Social Icons

CAHAYA SEJATI BERSUMBER DARI NURANI

Kamis, 13 Agustus 2015

MENGENAL KRITIK SASTRA FEMINIS




Sejarah, Teori dan Aplikasi
Oleh: Cahya Buana *

Abstract: Feminist literary criticism is the term for criticizing literary works through the examination of female points of view, concerns, and values. Feminist literary criticism encompasses not only female literary works but also male literary works, leaving men to be held accountable for their portrayal of women as well as men in their literary works. Generally, feminist literary criticism exists to counter, resist, and eventually eliminate the traditions and conventions of patriarchy ­ideology or belief system which sees as "natural" the dominance and superiority of men over women in both private and public contexts--as it exists in literary, historical, and critical contexts.

Kata Kunci: Kritik sastra feminis, feminisme, gender, ideologi, patriarkhi, Sosialisme, Marxisme, superior, inferior, dominasi, dan ginokritik.

Munculnya rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, menyulut sebuah gerakan yang dikenal dengan feminisme. Gerakan ini mewabah ke seantero dunia dan menyentuh hampir seluruh sektor kehidupan manusia tanpa kecuali dunia sastra. Adanya ketimpangan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap hasil karya sastra kaum perempuan, mendorong gerakan ini mengkaji ulang karya sastra dengan bertumpu seluruhnya pada perempuan. Untuk mengenal lebih jauh disiplin ini, perlu kita ketahui sejarah, teori maupun aplikasinya dalam kritik sastra.

Sejarah Kritik Sastra Feminis
            Berbicara mengenai sejarah Kritik Sastra Feminis, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah feminisme itu sendiri, yaitu sebuah gerakan perempuan yang muncul pertama kali di Amerika dan menjadi perintis gerakan ini. Dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Soenarjati menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang memicu munculnya gerakan feminisme di Amerika. Yaitu faktor politik, keagamaan (evangelis), dan sosial.
            Faktor politik bermula pada saat rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1776. Salah salah satu statemen dari proklamasi tersebut adalah “all man are created aqual” (semua laki-laki diciptakan sama), dengan tanpa menyebutkan kata perempuan. Para feminis merasa bahwa pemerintah Amerika tidak memperdulikan kepentingan-kepentingan perempuan. Statemen tersebut akhirnya memicu munculnya gerakan perempuan yang dilakukan secara terorganisir yang dikenal dengan Women’s Great Rebellion (Pemberontakan Besar Kaum Perempuan). Maka pada tahun 1848 dalam sebuah konvensi di Seneca Falls, para tokoh feminis memproklamasikan versi lain dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika, yaitu “all man and women are created equal” (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama”.
            Selain faktor politik, agama juga dituduh sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya bagi munculnya gerakan feminisme. Gereja dianggap sebagai lembaga yang turut bertanggungjawab atas terjadinya inferioritas perempuan, sebab agama Kristen baik protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sebagai contoh, Martin Luther dan John Calvin dalam ajaran-ajarannya menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama-bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, namun perempuan tidak layak bepergian, selain itu ia juga harus tinggal di rumah dan mengatur urusan rumah tangga. Bahkan dalam gereja Katolik perempuan dianggap sebagai makhluk kotor dan wakil iblis.[1]
            Aspek ketiga yang mempengaruhi ideologi feminisme adalah konsep sosialisme dan Marxisme[2]. Menurut kaum feminis, kaum perempuan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kaum laki-laki. Sejalan dengan pemikiran Marx, maka perempuan sebagai kelas yang tertindas, tidak memiliki nilai ekonomi, sebab pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga karena tidak menghasilkan uang sebagaimana pekerjaan laki-laki. Ketiga aspek inilah, yakni politis, sosial, dan agama, yang dijadikan sebagai landasan gerakan feminisme di Amerika yang menjadi basis awal gerakan feminisme dunia.
            Berdasarkan pada ketiga hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme tersebut, terlihat bahwa perjuangan mereka pada umumnya bukan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki, meskipun perempuan dianggap sebagai kelas proletar atau kelas yang tertindas, dan laki-laki sebagai kelas borjuis atau kelas penindas, gerakan ini tidak juga bertujuan untuk membalas dendam dengan menindas dan menguasai laki-laki, namun inti dari tujuan feminisme itu sendiri  adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sejajar dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan.[3]
Teori-teori yang mengarah pada feminisme pada dasarnya telah mulai muncul pada saat kemerdekaan Amerika diproklamirkan (1977), sebagai contoh tokoh perintis feminis pertama adalah Mary Wollstoncraft (1759-1797). Namun istilah feminis sendiri baru digunakan pada tahun 1890-an oleh Virginia Wolf (1982-1941) dan Simone Beaovior (1908-1986).[4]
Pada awal kelahirannya ini, gerakan feminisme di Amerika mengalami pasang surut, bahkan sempat mengalami kemunduran pada masa Perang Dunia II dan Perang Korea. Keadaan ini terus bertahan hingga tahun 1960-an dan dianggap sebagai gerakan feminisme pertama. Tokoh-tokoh feminis yang sangat terkenal dan dianggap sebagai perintis gerakan feminisme adalah Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, dan Lucretia Mott.
            Pada tahun 1963 terbit sebuah buku yang berjudul The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan seorang sosiolog dan aktivis feminisme. Terbitnya buku ini menandai dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua di Amerika. Berbeda dengan gerakan feminisme gelombang pertama, gelombang kedua berdampak sangat luas menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Hal ini tampak dari program-program PBB yang banyak melibatkan kaum perempuan. Maka pada tahun 1975, organisasi dunia ini mencanangkan Dasawarsa Perempuan di Kopenhagen, Denmark, yang penutupannya ditandai dengan konferensi di Nairobi, Kenya pada tahun 1985. Kedua konferensi internasional tersebut dihadiri wakil-wakil dari Indonesia.                 
Gerakan feminisme gelombang kedua ternyata berdampak sangat luas dan menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Salah satu sektor yang terkena dampak feminisme itu adalah dunia sastra. Menurut kaum feminis, perempuan dalam sastra sebagaimana dalam sektor yang lainnya berada pada posisi inferior. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1960-an, suatu survei di Amerika mengungkapkan bahwa karya sastra yang ada di negeri tersebut sebagian besar merupakan tulisan kaum laki-laki dan hanya beberapa gelintir yang berasal dari hasil karya perempuan. Untuk itu Elaine Showalter, kritikus sastra feminis terkenal menyatakan bahwa mayoritas karya sastra yang ada di Amerika selama berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu orangpun penulis perempuan. Berdasarkan hal itu, salah satu target dalam kritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis perempuan di masa silam.[5]
Sebagaimana gerakan feminisme, kritik sastra feminis ini juga berkembang pertama kalinya di Amerika pada pertengahan abad 20, seiring dengan gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak bagi perempuan. Kritik ini berkembang pesat di Kanada, meluas ke Perancis pada awal tahun 70-an, hingga akhirnya kritik ini menentukan visi, misi, dan metodenya tersendiri. Dari situ muncullah penelitian-penelitian tentang perempuan dalam karya sastra yang beragam jenisnya.[6]
Menurut Ensiklopedia Feminisime, Kritik Sastra Feminis kontemporer dimulai dengan munculnya karya Kate Millet (1970) yang berjudul Sexual Politics. Dalam bukunya tersebut ia meletakkan persoalan sastra dalam konteks politik patriarkhi. Selain Millet, kritikus lainnya Judith Fatterley dan May Ellmann mencoba meneliti ideologi dalam tulisan laki-laki dan mengungkapkan misogini (kebencian terhadap perempuan) dari institusi sastra.[7]
Di Indonesia, kritik sastra terutama kritik sastra feminis adalah hal yang relatif baru dan belum banyak berkembang. Secara umum, H.B. Yassin tak diragukan lagi adalah Nestor kritik Indonesia. Dalam waktu yang lama, ia bekerja sendirian di bidang ini. Pada tahun 1970-1880 sejumlah orang mengikuti jejaknya, seperti Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Jacob Sumardjo, dan lain-lain. Kritikus-kritikus tersebut semuanya adalah kaum pria, sedangkan kaum perempuan sangat jarang terwakili dalam bidang ini. Boen S. Oemarjati, salah seorang kritikus perempuan pertama yang berkarya di tahun 1960-an, telah meninggalkan bidang ini. Kritikus perempuan lainnya, Sri Rahayu Prihatmi, menulis sebuah buku tentang Pengarang-pengarang perempuan pada tahun 1977. Beberapa artikel tentang perempuan mulai muncul di akhir tahun 1970-an, seperti karangan Umar Junus (1979) dan Sumardjo (1981). Satu artikel oleh Heryanto (1986) secara kritis mempertanyakan  relasi jender. Sebagai salah satu tokoh utama dalam perdebatan tentang kontekstualitas sastra yang berlangsung pada tahun 1984-1985, Heryanto menjelaskan bahwa sastra Indonesia diliputi “Estetika Penis” (Phallic Esthetics) yang menjadikan perempuan sebagai obyek (1986:37). Perdebatan tentang kontekstulitas berlangsung singkat karena perdebatan itu kemudian terlalu dipolitisir dan membangkitkan kenangan traumatis pada situasi sebelum tahun 1965. Gagasan-gagasan feminisme Heryanto tidak diteruskan lebih lanjut.[8] Kini kritik sastra feminis  mulai menggeliat kembali, seiring dengan gerakan-gerakan perempuan lainnya, seperti tinjauan kembali kedudukan perempuan dalam interpretasi keagamaan yang kini mulai marak dibahas.
Tidak berbeda dengan di Indonesia, di dunia Arab, kritik sastra feminis disambut dengan wajah penuh keraguan, antara harapan dan ketakutan. Berdasarkan hasil pengamatan kritikus Mesir Dr. ‘Iffaf ‘Abd. Al-Mu’thi terhadap sejumlah tulisan, ia berpendapat bahwa secara faktual perempuan dalam masyarakat Arab dalam menghadapi gelombang feminisme ini terpecah antara harapan untuk hidup yang lebih baik dan perasaan takut akan sebuah rekontruksi.
Iffaf berpendapat bahwa faktor penyebab munculnya jenis kritik ini adalah adanya pengabaian secara menyeluruh terhadap kreativitas dan karya cipta perempuan dalam berbagai hal, bahkan menganggapnya sebagai barang yang tidak berharga. Untuk itu istilah kritik sastra feminis muncul untuk mengangkat derajat sastrawan perempuan dalam masyarakat. Kritik ini pada dasarnya lebih cenderung pada kepentingan-kepentingan sosial dan budaya dibandingkan tujuan-tujuan sastra dan kritik sastra, sebab kritik ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan gerakan feminisme yang berjuang mengangkat derajat perempuan yang terpuruk dan teraniaya ditinjau dari sudut pandang sastra.
Di dunia Arab kritik ini mengkristal di tangan para pemikir besar seperti Rifa’ah al-Thahthawi dan Qâsim Amin di Mesir, dan al-Thâhir Haddâd di Tunisia.[9]
Feminisme dan Gender: Sebuah pengertian
Munculnya istilah Feminisme pada dasarnya tidak terlepas dari persolan gender. Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab dan feminisme sebagai akibat.
Meskipun di dalam kamus kata seks dan gender adalah sinonim, namun kaum feminis biasanya membedakan kedua istilah tersebut. Menurut Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.[10] Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia secara anatomi  laki-laki atau perempuan.[11] Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.[12] Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah.[13]
Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa.[14]
Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering) tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan,  sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme.
Menurut Moelino, Feminisme ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.[15] Sedangkan menurut Goefe feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.[16]
            Di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang.[17]
Secara umum feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya.[18] Pada intinya feminisme adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender.
Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi
Kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang.[19] Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu.[20]
Istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, sebab menurut Teww sebagaimana dikutip oleh  Atmazaki, definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra.[21] Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan (kalâm) yang bagus (balîgh),[22] yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.[23]
Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i) ke dalam dua kategori. Pertama, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra (puisi atau prosa) yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.[24]
Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak maka dibutuhkan sebuah kritik yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, yang digunakan sebagai tolak ukur. Inilah yang dinamakan dengan kritik sastra feminis. Menurut Jenifer, kritik sastra feminis pada awal kemunculannya (1960-1970) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki beberapa pandangan yang berbeda mengenai sastra, dan apa yang dianggap selama ini sebagai sastra pada dasarnya hanyalah berdasarkan sudut pandang kaum pria.[25]
Keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya.[26] Sedangkan menurut Showalter kritik sastra feminis yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan.[27] 
James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai fakar sastra feminis. Seperti menurut Sheneka, kritik sastra feminis adalah suatu hal yang sangat menarik namun sulit untuk didefinisikan. Kritik sastra feminis menganalisis karya sastra orang lain namun ditinjau dari sudut pandang perempuan. Dalam setiap karya sastra, karakter perempuan biasanya ditampilkan secara kuat (strong presence), baik karakter baik maupun buruk. Kritik sastra feminis menilai karakter dan sudut pandang pengarang perempuan dan  peranannya dalam menciptakan suatu karya sastra. Untuk itu kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra.[28]
Kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan.[29]
Lisa Tuttle menyatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan sebuah pertanyaan “ pertanyaan baru terhadap teks-teks lama”. Adapun tujuannya adalah  : (1) untuk mengembangkan dan membuka tradisi menulis kaum perempuan. (2) untuk menafsirkan simbol-simbol tulisan perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan perspektif yang disebabkan sudut pandang kaum pria. (3) mengungkap karya-karya sastra lama. (4) menganalisis pengarang perempuan dan karangannya dengan berdasarkan perspektif perempuan. (5) untuk menentang sexism (gendering) dalam karya sastra, dan (6) untuk meningkatkan kewaspadaan atau perhatian terhadap bahasa dan style politik seksual.[30]
Dalam  praktiknya, kritik sastra feminis tidak terbatas pada teks-teks yang ditulis dan dibaca perempuan, namun bagaimana perempuan diilustrasikan dalam buku, bagaimana bias gender, seks, secara umum  telah ditentukan atau dipaksakan sebagai kaum inferior untuk beberapa suara perempuan, rasial, etnik minoritas, penulis dan pembaca sastra yang gay dan lesbian. Demikian beberapa pengertian kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar. 
Macam-macam teori Kritik Sastra Feminis
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Ada dua tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis perempuan di masa silam, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan perempuan sebagai makhluk inferior dalam budaya patrialkal.
Dalam kritik sastra feminis, ada beberapa macam metode yang digunakan untuk menganalisis. Teori kritik sastra feminis yang paling banyak digunakan adalah kritik ideologis. Kritik ini melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women.[31] (membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi  pusat perhatian adalah citra serta steorotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang wanita, dan factor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal.
Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan.
Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.
Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural, perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.
Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.
Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian wanita untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini[32] terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik.[33]
Teori analisis dan fokus kajian
Menurut Soenarjati, kritik sastra feminis pada dasarnya bisa diaplikasikan pada semua karya sastra baik prosa maupun puisi, asalkan yang di dalamnya menampilkan tokoh perempuan. Pendekatan ini akan lebih mudah bila dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Sebagai langkah awal penelitian, tokoh perempuan yang ada dalam karya sastra tersebut diidentifikasi untuk diketahui kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, jika ia kedudukannya sebagai seorang istri atau ibu, maka dalam masyarakat tradisional ia dianggap sebagai kelas inferior atau lebih rendah daripada kedudukan seorang laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak untuk mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh seperti ini memiliki ciri-ciri Victoria[34] yang ditentang kaum feminis.
Bila langkah pertama terfokus pada tokoh perempuan, langkah kedua difokuskan pada tokoh laki-laki yang memiliki hubungan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati. Hal ini perlu dilakukan oleh karena peneliti tidak akan memperoleh gambaran lengkap tentang tokoh perempuan tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya. Kajian ini biasa dilakukan dalam gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya sastra yang sedang dikaji apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Bagaimana seorang laki-laki memandang sosok perempuan dan bagaimana pula ia menggambarkannya, apakah ia memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah, tidak berharga, selalu bergantung pada laki-laki ataukah sebaliknya. Bila penulis itu adalah seorang perempuan, maka yang ditelusuri adalah bagaimana ia mengekspresikan perasaannya di dalam karya sastra tersebut, apakah ia seorang yang tegar, mandiri, penuh percaya diri atau mungkin sebaliknya.[35]
Sedangkan menurut Endraswara, dasar pemikiran dalam penelitian sastra feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Dengan demikian peneliti akan terfokus pada dominasi laki-laki atas gerakan perempuan. Untuk itu Endraswara cenderung melakukan penelitian melalui pendekatan studi dominasi. Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian pada; kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, atau memperhatikan faktor pembaca sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi perempuan dalam sastra.[36]
            Adapun sasaran penting dalam analisis feminisme sastra, sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal berikut: (1) Mengungkap karya-karya penulis perempuan masa lalu dan masa kini agar jelas citra perempuan yang merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkhal harus terungkap secara jelas dalam analisis. (2) Mengungkap  berbagai tekanan pada tokoh perempuan dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria. (3) Mengungkap ideologi pengarang perempuan dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. (4) Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis perempuan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. (5) Mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya.[37]
Demikian beberapa di antaranya objek analisis dalam kritik sastra feminis.
Hubungan Kritik Sastra Feminis dengan Ilmu-ilmu Lainnya
Menurut Sugihastuti, kritik sastra feminis berbeda dengan kritik-kritik yang lain, kritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Untuk itu, diperlukan wawasan yang luas tentang segala hal yang berkaitan dengan perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti sejarah, psikologi, antropologi, dan lain-lain  mutlak diperlukan, di samping teori dan ilmu sastra yang diperlukan. Linguistik, psikoanalisis, marxisme, dan dekonstruksionisme, menyajikan bantuan terhadap kritik feminis dalam rangkaian analisis.[38]
Kritik sastra feminis yang diartikan dengan reading as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian.[39]
Bidang ilmu yang sangat dekat dengan Kritik Sastra Feminis salah satunya adalah Sosiologi. Menurut Tim Curry dkk., konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik yang ia kemukakan, tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi wanita dalam sistem stratifikasi sosial.[40]
Di sisi lain, sastra menurut Atar Semi sebagaimana halnya sosiologi, ia berurusan dengan manusia, bahkan ia adalah karya cipta manusia yang mencerminkan kehidupan manusia itu sendiri. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sedangkan bahasa pada hakekatnya adalah ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh karena itu, sosiologi dan sastra pada dasarnya memperjuangkan hal yang sama, kedua-duanya berkutat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, maupun politik.
Untuk itu, Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan sebagai berikut: Pertama, bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahwa sastra  adalah cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat.[41]
Pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan ini, oleh beberapa pakar disebut dengan sosiologi sastra. Istilah ini pada hakekatnya tidak berbeda dengan sosiosastra atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra.[42] Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari sebuah kritik sastra, terutama kritik yang secara khusus mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh J. Waluyo, bahwa dalam menafsirkan sebuah puisi tidak terlepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik tersebut dapat membantu memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik tersebut adalah penyair itu sendiri dan kenyataan sejarah yang melingkupinya.[43] Hal ini membuktikan bahwa kondisi sosiologis seorang penyair sangat mempengaruhi karya sastra yang ia ciptakan.
Perlakuan dan pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra, serta bagaimana perempuan menggambarkan perlakuan dan pandangan mereka terhadap dirinya dalam karya sastra, pada hakekatnya adalah bagian dari kajian sosiologi sastra. Namun demikian, karena mengkaji perempuan secara khusus dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme, maka kajian ini secara khusus disebut dengan kritik sastra feminis. Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa ada ikatan yang sangat kuat antara sastra, sosiologi, dan kritik sastra feminis. Selain itu, baik sosiologi sastra maupun kritik sastra feminis, keduanya diilhami oleh teori-teori Marxis.
Selain sosiologi, ilmu lain yang sangat lekat dengan kritik sastra feminis adalah ilmu bahasa itu sendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Panuti sudjiman bahwa bahasa adalah medium karya sastra yang tidak dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa.[44] Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Untuk itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan tentang kode bahasa.[45] Bahasa merupakan fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat berbentuk lisan, tulisan[46], angka-angka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal.[47] Menurut Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani (material) atau medium dari sebuah karya sastra.[48] Dan syair adalah ungkapan (kalâm) yang terikat, baik dari segi aransemen, jenis, wazan, maupun qâfiyahnya, di samping unsur imajinasi yang digunakan untuk mengilustrasikan ide dan fikiran penyair.[49] Dan kalam pada hakekatnya adalah bahasa. 
Apa yang diungkapkan oleh para ahli bahasa dan sastra tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan linguistik. Untuk menjembatani keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.[50] Di dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah. Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu gaya bahasa (style / uslûb). Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.[51] Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya bukanlah sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis adalah kajian tentang perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Disiplin ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Oleh sebab itu, ilmu ini bukanlah kajian sastra murni, namun juga  masuk dalam kajian sosiologi, sehingga ilmu ini tidak memiliki konseptual tunggal, akan tetapi terkait erat dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu sosial, bahasa dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Abd al-Salâm, Ja`far, Shûrat al-Mar`ah fi al-I`lâm, Kairo: Râbithat al Jâmi`at al-Islâmiyah, 1428 H/ 2006 M
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990
Bhasin, Kamla, Memahami Gender (terjemah), Jakarta: Teplok Press, 2001
Djayanegara, Soenarjati, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. 2
Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Hellwig, Tineke, In the Shadow of Change, terjemah Rika Irfati Farikha, Depok: Desantara, 2003
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2002, cet.1
 ‘Îd, Ahmad, al-Naqd al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al-Riwayat al-Arabiyat, culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001, edisi 87
`Izzudîn, Yûsuf, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts; Buhûts wa Maqâlât Naqdiyyah, Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000
Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, Libanon: Dâr al-Ma’arif, 1962, jilid 1-6
Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M
Romesburg, James, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003
Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, tth
Sugihasti, Wanita  di Mata Wanita Perpspektif sajak-sajak Toeti Herawaty, Bandung: Nuansa, 2000
Al-Syâyib, Ahmad, Ushul al-Naqd al-Adabi, tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964
Sapir, Edward, Language, ttp: tp, tth
Schaefer, Richard T., Sociology, New York: McGraw-Hill, 2003
Sudarno, M.Ed, drs. dan Eman A. Rahman, drs, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990
Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995

Catatan Akhir:


* Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


[1] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2,  hal. 1dan 2
[2] Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra bertumpu pada ajaran Karl Marx dan Lenin yang dikenal dengan konsep teori pertentangan kelas atau  dikenal dengan sosialisme komunis. Bagi Marx, setiap zaman pada suatu bangsa selalu terdapat pertentangan kelas. Kelas atas adalah kaum bangsawan atau borjuis, sementara kelas bawah adalah rakyat jelata atau proletar. Dalam bidang ekonomi, masyarakat kelas bawah menentukan kehidupan kelas atas. Antara kelas atas dan bawah ini selalu terjadi perlawanan. Sejarah akan memperlihatkan bahwa kelas bawah selalu berusaha memperjuangkan agar kelas-kelas tersebut dihilangkan, sehingga suatu saat tidak terdapat lagi kelas-kelas dalam masyarakat. Dengan demikian semua manusia menjadi sama status sosialnya, tidak ada kelas borjuis dan tidak ada kelas proletar. Landasan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan berfikir kaum feminis, di mana mereka menganggap perempuan sebagai kelas proletar, sementara kaum pria adalah kelas borjuis yang selalu menindas proletar. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 45
[3] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 2-4
[4] Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000), hal. 354
[5] Keterangan lengkap lihat Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 4-18
[6] Ahmad ‘Îd, al-Naqd al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al-Riwayat al-Arabiyat, (culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87
[7] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. 1, hal. 83
[8] Tineke Hellwig, In The Shadow of Change, ( Jakarta: Desantara, 2003), hal. 7
[9] Ahmad ‘Îd, al-Naqd al-Nisawi Zhâhirah Taruddu ‘ala Ihmâl Ibdâ’ât al-Riwâyat al-Arabiyât, (culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87
[10] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158
[11] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, hal.421
[12] Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki-laki dan perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses ‘pengamasan’ sosial dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir itulah yang dinamakan dengan pengenderan (gendering). Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2
[13] Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2
[14] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 8
[15] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), hal. 37
[16] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37
[17] Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000), cet. 1, jilid 2, hal. 354
[18] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158
[19] Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 7
[20] Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, (tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964), cet. 7, hal. 16
[21] Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 16
[22] Istilah balîgh dalam sastra Arab biasanya mengacu pada makna fasih dan juga sesuai dengan situasi dan kondisi.
[23] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi, (Kairo: tp, 1960), hal. 10
[24] Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min al-Muhâkah ila al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), cet.1, hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts: Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah, (Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M), cet. 3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ’i (sastra feminis) di atas dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah (media feminis) yang digambarkan oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ `Abd al-Wâhid, bahwa yang dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah menurutnya adalah media yang menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah / womens magazines (majalah perempuan) yang di dalamnya membicarakan tentang makanan, keluarga, fashion, dan furniture. Dan yang kedua adalah majallât ghair taqlîdiyah/feminist magazines (majalah feminis), yang di dalamnya membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan (feminisme). Ja`far Abd al-Salâm (editor), Shûrat al-Mar’ah fi al-I`lâm, (Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1427 H/2006 M), hal. 107-108
[25] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003
[26] Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah ilâ al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), hal. 135
[27] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37
[28] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, link update in July 2003
[29] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 84
[30] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, link update in July 2003
[31] Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37
[32] Kebencian terhadap kaum perempuan
[33] Keterangan lengkap mengenai macam-macam teori kritik sastra feminis, lih. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 28-36
[34] Istilah Victoria diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan Inggris, yaitu sebuah tradisi yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus kepentingan domestic semata.  Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 5
[35] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 51-54
[36] Suwardi Endrasiswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 146
[37] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, hal. 146
[38] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 8
[39] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 10
[40] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2,  hal. 1
[41] Lih. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 52-56
[42] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hal. 2
[43] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 28-29
[44] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1993), hal. 1-2, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 55
[45] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2,  hal. 1
[46] Sudarno dan Eman A. Rahman, membagi tulisan ke dalam dua kategori, yaitu ideografi dan fonografi. Tulisan ideografi adalah tulisan yang melambangkan ide atau pengertian, bukan melambangkan ucapan seperti tulisan Cina. Sedangkan fonografi adalah tulisan yang melambangkan suara dan ucapan (lafal). Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 12-14
[47] Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill, 2003), hal. 66. Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 1 & 11
[48] Edward Sapir, Language, (ttp: tp, tth), hal. 222
[49] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 5
[50] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 56
[51] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 56

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates