Sejarah, Teori dan Aplikasi
Oleh:
Cahya Buana *
Abstract: Feminist literary criticism is the term for criticizing literary
works through the examination of female points of view, concerns, and values.
Feminist literary criticism encompasses not only female literary works but also
male literary works, leaving men to be held accountable for their portrayal of
women as well as men in their literary works. Generally, feminist literary
criticism exists to counter, resist, and eventually eliminate the traditions
and conventions of patriarchy ideology or belief system which sees as
"natural" the dominance and superiority of men over women in both private
and public contexts--as it exists in literary, historical, and critical
contexts.
Kata Kunci: Kritik sastra feminis, feminisme, gender, ideologi, patriarkhi,
Sosialisme, Marxisme, superior, inferior, dominasi, dan ginokritik.
Munculnya rasa ketidakadilan yang dirasakan
oleh kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, menyulut sebuah gerakan
yang dikenal dengan feminisme. Gerakan ini mewabah ke seantero dunia dan
menyentuh hampir seluruh sektor kehidupan manusia tanpa kecuali dunia sastra.
Adanya ketimpangan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap hasil karya
sastra kaum perempuan, mendorong gerakan ini mengkaji ulang karya sastra dengan
bertumpu seluruhnya pada perempuan. Untuk mengenal lebih jauh disiplin ini,
perlu kita ketahui sejarah, teori maupun aplikasinya dalam kritik sastra.
Sejarah Kritik Sastra Feminis
Berbicara mengenai
sejarah Kritik Sastra Feminis, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
sejarah feminisme itu sendiri, yaitu sebuah gerakan perempuan yang muncul
pertama kali di Amerika dan menjadi perintis gerakan ini. Dalam bukunya yang
berjudul Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Soenarjati
menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang memicu munculnya gerakan feminisme di
Amerika. Yaitu faktor politik, keagamaan (evangelis), dan sosial.
Faktor politik
bermula pada saat rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun
1776. Salah salah satu statemen dari proklamasi tersebut adalah “all man are
created aqual” (semua laki-laki diciptakan sama), dengan tanpa menyebutkan
kata perempuan. Para feminis merasa bahwa pemerintah Amerika tidak
memperdulikan kepentingan-kepentingan perempuan. Statemen tersebut akhirnya
memicu munculnya gerakan perempuan yang dilakukan secara terorganisir yang
dikenal dengan Women’s Great Rebellion (Pemberontakan Besar Kaum
Perempuan). Maka pada tahun 1848 dalam sebuah konvensi di Seneca Falls, para
tokoh feminis memproklamasikan versi lain dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika,
yaitu “all man and women are created equal” (semua laki-laki dan
perempuan diciptakan sama”.
Selain faktor
politik, agama juga dituduh sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya bagi
munculnya gerakan feminisme. Gereja dianggap sebagai lembaga yang turut
bertanggungjawab atas terjadinya inferioritas perempuan, sebab agama Kristen
baik protestan maupun katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih
rendah dari laki-laki. Sebagai contoh, Martin Luther dan John Calvin dalam
ajaran-ajarannya menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan
sama-sama-bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, namun perempuan tidak layak
bepergian, selain itu ia juga harus tinggal di rumah dan mengatur urusan rumah
tangga. Bahkan dalam gereja Katolik perempuan dianggap sebagai makhluk kotor
dan wakil iblis.[1]
Aspek ketiga yang
mempengaruhi ideologi feminisme adalah konsep sosialisme dan Marxisme[2]. Menurut
kaum feminis, kaum perempuan merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang
ditindas oleh kelas lain, yaitu kaum laki-laki. Sejalan dengan pemikiran Marx,
maka perempuan sebagai kelas yang tertindas, tidak memiliki nilai ekonomi,
sebab pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga karena tidak menghasilkan
uang sebagaimana pekerjaan laki-laki. Ketiga aspek inilah, yakni politis,
sosial, dan agama, yang dijadikan sebagai landasan gerakan feminisme di Amerika
yang menjadi basis awal gerakan feminisme dunia.
Berdasarkan pada
ketiga hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme tersebut, terlihat
bahwa perjuangan mereka pada umumnya bukan untuk mengungguli atau mendominasi
kaum laki-laki, meskipun perempuan dianggap sebagai kelas proletar atau kelas
yang tertindas, dan laki-laki sebagai kelas borjuis atau kelas penindas,
gerakan ini tidak juga bertujuan untuk membalas dendam dengan menindas dan
menguasai laki-laki, namun inti dari tujuan feminisme itu sendiri adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sejajar dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan.[3]
Teori-teori yang mengarah pada feminisme pada dasarnya telah
mulai muncul pada saat kemerdekaan Amerika diproklamirkan (1977), sebagai
contoh tokoh perintis feminis pertama adalah Mary Wollstoncraft (1759-1797).
Namun istilah feminis sendiri baru digunakan pada tahun 1890-an oleh Virginia
Wolf (1982-1941) dan Simone Beaovior (1908-1986).[4]
Pada awal kelahirannya ini, gerakan feminisme di Amerika
mengalami pasang surut, bahkan sempat mengalami kemunduran pada masa Perang
Dunia II dan Perang Korea. Keadaan ini terus bertahan hingga tahun 1960-an dan
dianggap sebagai gerakan feminisme pertama. Tokoh-tokoh feminis yang sangat
terkenal dan dianggap sebagai perintis gerakan feminisme adalah Susan B.
Anthony, Elizabeth Cady Stanton, dan Lucretia Mott.
Pada tahun 1963
terbit sebuah buku yang berjudul The Feminine Mystique yang ditulis oleh
Betty Friedan seorang sosiolog dan aktivis feminisme. Terbitnya buku ini
menandai dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua di Amerika. Berbeda
dengan gerakan feminisme gelombang pertama, gelombang kedua berdampak sangat
luas menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Hal ini tampak dari
program-program PBB yang banyak melibatkan kaum perempuan. Maka pada tahun
1975, organisasi dunia ini mencanangkan Dasawarsa Perempuan di Kopenhagen,
Denmark, yang penutupannya ditandai dengan konferensi di Nairobi, Kenya pada
tahun 1985. Kedua konferensi internasional tersebut dihadiri wakil-wakil dari
Indonesia.
Gerakan feminisme gelombang kedua ternyata berdampak
sangat luas dan menyentuh hampir semua sektor kehidupan. Salah satu sektor yang
terkena dampak feminisme itu adalah dunia sastra. Menurut kaum feminis,
perempuan dalam sastra sebagaimana dalam sektor yang lainnya berada pada posisi
inferior. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1960-an, suatu survei di Amerika
mengungkapkan bahwa karya sastra yang ada di negeri tersebut sebagian besar
merupakan tulisan kaum laki-laki dan hanya beberapa gelintir yang berasal dari
hasil karya perempuan. Untuk itu Elaine Showalter, kritikus sastra feminis
terkenal menyatakan bahwa mayoritas karya sastra yang ada di Amerika selama
berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu orangpun penulis perempuan.
Berdasarkan hal itu, salah satu target dalam kritik sastra feminis adalah
menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis perempuan di masa
silam.[5]
Sebagaimana gerakan feminisme, kritik sastra feminis ini
juga berkembang pertama kalinya di Amerika pada pertengahan abad 20, seiring
dengan gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak bagi perempuan. Kritik ini
berkembang pesat di Kanada, meluas ke Perancis pada awal tahun 70-an, hingga
akhirnya kritik ini menentukan visi, misi, dan metodenya tersendiri. Dari situ
muncullah penelitian-penelitian tentang perempuan dalam karya sastra yang
beragam jenisnya.[6]
Menurut Ensiklopedia Feminisime, Kritik Sastra Feminis
kontemporer dimulai dengan munculnya karya Kate Millet (1970) yang berjudul Sexual
Politics. Dalam bukunya tersebut ia meletakkan persoalan sastra dalam
konteks politik patriarkhi. Selain Millet, kritikus lainnya Judith Fatterley
dan May Ellmann mencoba meneliti ideologi dalam tulisan laki-laki dan
mengungkapkan misogini (kebencian terhadap perempuan) dari institusi sastra.[7]
Di Indonesia, kritik sastra terutama kritik sastra
feminis adalah hal yang relatif baru dan belum banyak berkembang. Secara umum,
H.B. Yassin tak diragukan lagi adalah Nestor kritik Indonesia. Dalam waktu yang
lama, ia bekerja sendirian di bidang ini. Pada tahun 1970-1880 sejumlah orang
mengikuti jejaknya, seperti Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Jacob Sumardjo,
dan lain-lain. Kritikus-kritikus tersebut semuanya adalah kaum pria, sedangkan
kaum perempuan sangat jarang terwakili dalam bidang ini. Boen S. Oemarjati,
salah seorang kritikus perempuan pertama yang berkarya di tahun 1960-an, telah
meninggalkan bidang ini. Kritikus perempuan lainnya, Sri Rahayu Prihatmi,
menulis sebuah buku tentang Pengarang-pengarang perempuan pada tahun 1977.
Beberapa artikel tentang perempuan mulai muncul di akhir tahun 1970-an, seperti
karangan Umar Junus (1979) dan Sumardjo (1981). Satu artikel oleh Heryanto
(1986) secara kritis mempertanyakan relasi
jender. Sebagai salah satu tokoh utama dalam perdebatan tentang kontekstualitas
sastra yang berlangsung pada tahun 1984-1985, Heryanto menjelaskan bahwa sastra
Indonesia diliputi “Estetika Penis” (Phallic Esthetics) yang menjadikan
perempuan sebagai obyek (1986:37). Perdebatan tentang kontekstulitas
berlangsung singkat karena perdebatan itu kemudian terlalu dipolitisir dan
membangkitkan kenangan traumatis pada situasi sebelum tahun 1965.
Gagasan-gagasan feminisme Heryanto tidak diteruskan lebih lanjut.[8] Kini
kritik sastra feminis mulai menggeliat
kembali, seiring dengan gerakan-gerakan perempuan lainnya, seperti tinjauan
kembali kedudukan perempuan dalam interpretasi keagamaan yang kini mulai marak
dibahas.
Tidak berbeda dengan di Indonesia, di dunia Arab, kritik
sastra feminis disambut dengan wajah penuh keraguan, antara harapan dan
ketakutan. Berdasarkan hasil pengamatan kritikus Mesir Dr. ‘Iffaf ‘Abd.
Al-Mu’thi terhadap sejumlah tulisan, ia berpendapat bahwa secara faktual
perempuan dalam masyarakat Arab dalam menghadapi gelombang feminisme ini
terpecah antara harapan untuk hidup yang lebih baik dan perasaan takut akan
sebuah rekontruksi.
Iffaf berpendapat bahwa faktor penyebab munculnya jenis
kritik ini adalah adanya pengabaian secara menyeluruh terhadap kreativitas dan
karya cipta perempuan dalam berbagai hal, bahkan menganggapnya sebagai barang
yang tidak berharga. Untuk itu istilah kritik sastra feminis muncul untuk
mengangkat derajat sastrawan perempuan dalam masyarakat. Kritik ini pada
dasarnya lebih cenderung pada kepentingan-kepentingan sosial dan budaya
dibandingkan tujuan-tujuan sastra dan kritik sastra, sebab kritik ini pada
hakekatnya adalah perpanjangan tangan gerakan feminisme yang berjuang
mengangkat derajat perempuan yang terpuruk dan teraniaya ditinjau dari sudut pandang
sastra.
Di dunia Arab kritik ini mengkristal di tangan para
pemikir besar seperti Rifa’ah al-Thahthawi dan Qâsim Amin di Mesir, dan al-Thâhir
Haddâd di Tunisia.[9]
Feminisme dan Gender: Sebuah pengertian
Munculnya istilah Feminisme pada dasarnya tidak terlepas
dari persolan gender. Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama
lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai
sebab dan feminisme sebagai akibat.
Meskipun di dalam kamus kata seks dan gender adalah sinonim,
namun kaum feminis biasanya membedakan kedua istilah tersebut. Menurut
Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara
kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.[10]
Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia
secara anatomi laki-laki atau perempuan.[11] Jenis
kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak
menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada
hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya
masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.[12] Untuk
itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan
merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku,
kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine.
Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu,
dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke
keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu
hal yang dapat dirubah.[13]
Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang
lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki
selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa.[14]
Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering)
tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan
bagi kaum perempuan, sehingga
selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian
sebuah gerakan yang diberi nama feminisme.
Menurut Moelino, Feminisme ialah gerakan perempuan yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.[15]
Sedangkan menurut Goefe feminisme ialah teori tentang persamaan antara
laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.[16]
Di dalam kamus
sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga
unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang
menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua,
konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap
sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan
pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu
masyarakat non-seksis di masa mendatang.[17]
Secara umum feminisme adalah ideologi pembebasan
perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang digunakannya yang
berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya.[18] Pada
intinya feminisme adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender.
Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi
Kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani
yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang.[19] Maka
kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang
dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra
adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta
menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya,
proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya,
menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah
memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif
dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik
secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu.[20]
Istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang
baku, sebab menurut Teww sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, definisi-definisi yang dibuat
terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya
berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas
dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk
unsur sastra.[21]
Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan (kalâm)
yang bagus (balîgh),[22] yang
mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi
maupun prosa.[23]
Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl
mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i) ke dalam dua
kategori. Pertama, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis
perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri,
pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau
yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan,
baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua,
sastra (puisi atau prosa) yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan
perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.[24]
Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada
perempuan atau tidak maka dibutuhkan sebuah kritik yang mengacu pada
prinsip-prinsip dasar feminisme, yang digunakan sebagai tolak ukur. Inilah yang
dinamakan dengan kritik sastra feminis. Menurut Jenifer, kritik sastra feminis
pada awal kemunculannya (1960-1970) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki beberapa pandangan yang berbeda mengenai sastra, dan apa yang dianggap
selama ini sebagai sastra pada dasarnya hanyalah berdasarkan sudut pandang kaum
pria.[25]
Keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya,
membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak
definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para fakar. Masing-masing
definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya
sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra
feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang
terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan
perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk
mengungkap peranannya dalam berkarya.[26]
Sedangkan menurut Showalter kritik sastra feminis yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada perempuan.[27]
James Romesburg dalam Definitions of Feminist
Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun
pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai fakar
sastra feminis. Seperti menurut Sheneka, kritik sastra feminis adalah suatu hal
yang sangat menarik namun sulit untuk didefinisikan. Kritik sastra feminis
menganalisis karya sastra orang lain namun ditinjau dari sudut pandang
perempuan. Dalam setiap karya sastra, karakter perempuan biasanya ditampilkan
secara kuat (strong presence), baik karakter baik maupun buruk. Kritik
sastra feminis menilai karakter dan sudut pandang pengarang perempuan dan peranannya dalam menciptakan suatu karya
sastra. Untuk itu kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra
dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra.
Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan
berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga
dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks
pribadi maupun publik dalam karya sastra.[28]
Kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara
membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada
perempuan. Suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin
yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah,
atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan.[29]
Lisa Tuttle menyatakan bahwa kritik sastra feminis
merupakan sebuah pertanyaan “ pertanyaan baru terhadap teks-teks lama”. Adapun
tujuannya adalah : (1) untuk
mengembangkan dan membuka tradisi menulis kaum perempuan. (2) untuk menafsirkan
simbol-simbol tulisan perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan perspektif
yang disebabkan sudut pandang kaum pria. (3) mengungkap karya-karya sastra
lama. (4) menganalisis pengarang perempuan dan karangannya dengan berdasarkan
perspektif perempuan. (5) untuk menentang sexism (gendering) dalam karya
sastra, dan (6) untuk meningkatkan kewaspadaan atau perhatian terhadap bahasa
dan style politik seksual.[30]
Dalam praktiknya,
kritik sastra feminis tidak terbatas pada teks-teks yang ditulis dan dibaca
perempuan, namun bagaimana perempuan diilustrasikan dalam buku, bagaimana bias
gender, seks, secara umum telah
ditentukan atau dipaksakan sebagai kaum inferior untuk beberapa suara
perempuan, rasial, etnik minoritas, penulis dan pembaca sastra yang gay dan
lesbian. Demikian beberapa pengertian kritik sastra feminis yang diberikan oleh
para fakar.
Macam-macam teori Kritik Sastra Feminis
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kritik
sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme.
Ada dua tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang
ditulis oleh penulis-penulis perempuan di masa silam, dan yang kedua adalah
untuk menampilkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang
menampilkan perempuan sebagai makhluk inferior dalam budaya patrialkal.
Dalam kritik sastra feminis, ada beberapa macam metode
yang digunakan untuk menganalisis. Teori kritik sastra feminis yang paling
banyak digunakan adalah kritik ideologis. Kritik ini melibatkan perempuan
sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women.[31]
(membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta steorotipe
perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk
meneliti kesalahpahaman tentang wanita, dan factor penyebab mengapa perempuan
sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra.
Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory
atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra,
sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada
pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku
secara universal.
Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang
secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk
penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre,
dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis
perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi
pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan
gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk
mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan.
Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis
sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini
digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra
ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni berdasarkan kelas-kelas dalam
masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang
kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai
kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra
feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam
karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya
dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima
imbalan.
Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra
feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan
yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal
dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan
bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy).
Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis
yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural,
perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut
merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Bagi kaum
feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun
pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada
perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab
karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.
Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik
sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di
Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan
saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit
hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik
laki-laki maupun perempuan.
Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik
sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan
tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis
ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai
kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis
radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun
1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian wanita untuk kurun waktu yang cukup
panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri
belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak
kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis
dan masyarakat misogini[32]
terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian
dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor
dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti
mengundang problem dan konflik.[33]
Teori analisis dan fokus kajian
Menurut Soenarjati, kritik sastra feminis pada dasarnya
bisa diaplikasikan pada semua karya sastra baik prosa maupun puisi, asalkan
yang di dalamnya menampilkan tokoh perempuan. Pendekatan ini akan lebih mudah
bila dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Sebagai langkah awal penelitian, tokoh
perempuan yang ada dalam karya sastra tersebut diidentifikasi untuk diketahui
kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, jika ia kedudukannya sebagai
seorang istri atau ibu, maka dalam masyarakat tradisional ia dianggap sebagai
kelas inferior atau lebih rendah daripada kedudukan seorang laki-laki, karena
tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga
dan tidak layak untuk mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh seperti ini
memiliki ciri-ciri Victoria[34] yang
ditentang kaum feminis.
Bila langkah pertama terfokus pada tokoh perempuan,
langkah kedua difokuskan pada tokoh laki-laki yang memiliki hubungan dengan
tokoh perempuan yang sedang diamati. Hal ini perlu dilakukan oleh karena
peneliti tidak akan memperoleh gambaran lengkap tentang tokoh perempuan tanpa
memperhatikan tokoh-tokoh lainnya. Kajian ini biasa dilakukan dalam gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya
sastra yang sedang dikaji apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Bagaimana
seorang laki-laki memandang sosok perempuan dan bagaimana pula ia
menggambarkannya, apakah ia memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah,
tidak berharga, selalu bergantung pada laki-laki ataukah sebaliknya. Bila
penulis itu adalah seorang perempuan, maka yang ditelusuri adalah bagaimana ia
mengekspresikan perasaannya di dalam karya sastra tersebut, apakah ia seorang
yang tegar, mandiri, penuh percaya diri atau mungkin sebaliknya.[35]
Sedangkan menurut Endraswara, dasar pemikiran dalam
penelitian sastra feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan
sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan
tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Dengan demikian
peneliti akan terfokus pada dominasi laki-laki atas gerakan perempuan. Untuk
itu Endraswara cenderung melakukan penelitian melalui pendekatan studi
dominasi. Melalui studi dominasi tersebut, peneliti dapat memfokuskan kajian
pada; kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum
perempuan dalam segala aspek kehidupan, atau memperhatikan faktor pembaca
sastra, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi perempuan
dalam sastra.[36]
Adapun sasaran penting dalam analisis feminisme sastra,
sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal berikut: (1) Mengungkap karya-karya
penulis perempuan masa lalu dan masa kini agar jelas citra perempuan yang
merasa ditekan oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkhal harus terungkap secara
jelas dalam analisis. (2) Mengungkap
berbagai tekanan pada tokoh perempuan dalam karya yang ditulis oleh
pengarang pria. (3) Mengungkap ideologi pengarang perempuan dan pria, bagaimana
mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. (4) Mengkaji dari aspek
ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah
penulis perempuan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak. (5) Mengungkap
aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun
pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang,
dan sebagainya.[37]
Demikian beberapa di antaranya objek
analisis dalam kritik sastra feminis.
Hubungan Kritik Sastra Feminis dengan Ilmu-ilmu Lainnya
Menurut Sugihastuti, kritik sastra feminis berbeda
dengan kritik-kritik yang lain, kritik sastra feminis berkembang dari berbagai
sumber. Untuk itu, diperlukan wawasan yang luas tentang segala hal yang
berkaitan dengan perempuan. Bantuan disiplin ilmu lain seperti sejarah,
psikologi, antropologi, dan lain-lain
mutlak diperlukan, di samping teori dan ilmu sastra yang diperlukan.
Linguistik, psikoanalisis, marxisme, dan dekonstruksionisme, menyajikan bantuan
terhadap kritik feminis dalam rangkaian analisis.[38]
Kritik sastra feminis yang diartikan dengan reading
as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model
konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori
maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi
maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian.[39]
Bidang ilmu yang sangat dekat dengan Kritik Sastra
Feminis salah satunya adalah Sosiologi. Menurut Tim Curry dkk., konstruksi
gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem
sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan.
Menurut teori konflik yang ia kemukakan, tidak adanya persamaan antara
laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi wanita dalam sistem
stratifikasi sosial.[40]
Di sisi lain, sastra menurut Atar Semi sebagaimana
halnya sosiologi, ia berurusan dengan manusia, bahkan ia adalah karya cipta
manusia yang mencerminkan kehidupan manusia itu sendiri. Sastra adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sedangkan bahasa pada
hakekatnya adalah ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh
karena itu, sosiologi dan sastra pada dasarnya memperjuangkan hal yang sama,
kedua-duanya berkutat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, maupun politik.
Untuk itu, Atar Semi menggambarkan hubungan antara
sastra, masyarakat dan kebudayaan sebagai berikut: Pertama, bahwa sastra
adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan,
sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang
terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahwa sastra adalah cermin dari sistem ide dan sistem
nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh
masyarakat.[41]
Pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan
aspek-aspek kemasyarakatan ini, oleh beberapa pakar disebut dengan sosiologi
sastra. Istilah ini pada hakekatnya tidak berbeda dengan sosiosastra atau
pendekatan sosiokultural terhadap sastra.[42] Sosiologi
sastra merupakan bagian mutlak dari sebuah kritik sastra, terutama kritik yang
secara khusus mengkaji fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat
yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh J. Waluyo,
bahwa dalam menafsirkan sebuah puisi tidak terlepas dari faktor genetik puisi.
Faktor genetik tersebut dapat membantu memperjelas makna yang dilatarbelakangi
oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik tersebut adalah penyair itu sendiri
dan kenyataan sejarah yang melingkupinya.[43] Hal ini
membuktikan bahwa kondisi sosiologis seorang penyair sangat mempengaruhi karya
sastra yang ia ciptakan.
Perlakuan dan pandangan masyarakat terhadap perempuan
yang terdapat dalam karya sastra, serta bagaimana perempuan menggambarkan
perlakuan dan pandangan mereka terhadap dirinya dalam karya sastra, pada
hakekatnya adalah bagian dari kajian sosiologi sastra. Namun demikian, karena
mengkaji perempuan secara khusus dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar
feminisme, maka kajian ini secara khusus disebut dengan kritik sastra feminis.
Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa ada ikatan yang sangat kuat antara
sastra, sosiologi, dan kritik sastra feminis. Selain itu, baik sosiologi sastra
maupun kritik sastra feminis, keduanya diilhami oleh teori-teori Marxis.
Selain sosiologi, ilmu lain yang sangat lekat dengan
kritik sastra feminis adalah ilmu bahasa itu sendiri. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Panuti sudjiman bahwa bahasa adalah medium karya sastra yang tidak
dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa.[44]
Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang
hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Untuk
itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra,
selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan
tentang kode bahasa.[45] Bahasa merupakan
fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak
dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat berbentuk lisan,
tulisan[46],
angka-angka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal.[47] Menurut
Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani (material) atau medium dari
sebuah karya sastra.[48] Dan
syair adalah ungkapan (kalâm) yang terikat, baik dari segi aransemen,
jenis, wazan, maupun qâfiyahnya, di samping unsur imajinasi yang
digunakan untuk mengilustrasikan ide dan fikiran penyair.[49] Dan kalam
pada hakekatnya adalah bahasa.
Apa yang diungkapkan oleh para ahli bahasa dan sastra
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan
linguistik. Untuk menjembatani keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan
stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.[50] Di
dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah.
Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu gaya bahasa (style / uslûb).
Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan
menggunakan bahasa sebagai sarananya.[51] Berdasarkan
hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya
bukanlah sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namun memiliki hubungan
yang sangat erat dengan ilmu-ilmu lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kritik sastra feminis adalah kajian tentang perempuan yang terdapat dalam karya
sastra. Disiplin ini pada hakekatnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan
feminisme. Oleh sebab itu, ilmu ini bukanlah kajian sastra murni, namun
juga masuk dalam kajian sosiologi,
sehingga ilmu ini tidak memiliki konseptual tunggal, akan tetapi terkait erat
dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu sosial, bahasa dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Abd al-Salâm, Ja`far, Shûrat
al-Mar`ah fi al-I`lâm, Kairo: Râbithat al Jâmi`at
al-Islâmiyah, 1428 H/ 2006 M
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa
Raya, 1990
Bhasin, Kamla, Memahami Gender (terjemah),
Jakarta: Teplok Press, 2001
Djayanegara, Soenarjati, Kritik
Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003,
cet. 2
Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra
Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi;
al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965
Endraswara, Suwardi, Metodologi
Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta:
Pustaka Widyatama 2003
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Hellwig, Tineke, In the Shadow of Change,
terjemah Rika Irfati Farikha, Depok: Desantara, 2003
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme,
terjemah Mundi rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2002, cet.1
‘Îd, Ahmad, al-Naqd
al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al-Riwayat al-Arabiyat, culture
@albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001, edisi 87
`Izzudîn, Yûsuf, Fi al-Adab al-`Arabi
al-Hadîts; Buhûts wa Maqâlât Naqdiyyah, Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981
M
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000
Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu,
Libanon: Dâr al-Ma’arif, 1962, jilid 1-6
Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd
al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M
Romesburg, James, Definitions of
Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html),
link update in July 2003
Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung:
Angkasa, tth
Sugihasti, Wanita di Mata Wanita Perpspektif sajak-sajak Toeti
Herawaty, Bandung: Nuansa, 2000
Al-Syâyib, Ahmad, Ushul al-Naqd
al-Adabi, tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964
Sapir, Edward, Language, ttp:
tp, tth
Schaefer, Richard T., Sociology,
New York: McGraw-Hill, 2003
Sudarno, M.Ed, drs. dan Eman A. Rahman, drs,
Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra,
Jakarta: UI-Press, 1990
Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi
Puisi, ttp: Erlangga, 1995
Catatan Akhir:
* Penulis adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2, hal. 1dan 2
[2] Pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra bertumpu
pada ajaran Karl Marx dan Lenin yang dikenal dengan konsep teori
pertentangan kelas atau dikenal
dengan sosialisme komunis. Bagi Marx, setiap zaman pada suatu bangsa selalu
terdapat pertentangan kelas. Kelas atas adalah kaum bangsawan atau borjuis,
sementara kelas bawah adalah rakyat jelata atau proletar. Dalam bidang ekonomi,
masyarakat kelas bawah menentukan kehidupan kelas atas. Antara kelas atas dan
bawah ini selalu terjadi perlawanan. Sejarah akan memperlihatkan bahwa kelas
bawah selalu berusaha memperjuangkan agar kelas-kelas tersebut dihilangkan,
sehingga suatu saat tidak terdapat lagi kelas-kelas dalam masyarakat. Dengan
demikian semua manusia menjadi sama status sosialnya, tidak ada kelas borjuis dan
tidak ada kelas proletar. Landasan inilah yang kemudian dijadikan sebagai
landasan berfikir kaum feminis, di mana mereka menganggap perempuan sebagai
kelas proletar, sementara kaum pria adalah kelas borjuis yang selalu menindas
proletar. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan terapan, (Padang: Angkasa
Raya, 1990), hal. 45
[3] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 2-4
[4] Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
(Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000), hal. 354
[5] Keterangan lengkap lihat Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra
Feminis, hal. 4-18
[6] Ahmad ‘Îd, al-Naqd al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at
al-Riwayat al-Arabiyat, (culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada
al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87
[7] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. 1, hal. 83
[8] Tineke Hellwig, In The Shadow of Change, ( Jakarta:
Desantara, 2003), hal. 7
[9] Ahmad ‘Îd, al-Naqd al-Nisawi Zhâhirah Taruddu ‘ala Ihmâl Ibdâ’ât
al-Riwâyat al-Arabiyât, (culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada
al-Akhirah 1422 H/9 September 2001), edisi 87
[10] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158
[11] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, hal.421
[12] Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang
berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap
kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki-laki dan
perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses ‘pengamasan’ sosial
dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir
itulah yang dinamakan dengan pengenderan (gendering). Kamla Bhasin, Memahami
Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2
[13] Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press,
2001), hal. 1-2
[14] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 8
[15] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti
Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), hal. 37
[16] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti
Heraty, hal. 37
[17] Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
(Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000), cet. 1, jilid 2, hal. 354
[18] Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002), hal. 158
[19] Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 7
[20] Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, (tth: Maktabah
al-Nahdlah al-Misriyah, 1964), cet. 7, hal. 16
[21] Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa
Raya, 1990), hal. 16
[22] Istilah balîgh dalam sastra Arab biasanya mengacu pada makna
fasih dan juga sesuai dengan situasi dan kondisi.
[23] Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi, (Kairo: tp, 1960),
hal. 10
[24] Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min
al-Muhâkah ila al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), cet.1,
hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts:
Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah, (Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M), cet.
3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ’i (sastra feminis) di
atas dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah (media feminis) yang digambarkan
oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ `Abd al-Wâhid, bahwa yang
dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah menurutnya adalah media yang
menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya
dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri
maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun
menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media
feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah / womens
magazines (majalah perempuan) yang di dalamnya membicarakan tentang
makanan, keluarga, fashion, dan furniture. Dan yang kedua adalah majallât
ghair taqlîdiyah/feminist magazines (majalah feminis), yang di dalamnya
membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan
(feminisme). Ja`far Abd al-Salâm (editor), Shûrat al-Mar’ah fi al-I`lâm,
(Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1427 H/2006 M), hal.
107-108
[25] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism,
(hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003
[26] Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah
ilâ al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), hal. 135
[27] Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti
Heraty, hal. 37
[28] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism,
link update in July 2003
[29] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002), hal. 84
[30] James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism,
link update in July 2003
[31] Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler
digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan
dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif
Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37
[32] Kebencian terhadap kaum perempuan
[33] Keterangan lengkap mengenai macam-macam teori kritik sastra
feminis, lih. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 28-36
[34] Istilah Victoria diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan
Inggris, yaitu sebuah tradisi yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang
mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif
dan menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus
kepentingan domestic semata. Soenarjati
Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 5
[35] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 51-54
[36] Suwardi Endrasiswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi
Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 146
[37] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi
Model, Teori, dan Aplikasi, hal. 146
[38] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan
Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 8
[39] Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan
Aplikasinya, hal. 10
[40] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2, hal. 1
[41] Lih. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989),
hal. 52-56
[42] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas,
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1984), hal. 2
[43] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga,
1995), hal. 28-29
[44] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, (Jakarta: Pustakan
Utama Grafiti, 1993), hal. 1-2, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk
Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2005),
cet. 2, hal. 55
[45] Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. 2, hal. 1
[46] Sudarno dan Eman A. Rahman, membagi tulisan ke dalam dua kategori,
yaitu ideografi dan fonografi. Tulisan ideografi adalah tulisan yang
melambangkan ide atau pengertian, bukan melambangkan ucapan seperti tulisan
Cina. Sedangkan fonografi adalah tulisan yang melambangkan suara dan ucapan
(lafal). Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia,
(Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 12-14
[47] Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill, 2003),
hal. 66. Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 1 & 11
[48] Edward Sapir, Language, (ttp: tp, tth), hal. 222
[49] Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi;
al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 5
[50] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip
oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi,
hal. 56
[51] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip
oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi,
hal. 56
0 komentar:
Posting Komentar