SYAIR SHA’ÂLÎK DALAM KHAZANAH SASTRA ARAB
Oleh: cahya buana
Penyair
Badawi : Sha’alik
Masyarakat Badawi merupakan
mayoritas penduduk bangsa Arab Jahili. Mereka adalah kabilah yang biasa hidup
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang dianggap subur dan
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti ini menimbulkan
fanatisme kesukuan yang sangat berlebihan, sehingga ketika bersentuhan dengan
kabilah lain dan merasa dirugikan yang terjadi adalah perang antar kabilah.
Perang bagi mereka adalah makanan sehari-hari.
Di antara masyarakat Badawi ini muncul kelompok baru
yang disebut dengan al- Sha’âlîk yang memiliki norma dan aturan tersendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam bab tiga sebelumnya bahwa, di suatu kabilah
terdiri dari beberapa stratifikasi sosial, yaitu: abnâ al-qabîlah, yakni
anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan dan merupakan pilar
kabilah, Abîd atau hamba sahaya, al-Mawâlî yaitu hamba sahaya
yang sudah dimerdekakan dan termasuk dalam kelompok ini al-Khulâ`â yaitu
orang-orang yang dikeluarkan atau diusir dari kabilah karena melanggar
norma-norma yang ditetapkan kabilah. Di antara al-Khula’a adalah
kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal.[1]
Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir
atau kondisi di bawah garis kemiskinan. Sha’lûk
(singular) atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan
sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.[2] Dalam
sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk
bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping
itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki
keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat
sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang
sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah
yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang
tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka
impikan.[3]
Kondisi ini memotivasi mereka untuk melakukan sebuah
revolusi ekonomi dengan cara merampas yang sebenarnya mereka haramkan. Mereka
adalah penguasa padang pasir, berlalu lalang untuk merampas dan merampok
kabilah dagang yang melewati jalan tersebut. Sebuah kehidupan yang sangat
keras, namun bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki sisi kemanusiaan.
Tercatat dalam sejarah maupun syair, bahwa mereka selain memiliki sisi negatif,
juga memiliki banyak sisi positif.
Dalam buku Dîwan Urwah ibn al-Ward disebutkan
bahwa ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari kelompok Sha’âlîk,
yaitu: pertama bahwa mereka sangat membenci orang-orang kaya namun kikir.
Orang-orang seperti inilah yang menjadi target serangan dan rampasan mereka,
sedangkan orang-orang yang kaya namun dermawan, mereka tidak mau mendekati
harta bendanya. Cerita ini sangat mirip dengan Robinhood dan Zorro yang
merampok demi rakyat miskin dan keadilan.
Kedua menjadikan keadilan sebagai landasan mereka dalam
membagikan hasil rampasan perang, karena mereka tidak membeda-bedakan pembagian
hasil rampasan antara satu dengan yang lainnya, bahkan seorang pemimpin pun
memperoleh bagian yang sama. Sebagai contoh pada saat ‘Urwah dan kelompoknya
menyerang dan memperoleh ghanîmah (rampasan perang) yang sangat banyak,
di antara ghanîmah tersebut terdapat seorang perempuan, lalu Urwah
menentukan perempuan tersebut untuk dirinya dan menentukan harganya sendiri,
lalu kelompoknya menolak dan berkata: Kami tentukan harga perempuan tersebut
seharga satu ekor unta, dan masing-masing dari kita bebas untuk memilikinya
bila menginginkannya.
Karakter ketiga dari kelompok Sha’âlîk adalah
mereka memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi, karena hasil rampasan
yang mereka peroleh selalu ada bagian untuk orang-orang miskin di sekitarnya.
Keempat, mereka tidak menganggap perbuatan mereka
sebagai sebuah aib namun sebaliknya mereka menganggapnya sebagai sebuah
kebanggaan, sikap ksatria, hukuman bagi orang-orang yang kikir, pemaksaan
sosial, dan solidaritas sosial.[4]
Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan syair Sha’âlîk adalah syair Jahili yang lahir dari
para penyair Sha’âlîk.
Penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward menyebutkan
beberapa karekateristik syair Sha’âlîk, seperti:
1.
Dari segi
isi, syair Sha’âlîk adalah gambaran dari tingkah laku, sikap dan
kepribadian, serta tendensi mereka.
2.
Syair Sha’âlîk
menggambarkan aspek psikologis yang dirasakan oleh kaum Sha’alik
3.
Syair Sha’âlîk
menggambarkan realitas kehidupan mereka dari aspek pekerjaan dan perbuatan.
4.
Syair
mereka terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak
terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal (rayuan), bukâ’
al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al-rahîl
(menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya.
5.
Mayoritas
syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan-penggalan), bukan qashîdah
(rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak
suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran.
6.
Dalam
syair Sha’âlîk tidak terdapat ghazal atau rayuan terhadap
perempuan.
7.
Mayoritas
syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap
istrinya.[5]
Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal
adalah Ta’abbath Syarran, Syanfara, dan ‘Urwah ibn al-Ward.
Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm
adalah salah satu kabilah keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos
seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari
kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya.
Ia satu dari sekian perampok Sha’âlîk yang paling licin, kejam, bengis
dan sangat berbahaya yang terkenal dengan permusuhan-permusuhannya. Ta’abbath
Syarran sendiri adalah nama julukan yang diberikan oleh kelompoknya.
Diceritakan bahwa pada suatu hari seseorang menanyakan keberadaan Ta’abbath Syarran
pada ibunya, lalu si ibu menjawab, bahwa ia tidak tahu, namun ia menyatakan
bahwa anaknya sedang menjalankan kejahatan yang dalam bahasa Arab ta’abbath
syarran[6].
Setelah pernyataan ibunya tersebut, berdasarkan riwayat, ia mulai dipanggil
dengan nama tersebut. Tabbath Syarran mati terbunuh di wilayah Hudzail dan
jasadnya dibuang ke dalam sebuah gua.[7]
Syair-syair Tabbath Syarran tersebar dalam buku-buku
sastra. Sebagian besar syair-syairnya menerangkan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan dirinya dan kehidupannya yang keras. Selain menggambarkan
kehidupannya yang keras, dari balik syair-syairnya juga terungkap sisi lain
kepribadian seorang Sha’âlîk. Sebagaimana penyair-penyair Sha`âlîk
lainnya, di balik kehidupan badawi yang keras, kejam, tanpa aturan, dan penuh
dengan kesulitan, terlihat kepriadian lain yang menonjol dan menjadi karakter
tersendiri bagi kelompok Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah seorang Sha’âlîk
yang sangat terkenal dengan kemandiriannya, tidak ada yang menemaninya selain
sebuah pedang yang tumpul (al-yamâni al-âfil), ia adalah seorang
laki-laki yang kuat yang memadukan antara keberanian dan kecerdasan. Di samping
itu, ia juga seorang laki-laki yang bijaksana, dermawan dan suka menolong kaum
yang lemah. Itulah gambaran singkat tentang seorang putra asli Arab Jahili.[8]
Contoh syair :
إِذا
المرءُ لم يَحْتَلْ وقد جدّ جدّه أضاع
وقاسى أمره وهْو مدبر
Bila seseorang tidak pandai (mengurus suatu
masalah) namun ia meminta bagian, sesungguhnya dia telah menghilangkan dan
merusak haknya sendiri, dan ia lari (dari tanggung jawab.
ولكن
أخو الحزم الذى ليس نازلا به
الخَطْبُ إلاّ وهْو للقصيد مبصر
Namun orang yang bijak adalah orang yang siap
menghadapi kesulitan dan tahu apa yang dilakukannya.
فذاك
قريع الدهر ما عاش حُوَّلٌ إذا
سدَّ منه مَنْخِرٌ جاش منخر[9]
Itulah penyakit zaman yang tidak mungkin
dilakukan oleh orang yang melek,
Jika lobang
yang satu ditutup, muncul lobang yang
lain.
Adapun Syanfara (diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5
hingga awal abad ke-6 Masehi). Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang
bergelar al-Syanfara. Hidup sebagai Sha’lûk dan perampok yang ditakuti.
Ia tidak memiliki tempat perlindungan kecuali gunung-gunung, menyerang lalu
berlindung di baliknya. Diriwayatkan bahwa ia pernah bersumpah untuk membunuh
100 orang laki-laki dari Bani Salâmân. Ia berhasil membunuh sebanyak 99 orang, namun Bani
Salâmân kemudian menjebaknya dan berhasil ditangkap oleh salah seorang
musuhnya, yaitu Asîd ibn Jâbir yang kemudian membunuhnya. Pada suatu ketika
lewat seorang laki-laki dari Bani Salâmân ke tempat itu dan menyepak tengkorak
Syanfara. Tiba-tiba salah satu pecahan tulangnya menusuk kakinya, sehingga
membuatnya meninggal dunia, maka genaplah 100 orang yang dibunuh olehnya.[10]
Pada dasarnya dalam budaya perang seperti ini, bukan
hanya nyawa perempuan yang dianggap tidak berharga, namun juga nyawa setiap
orang termasuk laki-laki, yang membedakan adalah bagaimana cara kaum laki-laki
memposisikan dirinya sebagai orang yang memiliki kekuatan, sedangkan perempuan
sebagai manusia lemah yang layak untuk dilindungi atau mungkin dijadikan
sebagai pertaruhan dalam peperangan.
Syanfara adalah salah seorang penyair dari kelompok Sha`âlîk.
Syair-syairnya mayoritas berbicara tentang fakhr dan hamâsah.
Syairnya yang paling popular, dikenal dengan nama “Lamiyat al-Arab”
yang artinya ‘cercaan Arab’. Syair tersebut berbentuk kasidah terdiri dari 68
bait syair.
Penyair Badawi:
Ghair Sha`âlîk
Berdasarkan
kategorisasi sosial yang membagi masyarakat Arab Jahili ke dalam kelompok hadlari
(perkotaan) dan badawi (nomaden) dan juga komponen kabilah yang terdiri
dari abnâ’ al-qabîlah, abd, dan mawâlî, juga klasifikasi syair
sebelumnya, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud dengan syair ghair Sha`âlîk
adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, bukan berasal dari
kelompok kerajaan, Sha`âlîk, maupun para penyair kerajaan dan juga
penyair filsuf. Biasanya penyair Ghair Sha`âlîk merupakan abnâ’ al-qabîlah
(anggota kabilah papan atas).
Tim penulis buku al-Mûjaz
fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi,
menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk,
yaitu; al-Muhalhil[11],
al-Harits ibn Halzah[12], Amr
ibn Kaltsum[13]
dan ‘Antarah ibn Syaddad.[14]
Keempatnya adalah Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqah)
yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah.[15]
Di antara keempat
penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan
memiliki dîwan syair. Antarah[16] ibn
‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab yang
sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas[17],
sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah
bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya,
sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-arab’ (burung Jalak dari Arab).
Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan,
anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya,
kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa
karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak
lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan
tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung
dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang
sangat disegani karena keberaniaannya. [18] Dan karena itu, ia akhirnya berhak menjadi
seorang manusia yang merdeka dan menjadi abnâ’ al-qabîlah seutuhnya.
Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran
penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak
berbicara tentang hamasah (spirit dalam berperang), fakhr,
peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan
penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang
menjadi syair Mu’allaqah.
Keberanian dan
kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang
membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab
dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabibah. Hal
itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya
demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai,
sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya
patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudia mendorongnya untuk dapat berbagi
kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama
ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya.[19]
Meskipun antarah berkulit hitan legam namun hatinya putih seputih kapas.
[1] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili,
(tp: Dâr al-Ma’arif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Umru
al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990
M), hal. 9
[2] Ibnu Manzhûr, Lisân
al-Arab, materi pembahasan صعلك, dikutip
oleh Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr
al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21
[3] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34
[4] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk,
hal. 39-40
[5] Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk,
hal., 40-41
[6] ta’abbath adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang berarti
meletakkan sesuatu dalam ketiak, sedangkan syarran berarti kejahatan,
sehingga ta’abbath syarran secara bahasa dipahami dengan melakukan
kejahatan.
[7] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, hal. 65
[8] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, hal. 70-71
[9] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, hal. 66
[10] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, hal. 72
[11] Al-Muhalhil
(wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman
dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil[11] karena
syair-syairnya dianggap mudah. Selain al-Muhalhil, julukan lain yang
diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak berbuat
maksiat), karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai
minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang terjadi
antara kabilah Taghlib dan Bakr.
[12] Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada
akhir abad ke 6 M. Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya
ia berusia 135 tahun.
[13] Ia adalah Abu al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi.
Ibunya Lalila binti al-Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang
panglima perang dan termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan
wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150.
[14] Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi,
hal. 80
[15] Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah
al-Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani,
(Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M)
[16] Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah
(ة) seperti ia menyebutkan dirinya dalam syair, namun mayoritas
menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah (ة)
lebih valid.
[17] Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di
Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas
adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah
al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais
‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar.
(Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
[18] Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi,
(Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah
ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 50, atau Abd. Al-Mun’im Abd.
Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd,
(Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha
[19] Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa
Syi’ruhu, hal. 66
0 komentar:
Posting Komentar