Social Icons

CAHAYA SEJATI BERSUMBER DARI NURANI

Selasa, 11 Agustus 2015

SYAIR SHAALIK


SYAIR SHA’ÂLÎK DALAM KHAZANAH SASTRA ARAB
Oleh: cahya buana




Penyair Badawi : Sha’alik
Masyarakat Badawi merupakan mayoritas penduduk bangsa Arab Jahili. Mereka adalah kabilah yang biasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang dianggap subur dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti ini menimbulkan fanatisme kesukuan yang sangat berlebihan, sehingga ketika bersentuhan dengan kabilah lain dan merasa dirugikan yang terjadi adalah perang antar kabilah. Perang bagi mereka adalah makanan sehari-hari.
Di antara masyarakat Badawi ini muncul kelompok baru yang disebut dengan al- Sha’âlîk yang memiliki norma dan aturan tersendiri. Sebagaimana disebutkan dalam bab tiga sebelumnya bahwa, di suatu kabilah terdiri dari beberapa stratifikasi sosial, yaitu: abnâ al-qabîlah, yakni anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan dan merupakan pilar kabilah, Abîd atau hamba sahaya, al-Mawâlî yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan termasuk dalam kelompok ini al-Khulâ`â yaitu orang-orang yang dikeluarkan atau diusir dari kabilah karena melanggar norma-norma yang ditetapkan kabilah. Di antara al-Khula’a adalah kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal.[1]
Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis kemiskinan.  Sha’lûk (singular) atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.[2] Dalam sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk  bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka impikan.[3]
Kondisi ini memotivasi mereka untuk melakukan sebuah revolusi ekonomi dengan cara merampas yang sebenarnya mereka haramkan. Mereka adalah penguasa padang pasir, berlalu lalang untuk merampas dan merampok kabilah dagang yang melewati jalan tersebut. Sebuah kehidupan yang sangat keras, namun bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki sisi kemanusiaan. Tercatat dalam sejarah maupun syair, bahwa mereka selain memiliki sisi negatif, juga memiliki banyak sisi positif.
Dalam buku Dîwan Urwah ibn al-Ward disebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari kelompok Sha’âlîk, yaitu: pertama bahwa mereka sangat membenci orang-orang kaya namun kikir. Orang-orang seperti inilah yang menjadi target serangan dan rampasan mereka, sedangkan orang-orang yang kaya namun dermawan, mereka tidak mau mendekati harta bendanya. Cerita ini sangat mirip dengan Robinhood dan Zorro yang merampok demi rakyat miskin dan keadilan.
Kedua menjadikan keadilan sebagai landasan mereka dalam membagikan hasil rampasan perang, karena mereka tidak membeda-bedakan pembagian hasil rampasan antara satu dengan yang lainnya, bahkan seorang pemimpin pun memperoleh bagian yang sama. Sebagai contoh pada saat ‘Urwah dan kelompoknya menyerang dan memperoleh ghanîmah (rampasan perang) yang sangat banyak, di antara ghanîmah tersebut terdapat seorang perempuan, lalu Urwah menentukan perempuan tersebut untuk dirinya dan menentukan harganya sendiri, lalu kelompoknya menolak dan berkata: Kami tentukan harga perempuan tersebut seharga satu ekor unta, dan masing-masing dari kita bebas untuk memilikinya bila menginginkannya.
Karakter ketiga dari kelompok Sha’âlîk adalah mereka memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi, karena hasil rampasan yang mereka peroleh selalu ada bagian untuk orang-orang miskin di sekitarnya.
Keempat, mereka tidak menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah aib namun sebaliknya mereka menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan, sikap ksatria, hukuman bagi orang-orang yang kikir, pemaksaan sosial, dan solidaritas sosial.[4]
Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Sha’âlîk adalah syair Jahili yang lahir dari para penyair Sha’âlîk.
Penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward menyebutkan beberapa karekateristik syair Sha’âlîk, seperti:
1.      Dari segi isi, syair Sha’âlîk adalah gambaran dari tingkah laku, sikap dan kepribadian, serta tendensi mereka.
2.      Syair Sha’âlîk menggambarkan aspek psikologis yang dirasakan oleh kaum Sha’alik
3.      Syair Sha’âlîk menggambarkan realitas kehidupan mereka dari aspek pekerjaan dan perbuatan.
4.      Syair mereka terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal (rayuan), bukâ’ al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al-rahîl (menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya.
5.      Mayoritas syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan-penggalan), bukan qashîdah (rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran.
6.      Dalam syair Sha’âlîk tidak terdapat ghazal atau rayuan terhadap perempuan.
7.      Mayoritas syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap istrinya.[5]
Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Ta’abbath Syarran, Syanfara, dan ‘Urwah ibn al-Ward.
Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya. Ia satu dari sekian perampok Sha’âlîk yang paling licin, kejam, bengis dan sangat berbahaya yang terkenal dengan permusuhan-permusuhannya. Ta’abbath Syarran sendiri adalah nama julukan yang diberikan oleh kelompoknya. Diceritakan bahwa pada suatu hari seseorang menanyakan keberadaan Ta’abbath Syarran pada ibunya, lalu si ibu menjawab, bahwa ia tidak tahu, namun ia menyatakan bahwa anaknya sedang menjalankan kejahatan yang dalam bahasa Arab ta’abbath syarran[6]. Setelah pernyataan ibunya tersebut, berdasarkan riwayat, ia mulai dipanggil dengan nama tersebut. Tabbath Syarran mati terbunuh di wilayah Hudzail dan jasadnya dibuang ke dalam sebuah gua.[7]
Syair-syair Tabbath Syarran tersebar dalam buku-buku sastra. Sebagian besar syair-syairnya menerangkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan kehidupannya yang keras. Selain menggambarkan kehidupannya yang keras, dari balik syair-syairnya juga terungkap sisi lain kepribadian seorang Sha’âlîk. Sebagaimana penyair-penyair Sha`âlîk lainnya, di balik kehidupan badawi yang keras, kejam, tanpa aturan, dan penuh dengan kesulitan, terlihat kepriadian lain yang menonjol dan menjadi karakter tersendiri bagi kelompok Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah seorang Sha’âlîk yang sangat terkenal dengan kemandiriannya, tidak ada yang menemaninya selain sebuah pedang yang tumpul (al-yamâni al-âfil), ia adalah seorang laki-laki yang kuat yang memadukan antara keberanian dan kecerdasan. Di samping itu, ia juga seorang laki-laki yang bijaksana, dermawan dan suka menolong kaum yang lemah. Itulah gambaran singkat tentang seorang putra asli Arab Jahili.[8]
Contoh syair :
إِذا المرءُ لم يَحْتَلْ وقد جدّ جدّه              أضاع وقاسى أمره وهْو مدبر
Bila seseorang tidak pandai (mengurus suatu masalah) namun ia meminta bagian, sesungguhnya dia telah menghilangkan dan merusak haknya sendiri, dan ia lari (dari tanggung jawab.

ولكن أخو الحزم الذى ليس نازلا          به الخَطْبُ إلاّ وهْو للقصيد مبصر
Namun  orang yang bijak adalah orang yang siap
menghadapi kesulitan dan  tahu apa yang dilakukannya.

فذاك قريع الدهر ما عاش حُوَّلٌ            إذا سدَّ منه مَنْخِرٌ جاش منخر[9]

Itulah penyakit zaman yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang melek,
Jika lobang yang  satu ditutup, muncul lobang yang lain.
Adapun Syanfara (diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi). Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara. Hidup sebagai Sha’lûk dan perampok yang ditakuti. Ia tidak memiliki tempat perlindungan kecuali gunung-gunung, menyerang lalu berlindung di baliknya. Diriwayatkan bahwa ia pernah bersumpah untuk membunuh 100 orang laki-laki dari Bani Salâmân. Ia berhasil  membunuh sebanyak 99 orang, namun Bani Salâmân kemudian menjebaknya dan berhasil ditangkap oleh salah seorang musuhnya, yaitu Asîd ibn Jâbir yang kemudian membunuhnya. Pada suatu ketika lewat seorang laki-laki dari Bani Salâmân ke tempat itu dan menyepak tengkorak Syanfara. Tiba-tiba salah satu pecahan tulangnya menusuk kakinya, sehingga membuatnya meninggal dunia, maka genaplah 100 orang yang dibunuh olehnya.[10]
Pada dasarnya dalam budaya perang seperti ini, bukan hanya nyawa perempuan yang dianggap tidak berharga, namun juga nyawa setiap orang termasuk laki-laki, yang membedakan adalah bagaimana cara kaum laki-laki memposisikan dirinya sebagai orang yang memiliki kekuatan, sedangkan perempuan sebagai manusia lemah yang layak untuk dilindungi atau mungkin dijadikan sebagai pertaruhan dalam peperangan.
Syanfara adalah salah seorang penyair dari kelompok Sha`âlîk. Syair-syairnya mayoritas berbicara tentang fakhr dan hamâsah. Syairnya yang paling popular, dikenal dengan nama “Lamiyat al-Arab” yang artinya ‘cercaan Arab’. Syair tersebut berbentuk kasidah terdiri dari 68 bait syair. 
Penyair Badawi: Ghair Sha`âlîk
            Berdasarkan kategorisasi sosial yang membagi masyarakat Arab Jahili ke dalam kelompok hadlari (perkotaan) dan badawi (nomaden) dan juga komponen kabilah yang terdiri dari abnâ’ al-qabîlah, abd, dan mawâlî, juga klasifikasi syair sebelumnya, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud dengan syair ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, bukan berasal dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk, maupun para penyair kerajaan dan juga penyair filsuf. Biasanya penyair Ghair Sha`âlîk merupakan abnâ’ al-qabîlah (anggota kabilah papan atas).
            Tim penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi,  menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk, yaitu; al-Muhalhil[11], al-Harits ibn Halzah[12], Amr ibn Kaltsum[13] dan ‘Antarah ibn Syaddad.[14] Keempatnya adalah Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqah) yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah.[15]
            Di antara keempat penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan memiliki dîwan syair. Antarah[16] ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas[17], sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-arab’ (burung Jalak dari Arab). Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan, anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya, kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang sangat disegani karena keberaniaannya. [18]  Dan karena itu, ia akhirnya berhak menjadi seorang manusia yang merdeka dan menjadi abnâ’ al-qabîlah seutuhnya.
Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamasah (spirit dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu’allaqah.
Keberanian  dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabibah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudia mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya.[19] Meskipun antarah berkulit hitan legam namun hatinya putih seputih kapas.




[1] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’arif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
[2]  Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi pembahasan صعلك, dikutip oleh Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21
[3] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34
[4] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 39-40
[5] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41
[6] ta’abbath adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang berarti meletakkan sesuatu dalam ketiak, sedangkan syarran berarti kejahatan, sehingga ta’abbath syarran secara bahasa dipahami dengan melakukan kejahatan.
[7] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 65
[8] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 70-71
[9] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 66
[10] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 72

                [11] Al-Muhalhil (wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil[11] karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al-Muhalhil, julukan lain yang diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak berbuat maksiat), karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr.
[12] Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M. Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia 135 tahun. 
[13] Ia adalah Abu al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti al-Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150.
[14] Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80
[15] Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M)
[16] Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah (ة) seperti ia menyebutkan dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah (ة) lebih valid.
[17] Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
[18] Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha
[19] Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 66

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates