akhir bait setelah kalimat itu sempurna, sedangkan pada puisi-puisi Hamzah Fansuri, setiap baris telah berbentuk kalimat sempurna, dan sajak terletak pada akhir baris setiap puisinya. Contoh:
Dengarkan hai anak jamu
Unggas itu sekalian kamu
Ilmunya yogya kau ramu
Supaya jadi mulya adamu

Ilmu jawhar sungguhpun qabil
Akan kuat badan hanya hasil
Pada ilmu Allah kerjanya ha’il
Antara Allah dan orang kamil

Model penyusunan puisi seperti ini, dalam bahasa Melayu adalah hal baru, sehingga kemudian Hamzah Fansuri memperkenalkan genre baru dalam menulis puisi dengan irama sajak, yang kemudian menjadi salah satu ciri khas sastra Indonesia lama, dan menjadi istilah di dalam dunia dan kamus sastra Indonesia.
Untuk itu tidak salah jika kemudian Herman J. Waluyo mengatakan, bahwa:
“Syair berasal dari kata Arab yang artinya puisi atau sajak. Dalam kesusasteraan Indonesia, syair berarti puisi lama yang terdiri atas empat baris perbait, memiliki rima /a a a a/. Semua baris merupakan isi dan biasanya tidak selesai dalam satu bait karena digunakan untuk bercerita”.[18]

Dari definisi tersebut, terlihat ada pergeseran-pergeseran pengertian dari syi’ir Arab ke syair Indonesia.  Syair dalam sastra Indonesia telah semakna dengan puisi dan sajak, bahkan syair hanyalah salah satu bentuk atau corak puisi yang terdapat di Indonesia. Padahal dalam sastra Arab, sajak hanyalah salah satu unsur yang terdapat dalam syi’ir. Syi’ir dalam sastra Arab adalah sebutan umum dalam genre sastra selain natsr (prosa), sedangkan jenisnya ditentukan oleh bahr-bahr yang berkembang.
  1. Iqtibas dari ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Nabi dan Hadis Qudsi.
 Adapun yang dimaksud dengan iqtibas yaitu menyisipkan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis ke dalam prosa atau syair, tanpa terasa bahwa itu adalah ayat al-Qur’an atau Hadis.[19] Contoh syi’ir Arab yang mengandung iqtibas (sisipan) dari ayat al-Qur’an: 
إن كنت أزمعت على هجرنا      من غير ما جرم فصبر جميل
وإن  تبدلتِ  بنا  غيرنا            فحسبنا الله ونعم الوكيل
Jika engkau memang ingin mengusir kami    
Tanpa kesalahan, maka sabar itu lebih baik
Dan jika orang lain sewenang-wenang terhadap kami
Maka sesungguhnya bagi kami cukup Allah saja dan Ia sebaik-baiknya pelindung

Kalimat yang digarisbawahi dalam syi’ir tersebut mengandung sisipan atau iqtibas dari ayat al-Qur’an yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan penyair, sehingga, pendengar atau pembaca tidak merasa sedang membaca ayat al-Qur’an secara khusus karena telah diselaraskan maknanya dengan ungkapan-ungkapan penyair sebelum atau sesudahnya. Maka kalimat (فصبر جميل) yang artinya sabar itu indah atau lebih baik terdapat pada ayat al-Qur’an surat Yusuf  ayat 18 dan 83.
Metode penulisan syi’r yang biasa dipakai oleh para penyair Arab seperti ini, banyak memberi pengaruh terhadap penulisan puisi-puisi mistik Hamzah Fansuri. Di dalam puisi-puisinya, Hamzah Fansuri banyak menggunakan iqtibas terutama dari ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai contoh:
            Qul Huwa Allah bernama Khaliq
            Menjadikan insan sekalian natiq
            Mengampuni dosa sekalian fasiq
            Fardu bagi kita akan dia ‘asyiq
           
Jika terdengar olehmu firman
Pada taurat Injil Zabur dan Furqan
Wa huwa ma’akum pada ayat Qur’an
Bi kulli Syay’in muhit ma’nanya ‘iyan

Mahbubmu itu tiada berhail
Pada aynama tuwallu jangan kau ghafil
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil
Inilah jalan orang yang kamil
Dan masih banyak lagi contoh-contoh sisipan ayat al-Qur’an yang dimasukkan oleh Hamzah Fansuri dalam puisi-puisinya.
Dari dua bentuk syair yang berbeda secara bahasa tersebut, tampak jelas persamaannya dalam pengambilan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sebagai bagian dari syair yang menambah keindahan syair-syair tersebut. Kepiawaian Hamzah Fansuri dalam menggabungkan antara dua bahasa yang berbeda dengan lafadz dan makna yang selaras sungguh merupakan hal yang sangat luar biasa yang tidak mungkin dapat dilakukan kecuali oleh orang yang sangat luas wawasannya baik secara bahasa, sastra maupun keilmuan lainnya, serta kemampuan daya imajinasi yang kreatif.
Gaya bahasa iqtibas ini selanjutnya banyak mempengaruhi para penyair nusantara lainnya terutama penyair-penyair religi atau sufi, seperti Hasan Fansuri, Abdul Jamal, Syamsuddin Pasai, Syekh Abdul Rauf Singkel, dan lain-lain.
            Dalam dunia sufi selain ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan ajaran-ajarannya, terdapat pula hadis-hadis Nabi yang biasa mereka kemukakan sebagai argumen pembenaran terhadap konsep-konsep kesufian mereka.  Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, menyebutkan sebuah Hadis Qudsi dan sebuah Hadis Nabi saw. yang mempunyai pengaruh pada kaum sufi.
Adapun Hadis Qudsi yaitu:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِياً فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ، فَخَلَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِىْ عَرَفُوْنِىْ
            Yang artinya: “ Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, lalu aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk. Maka melalui Aku pula mereka mengenalku”.
Sedangkan Hadis Nabi saw., yaitu;     
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَهُ
Yang artinya: “siapa yang mengenal dirinya, pasti ia juga mengenal Tuhannya”.
            Sebagaimana kaum sufi lainnya, kedua Hadis tersebut juga dijadikan sebagai landasan tasawuf Hamzah Fansuri, dan tampak terlihat jelas di sela-sela bait-bait syairnya berikut ini:
Bahr al-Butun tiada bermula
Ombaknya makhfi tiada bernama
Olehnya Ahad belum terbuka
Adanya quddus suatu juga

Kuntu kanzan mulanya nyata
Hakikat ombak di sana ada
Adanya itu tiada bernama
Majnun dan Layla ada di sana

Istilah Bahr al-Buthun (laut yang tersembunyi) yang dimaksud di atas, tiada lain adalah Tuhan sebagaimana yang terdapat dalam Hadis Qudsi di atas. Sedangkan laut selalu identik dengan ombak. Artinya segala aktifitas dan kedahsyatannya laut diwakili oleh ombak. Namun aktifitas Tuhan menurut Hamzah Fansuri tidak terlihat dan tidak bisa digambarkan secara konkrit (makhfi), sehingga ia gunakan laut dan ombak sebagai simbol. 
Sedangkan kalimat kuntu kanzan pada bait keduanya, tiada lain adalah bahr al-buthun pada bait pertama, yakni Tuhan. Berdasarkan pada hal tersebut, maka Hamzah Fansuri sesungguhnya telah meracik Hadis Qudsi ke dalam bait-bait syairnya, namun karena kepiawaiannya, tanpa terasa bahwa yang ia ungkapkan sesungguhnya adalah Hadis Qudsi, sehingga yang ia hasilkan kemudian rangkaian kata-kata yang indah dan menawan dengan sejuta makna dalam bentuk sastra yang berbeda secara bahasa.
Setelah Hadis Nabi di atas diramu ke dalam syair Hamzah Fansuri, maka   menjadi:
Sabda Rasul Allah: man arafa nafsahu
Bahwasanya mengenal akan rabbahu
Jika sungguh engkau abdahu
Jangan kau cari illa wajhahu
Dan masih banyak lagi iqtibas lainnya baik dari ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi, saw. Maka berdasarkan hal tersebut, maka bisa dipastikan bila Hamzah Fansuri dalam menulis corak syairnya tersebut sangat dipengaruhi oleh sastra Arab. Maka argumen yang menyangkal dan menafikan bahwa puisi Nusantara tidak dipengaruhi oleh sastra asing adalah sebuah kebohongan belaka dan hanya sebagai rasa gengsi yang tak beralasan.
b. Pengaruh sastra Arab terhadap aspek batin puisi-puisi Hamzah Fansuri
1. Ditinjau dari aspek tema (aghrad al-syi’r)
Di dalam syi’r Arab sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dikenal beberapa tujuan syi’ir (aghrad al-syi’r), seperti al-madah untuk memuji, al-hija’ untuk mengejek, al-ritsa sebagai ratapan, al-ghazal (cumbuan percintaan), dan lain sebagainya.
Dalam syi’ir sufi berdasarkan pada tema dan tujuannya ada beberapa corak syi’ir yang berkembang dan semua itu berkaitan erat dengan faham tasawuf yang dianutnya, seperti syi’ir zuhud (ascetism poetic), syi’ir cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi), syi’ir pujian kepada Nabi atau shalawat Nabi (al-mada’ih al-nabawiyah), syi’ir hikmah dan moral (syi’r al-hikmah wa al-âdab), syi’ir du’a (syi’r al-du’a), dan syi’ir pensucian Tuhan (syi’r al-tasbih).
            Pada puisi-puisi Hamzah Fansuri tema pujian (madah) terhadap Tuhan mendominasi sebagian besar puisi-puisinya. Kata-kata yang ia gunakan berbentuk simbol-simbol keagungan, seperti laut, raja, dan lain-lain. Contoh;
Bahr al-buthun tiada bermula
Ombaknya makhfi tiada bernama
Olehnya Ahad belum terbuka
Adanya quddus suatu juga

Bait puisi tersebut sebagai contoh dari simbol pujian terhadap keagungan Tuhan (madah).
            Selain pujian, tema lain yang juga menonjol pada puisi Hamzah Fansuri adalah ghazal atau syi’ir percintaan. Namun tentu saja ghazal di sini hanya simbol percintaan antara Tuhan dengan hambanya. Untuk mengekspresikan tujuannya tersebut Hamzah Fansuri banyak menggunakan kata-kata percintaan indrawi seperti, kekasih, asyik (rindu atau cinta), ma’syuk (bercinta), mabuk, gila dan lain sebagainya. Contoh:
Ialah sampai terlalu ‘asyiq
Da`im ia minum pada cawan khaliq
Mabuk dan gila ke hadrat Raziq
Itulah thalib da’wanya shadiq

Syi’ir-syi’ir ghazal indrawi (al-ghazal al-hissi) yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab, turut pula mempengaruhi gaya syi’ir sufi Hamzah Fansuri. Dari syi’ir ghazal hissi selanjutnya berpindah di tangan kaum sufi termasuk Hamzah Fansuri menjadi ghazal spiritual (al-ghazal al-ruhi) yang suci.
Makna-makna indrawi (al-ma’ani al-hissiyah) yang digunakan sebagai simbol oleh kaum sufi termasuk Hamzah Fansuri untuk menggambarkan makna-makna spiritual dan konsep-konsep mistisnya tersebut, pada dasarnya hanyalah sebatas tampilan fisik atau kulit yang tampak di permukaan. Untuk itu kaum sufi dalam mengekspresikan makna-makna spiritualnya tersebut menggunakan deskripsi indrawi (al-washf al-hissy/sensory description), percintaan indrawi (al-ghazal al-hissi), dan juga mabuk indrawi (al-khamr al-hissy). Hal ini dilakukan dari waktu ke waktu, tiada lain karena mereka tidak menemukan kata ataupun bahasa yang mampu mengungkapkan rasa cinta mereka terhadap Tuhan, kecuali bahasa cinta manusia yang bersifat indrawi. Untuk itu mereka menggunakan kata al-khamr (minuman memabukkan), al-‘ain (mata), al-khad (pipi), rambut, wajah dan lain sebagainya, sebagai simbol belaka untuk sesuatu yang ada di balik itu.
Simbol-simbol yang digunakan dalam syi’ir percintaan (al-ghazal) dan kemabukan/ekstase (al-khamr), bukanlah hal asing dalam syi’ir-syi’ir sufi Islam. Dan yang pasti, penyimbolan yang seperti ini tidak ada yang lebih baik dalam dunia sastra, selain perumpamaan yang diciptakan oleh kaum sufi.[20]
2. pengaruh sastra Arab terhadap gaya imajinasi Hamzah Fansuri
Menurut Henry Corbin, Ibnu Arabi pada saat merumuskan teori-teori sufismenya, ia sesungguhnya telah berimajinasi. Imajinasi yang ia sebut dengan Imajinasi Kreatif Teofani, yang artinya Tuhan yang darinya tercipta segala wujud, Tuhan yang termanipestasi melalui imajinasi, dan Tuhan yang tercipta dalam berbagai keyakinan.[21]Imajinasi yang maha tinggi ini, pada akhirnya sulit untuk diapresiasikan dalam kata-kata karena keterbatasan bahasa manusia, sehingga memerlukan berbagai simbol dan perumpamaan.
Di dalam sastra Arab, penggunaan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan ini sudah menjadi hal lazim dalam bersyair. Perumpamaan atau tasybih yang paling tinggi kualitasnya adalah majaz dan isti’ara. Majaz merupakan metode bayan (penjelasan) yang paling baik dan natural dalam menjelaskan makna, karena majaz dapat mengeluarkan makna yang abstrak menjadi kongkrit (hissiyah). Bangsa Arab suka menggunakan majaz ini, karena dapat memperluas kalam (makna dalam bahasa).
Pada puisi-puisi Hamzah Fansuri tasybih (perumpamaan), baik majaz maupun isti’arah, sangat banyak dijumpai. Sebagai contoh:
Pada puisinya Burung Pingai yang menggunakan simbol unggas yang digunaan sebagai perumpamaan dalam menggambarkan pengembaraan jiwa atau ruh di dalam mencari kesempurnaan dirinya. Hal ini dapat dilihat pada syair-syairnya berikut ini:
Thayr al-uryan unggas ruhani
Di dalam kandang hadrat rahmani
Warnanya pingai terlalu safi
Tempatnya kursi yang maha ‘ali

            Semua puisi yang dibangun oleh Hamzah Fansuri dalam setiap baitnya bersifat simbolik dan perumpamaan. Seperti pada syair di atas, Thayr al-uryan, arti sesungguhnya adalah burung yang telanjang, namun Hamzah Fansuri menjadikannya sebagai perumpamaan bagi jiwanya yang bebas mengembara. Hal ini dapat diketahui dari indikator (qarinah) yang terdapat pada kata yang ada setelah itu yaitu unggas ruhani. Pada baris berikutnya ia menyebut kata kandang sebagai perumpamaan bagi jiwanya yang ada pada wadah tertentu yang diberikan Tuhan. Demikian selanjutnya, hampir semua kata dan kalimat yang terdapat dalam syair-syair Hamzah Fansuri mengandung perumpamaan (tasybih).
Pada intinya, setiap kata, setiap kalimat, setiap ungkapan, dan setiap bait puisi Hamzah Fansuri adalah simbol yang harus dimaknai. Maka sesungguhnya tanpa didukung oleh pengetahuan dan daya imajinasi serta kreatifitas yang tinggi, tidak mungkin Hamzah Fansuri dapat menyusun kata-kata yang hampir keseluruhan mengandung makna-makna simbolik. 
            Model dan metode, serta gaya bahasa semacam ini, akhirnya memberi pengaruh besar pada kesusasteraan Indonesia selanjutnya, sehingga kemudian muncul berbagai istilah sastra dalam bahasa Indonesia- sebelum mendapat pengaruh sastra Barat-, seperti majaz, dan tamsil (tasybih) yang berasal dari dunia Arab. Sedangkan isti’arah, karena ia bagian dari majaz maka orang lebih suka menggunakan kata metafora sebagai akibat dari pengaruh sastra Barat. 
Dalam syair-syair Hamzah Fansuri antara emosi, imajinasi, pemikiran dan gaya bahasa, semuanya terpadu menjadi satu, sehingga melahirkan suatu karya sastra yang amat mengagumkan. Ia sanggup menyatukan antara bahasa, sastra, rasa dan logika dalam satu kemasan yaitu syair.
Sebagaimana diungkapkan Taufiq Ismail, bahwa Hamzah Fansuri dalam sastra Indonesia, yang cikal bakalnya adalah dari bahasa Melayu, memiliki posisi yang begitu urgen karena dialah penyair pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu empat abad silam. Kontribusi besarnya bagi bahasa Melayu adalah fondasi awal yang dipancangkannya terhadap peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia, dan Turki Utsmani.[22]

Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis komparatif sastra di atas, terbukti bahwa sastra Indonesia pada fase tertentu tepatnya sebelum abad 20 pernah dipengaruhi oleh sastra Arab. Hamzah Fansuri, yang dianggap sebagai pelopor kesusasteraan Melayu atau kesusasteraan Indonesia klasik dalam syair-syair sufinya terbukti sangat dipengaruhi oleh sastra Arab.
Namun demikian, meskipun Hamzah Fansuri dalam menggubah syair-syairnya tersebut sangat dipengaruhi oleh sastra Arab baik dari aspek performanya, maupun dari aspek kandungan syi’ir, sesungguhnya banyak hal baru yang telah ia ciptakan, sehingga puisi yang ia gubah memiliki  karakteristik tersendiri, sesuai dengan corak dan watak masyarakat Melayu. Sastra Arab telah memberikan inspirasi tersendiri bagi kreatifitas seni Hamzah Fansuri, sehingga ia dapat melahirkan gaya sastra baru yang inovatif. Inilah ciri-ciri utama puisi-puisi Hamzah Fansuri:
1.                  Kreatif, artinya penyair dengan kreatifitasnya mampu menggubah suatu corak puisi baru, dari model puisi yang berbeda secara bahasa, namun ia mampu menciptakan dengan gaya bahasa dan performa yang berbeda.
2.                  Inovatif. Penyair dalam hal ini mampu memperkenalkan sesuatu hal yang baru yang saat itu belum dikenal oleh masyarakat, ataupun jika sudah ada sebelumnya jenis puisi, namun ia dapat menampilkan suatu kreasi baru.
3.                  Hamzah Fansuri, dalam syair-syairnya dapat membuktikan orisinalitas hak ciptanya tersebut dilihat dari kandungan puisinya yang bernuansakan situasi dan kondisi yang ada di bumi Indonesia, seperti pada simbol-simbol yang ia gunakan adalah simbol-simbol yang terdapat di sekitarnya yang turut mempengaruhi pola hidup dan pola pikirnya, sepeti laut, perahu, ikan, burung, dan lain sebagainya yang menjadi ciri khas negeri ini. Indonesia sebagai negeri bahari, dipenuhi oleh hutan yang lebat, kicau burung, kakayaan ikan yang melimpah, dan lain sebagainya. Dan inilah nilai sesungguhnya dari orisinalitas sang penyair.

SUMBER PUSTAKA

1.           Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung: Mizan, 1995. 
2.           Abdullah al-Hamid, al-Syi’r al-Islâmi fi Shadr al-Islâmi, ttp: tp, 1980M/ 1400, cet. 1 
3.           Abdul Mun’im al-Hifni, Dr., Rabi’ah al-‘Adawiyah Imamah al-‘Asyiqin wa al-Mahzunin, Kairo: Dâr al-Rusyd, 1996, cet. 2
4.           Abd al-Rahman Syukri, Dirâsat fi al-Syi’r al-‘Arabî, Kairo: al-Dâr al-Mishriyah al-Lubnaniyah, 1994 M/ 1415 H.  
5.           A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, ttp: ptalma’arif, 1993, cet. 3
6.           Ahmad Akram Malibary, Muqadimah fi al-Adab al-Muqâran, Jakarta: Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 2000.
7.           Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuhu, Mesir: Daar al-Ma’arif, tth.
8.           Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Indonesia: Maktabah Daar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960M/1379.
9.           Ajip Rosidi, Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988, cet. 2
10.       Ali Abdul Jalil Radhi, Dr., al-Radhayyah ‘inda Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, tth.
11.       Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, 2001, cet. 4
12.       Atar Semi, Drs., Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1989, cet. 10
13.       Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, cet.10
14.       Faruq Abd al-Mu’thi, Dr., Muhyiddin Ibnu Arabi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993 M/ 1413 H, cet. 1
15.       Gerald O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ (terjemah), Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
16.       G.W.J. Drewes and L.F. Brakel, The poems of Hamzah Fansuri, Holand-Dordrecht: Foris Publications, 1986
17.       Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. 6
18.       Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. 2
19.       Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995
20.       Ismail Mushtafa al-Shaifi, dkk., al-Naqd al-Adabi wa al-Balaghah, Kuwait: Wuzarat al-Tarbiyah, 1969-1970, cet. 1.
21.       Izzuddin Ismail, Dr., al-Adab wa Fununuhu, ttp: Daar al-Fikr al-Arabi, 1968
22.       Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, cet.1.
23.       Khatibul Umam, H, Prof. al-Maisir fi ‘Ilm al-‘Arudl, ttp: Syirkah Hikmah Syahid Indah, 1992
24.       L.K. Ara, Taufik Ismail, Hasyim KS (editor), Seulawah Antologi Sastra Aceh,  Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995
25.      Mamat Zaenuddin, Dr., MA., Karakteristik Syi’ir Arab, Bandung: Zein al-Bayan, 2007.
26.       Mas’an Hamid, Ilmu Arudl dan Qawafi, Surabaya: al-Ikhlas, 1995
27.       Mircea Eliade (ketua editor), The Encycklopedia of Religion, New York: Macmillan Publishing Company, 1987
28.       Muhammad Ali Sulthan, Dr., Al-Muhtar min `Ulum al-al-Balaghoh wa al-`Arudl, Syuriyah: Daar al-Ashoma, 1998 M/ 1418 H., cet.1.
29.       Muhammad ibnu Abd al-Rahman al-Zabi’, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al-Arabiyah, 1410 H.
30.       Muhammad Ghanaimi Hilal, Dr., Al-Adab al-Muqâran, ttp: tp, tth.
31.       Muhammad al-‘Ilmî, al-‘Arûdh wa al-Qâfiyah, ttp: Dâr al-Tsaqâfah, 1983 M/ 1404 H, cet. 1
32.       Muhammad al-Mun’im Khafaji, Dr., Al-Adab fi Turâts al-Shûfi, ttp: Maktabah Gharib, tth
33.       Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990, cet. 1
34.       Roger Allen, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2004
35.       Shalahuddin al-Nadwi, Mukhtarat min al-Adab al-Muqaran, Program Pascasarjana IAIN Jakarta, 1997
36.      Sri Mulyati, Dr., MA., dkk., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005, cet.2
37.       Su`ad al-hakim, Dr., Al-Mu`jam al-sufi, Al-hikmat fi judur al-kalimat, tt: Dandarah.
38.       Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
39.       Yunasril Ali, Dr., Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997, cet.1
40.       V.I. Braginsky, Yang Indah Yang Berfaedah Dan Kamal, Jakarta: INIS, 1998
41.          Vladimir Braginsky, The Comparative Study of Traditional Asian Literatures, From Reflective Traditionalism to neo Traditionalism, tp: Curzon Press, 2001
42.        Wahid Bakhsh Rabbani, Islamic Sufism, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1984




* Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


[1] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. 4, hal. 78
[2] . nama Barus telah terkenal lama sebelum lahirnya Dakwah Islmiyah di kota tersebut, dengan kapur barusnya yang sangat diperlukan oleh negeri Mesir, khususnya untuk memelihara mayat-mayat Fir’aun dari busuk dan rusak. Oleh karena itu, kapur barus menjadi barang perniagaan yang sangat penting dan berharga tinggi. Dan hal ini menjadikan pelabuhan Barus sebagai salah satu pelabuhan penting yang mesti dikunjungi oleh kapal-kapal niaga. Di kota ini ditemukan nisan-nisan tua bahkan lebih tua dari batu-batu nisan yang ada di Pasai dan Samudra, yang memberi petunjuk bahwa di wilayah tersebut pernah lahir sebuah masyaakat Islam yang besar, dan di puncak anak bukit itu didirikan sebuah mahligai yang didiami oleh pemerintah Muslim, di sampingnya didirikan pula sebuah masjid, dan dalam masjid tersebut disediakan tempat pemakaman bagi pemerintah-pemerintah dan orang-orang besar yag dikenal dengan nama “Makam Mahligai’ dan nama itu hingga kini tetap abadi. (A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, ttp: ptalma’arif, 1993, cet. 3183-184)
[3] . Tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd al-Qadir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syeikh abd al-Qadir Jilani al-Ghawsts atau Quthb al-Awulia’.
[4] . Morina Octavia, Hamzah Fansuri, Sastrawan Sufi Melayu, Serambi Indonesia, 17 Juni 2007
[5] . Abdul Hadi, Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Mizan, 1995, h. 16.
[6] . V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal, Jakarta: INIS, 1998, h. 227
[7] . Kata sejawang menurut Braginsky  diperkirakan adalah saja’ yang diambil dari bahasa Arab-Parsi
[8] . Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, hal. 21
[9] . dikutip oleh ‘Ali Abd al-Jalil Radhi, al-Radhayyah ‘inda Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, hal. 24, dari al-Futuhat, jilid 1, hal. 310
[10] . Ibnu Arabi memakai istilah ayn (entitas) dengan arti haqiqah (realita), dzat (zat,esensi), mahiyyah (kuiditas) dan Jawhar (substansi), lih. Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi, hal. 119
[11] .  fana dalam dunia sufi adalah penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya maupun makhluk lain di sekitarnya, meskipun pada dasarnya baik dirinya maupun makhluk lainnya tetap ada, namun ia tidak sadar lagi tentang wujud dirinya. Pada kondisi seperti itulah ia mengalami baqa, atau kelanjutan wujud dalam diri Tuhan. Pada saat yang sama, terjadilah ittihad atau penyatuan antara manusia dengan Tuhan.  Harun Nasution, Harun Nasution ,Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 83-84
[12] . Nama lengkap al-Hallaj adalah Husein Ibn al-Manshur al-Hallaj, lahir di Madinah al-Baida Iran Selatan tahun 858 M. Ia meninggal dengan cara dijatuhi hukuman mati pada tahun 922 M, akibat ucapannya tersebut dan persoalan politik. Harun Nasution,  Islam ditinjau Dari Baerbagai Aspeknya, hal. 86
[13] . lih. Hans Wehr, A Dictionary  of Modern Written Arabic, Arabic-English, Beirut: Maktabah Lubnan, 1974, hal. 1065
[14] . Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990, 51
[15] . Abdul Hadi, Hamzah Fansuri, h. 37
[16] . mengenai keterkaitan syair dengan ilmu Arudl dan Qawafi dapat dilihat pada buku karya Dr. Ibarahim Anis, Musiqa al-Syi’r, Kairo: Maktabah al-Engelo al-Mishriyah, 1965, salah satu hal penting yang ia kemukakan ialah bahwa musiq adalah salah satu karakteristik syair yang paling nyata, yang berkaitan dengan rasa. Lih. Hal. 7-20 
[17] . Syi’r ‘itab (celaan) Ibnu Rumi terhadap sahabatnya, lih. Muhammad Abd. Al-Rahman al-Zabi’, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah, 1410 H, h. 34
[18] . Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 49-50
[19] . Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960/1379, h. 313
[20] . Muhammad Mun’im Khafaji, hal. 182-183, dari kitab al-Shufiyah fi al-Islam, hal. 102
[21] . lih. Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terjemah: Moh. Khozim dan Suhadi, Yogyakarta: LkiS, 2002. 237-251
[22] . Morina Octavia, Hamzah Fansuri, Sastrawan Sufi Melayu, Serambi Indonesia, 17 Juni 2007

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates