"إنما النحو قياس يتبع" (من صدر
بيت الكسائي)
Pendahuluan
Sebagai kata pengantar dalam bukunya, al-Qiyas fi
al-Lughah al-Arabiyah, Dr. Muhammad Hasan Abdul Aziz menyatakan, bahwa sebagian
besar para orientalis Barat merasa heran dan takjub dengan bahasa Arab fusha
-yang meskipun bukan bahasa komunikasi aktif (penulis)- hingga kini tetap eksis
dan terpelihara, baik kecantikannya maupun kesempurnaannya, meskipun telah
melewati berbagai episode kehidupan dari kejayaan, kemunduran, hingga kemudian
bangkit kembali.
Bahasa Arab fusha dengan karakternya tersendiri, hingga
kini tetap menjadi simbol pemersatu dunia Islam dan Arab. Namun demikian semua
faktor seperti sejarah, turast, sastra dan lain sebagainya yang turut
berpartisipasi dalam memelihara kabadian bahasa Arab hingga saat ini, tidak
bisa berdiri sendiri dalam mengatasi semua persoalan bahasa tanpa adanya aspek
penunjang lainnya. Pada dasarnya bahasa Arab itu sendiri secara alami telah
memiliki metode tersendiri dalam mengatasi persoalan bahasanya. Ia lahir dengan
membawa pola arabiyah (بنية عربية)
tersendiri yang turut membantu melestarikannya. Pola tersebut selanjutnya
dikenal dan dikristalkan dengan istilah kaidah-kaidah sharfiyah yang
mengkaji berbagai tehnik derivasi (isytiqaq).
Konsep inilah yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal
qiyas dalam bahasa Arab. Dan secara ilmiah, proses analogi derivatif (الاشتقاق القياسي) ini memiliki peranan penting dalam merespon perkembangan
bahasa, seperti membuat istilah-istilah ilmiah baru di bidang kedokteran,
teknologi, pertanian, arsitektur, atau di bidang bahasa dan sastra, serta bidang
syari’ah dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para ulama bahasa,
baik klasik maupun modern terus berupaya mengembangkan metode qiyas, guna
mengatasi segala persoalan bahasa yang muncul, sehingga bahasa Arab fusha tetap
eksis dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk itu, dalam makalah singkat ini, pemakalah akan
mencoba menyajikan berbagai persoalan yang menyangkut qiyas, baik pada masa
klasik maupun modern.
Qiyas Menurut Para Ahli Bahasa Klasik
Qiyas pada hakekatnya adalah sebuah aktivitas berfikir yang alamiah, biasa dilakukan oleh setiap orang dalam berbahasa. Qiyas dalam kaidah bahasa Arab mengandung makna yang tidak sedikit. Para ahli bahasa klasik mendefinisikan qiyas secara terminologi dengan “tehnik merinci atau memisahkan sesuatu, membuat cabang, membelokan sesuatu dan membuat sesuatu menjadi kompleks (طريق التفصيل والتشعيب والالتواء والتعقيد )[1].
Qiyas pada hakekatnya adalah sebuah aktivitas berfikir yang alamiah, biasa dilakukan oleh setiap orang dalam berbahasa. Qiyas dalam kaidah bahasa Arab mengandung makna yang tidak sedikit. Para ahli bahasa klasik mendefinisikan qiyas secara terminologi dengan “tehnik merinci atau memisahkan sesuatu, membuat cabang, membelokan sesuatu dan membuat sesuatu menjadi kompleks (طريق التفصيل والتشعيب والالتواء والتعقيد )[1].
Namun demikian sebagaimana dikutip dari buku
“Musthalahat Ilm Ushul al-Nahwi, bahwasanya Sibawaih dan para ahli Nahwu
lainnya sepakat mendefinisikan Qiyas berdasarkan pada makna lughawi, yaitu
seperti yang maknai oleh Ibnu Mandzur bahwa qiyas adalah (التقدير).
(فقاس الشيئ بغيره أو
على غيره يقيسه قياسا، أي قدره على مثاله فالقياس عبارة عن التقدير قاس الثقل إذا
قدره )
Sedangkan definisi qiyas secara istilah menurut Ibnu
al-Anbari[2]
dalam argumentasinya menyatakan bahwa qiyas adalah “menggiring sesuatu yang
tidak ada dalilnya ke dalam sesuatu yang telah ada dalilnya, apabila memiliki
makna yang sama, atau menerapkan sesuatu yang telah ada dalilnya ke dalam
sesuatu yang belum ada dalilnya, apabila memiliki persamaan makna. ( حمل المنقول على غير المنقول إذا كان فى معناه )” [3]dan
menurut al-Anbari qiyas merupakan metode yang paling banyak digunakan di dalam
ilmu nahwu dan ta’wil, dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebahasaan yang muncul. Berdasarkan hal tersebut ia
mendefinisikan Nahwu dengan “ Ilmu yang membahas tentang analogi-analogi (المقاييس) yang diperoleh dari kalam
Arab”. Maka siapa saja yang mengingkari
qiyas, pada dasarnya ia telah mengingkari nahwu, karena nahwu pada hakekatnya
adalah qiyas.[4]
Menurut al-Anbari qiyas memiliki empat rukun, yaitu: ashl
(أصل)
sebagai sumber qiyas (المقيس عليه), furu’ atau yang diqiyaskan (المقيس), ‘Illah (alasan
diberlakukannya qiyas), dan hukum.
Sebagai contoh, merafakan sesuatu yang tidak disebutkan
fa’ilnya. Maka isim yang disandarkan padanya fi’il dan ada di hadapannya, wajib
dirafakan karena diqiyaskan pada fa’il. Maka: ashl = fa’il, furu’ = sesuatu yang belum disebutkan
fa’ilnya (naib fa’il), Hukum = rafa’,
Illah = isnad.
Hukum ashl yaitu rafa pada hakekatnya
adalah milik fa’il, namun kemudian diberlakukan pada kalimat yang tidak
disebutkan fa’ilnya (naib fa’il), karena adanya alasan yang
mempersatukan keduanya yaitu sama-sama disandarkan pada fi’il.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam menentukan ashl
yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan dalam proses analogi bahasa, yaitu:
- Sumber qiyas (ashl) tidak boleh syadz. Ada dua hal yang dimaksud dengan syadz, yaitu:
- Ashl banyak digunakan, tapi menyalahi kaidah
Sebagai contoh,
kata استحوذ , استصوب, dan استنوق, tidak boleh dijadikan
sebagai sumber qiyas karena lafaz-lafaz tersebut syadz dengan alasan
menyalahi wazan استقام.
Contoh lain, tidak boleh membuang nun taukid yang terdapat dalam fi’il amr,
dengan alasan diqiyaskan pada syi’ir berikut:”
" اضربَ عنك الهموم طارقها. Kata yang digarisbawahi
sebenarnya adalah “اضربن”,dengan
nun taukid, yang kemudian dibuang karena alasan tertentu. Hal tersebut tidak
dibenarkan oleh para ahli bahasa Arab, karena fungsi taukid pada hakekatnya
adalah sebagai penegas, sehingga kalimat tersebut menjadi syadz dan
tidak boleh dijadikan sebagai sumber qiyas.
- Ashl tidak menyalahi kaidah, tapi tidak digunakan.
Sebagai contoh,
tidak boleh mengqiyaskan pada lafaz وذر, dan ودع,
karena keduanya tidak biasa digunakan dalam kalam Arab, namun boleh
mengqiyaskan pada lafaz وزن, dan وعد,
karena kedua lafaz tersebut biasa digunakan, meskipun kedua kelompok tersebut
memiliki wazan yang sama.
- Ashl tidak harus banyak
Sumber qiyas tidak harus banyak,
boleh sedikit asal tidak menyalahi qiyas, namun meskipun banyak, tapi menyalahi
qiyas, maka hukumnya tidak boleh. Contoh pertama, menasabkan lafaz dari wazan فَعُولة ke wazan فَعَيلة, seperti, شنوءة menjadi شنئيّ, maka boleh mengqiyaskan ركوبة, menjadi, ركبيّ, ke dalam wazan tersebut,
meskipun fenomena seperti itu sedikit. Hal tersebut dibolehkan dengan alasan
bahwa keduanya berasal dari fi’il tsulatsi, huruf ketiganya sama-sama harf lain,
dan diakhiri dengan ta ta’nis. Maka bila hal tersebut diperbolehkan
karena alasan-alasan tersebut, maka pada dasarnya ia telah didukung oleh wazan
lain yang bisa dijadikan sebagai pendukung, seperti, أثيم menjadi
أثوم, رحيم menjadi رحوم. Namun sebaliknya tidak boleh mengqiyaskan pada lafaz ضرورة yang menjadi ضرري, karena bab "فعيلة" المضاعفة
seperti جليلة, tidak menjadi جللي melainkan جليليّ. [5]
Berkaitan dengan sumber istisyhad, al-Suyuthi
menyatakan, bahwa yang bisa dijadikan sebagai sumber istisyhad dalam
qiyas adalah “semua bentuk kalam yang diyakini kefasihannya, meliputi
Kalamullah (al-Qur’an), Kalam Nabi (Hadis), dan Kalam Arab, baik sebelum maupun
setelah diutusnya Nabi saw”.
Al-Qur’an tidak diragukan lagi sebagai Kalam yang paling
fasih dan baligh, oleh karena itu Ia menempati posisi pertama untuk dijadikan
sebagai hujjah dalam melakukan proses qiyas. Untuk itu al-Farra menyatakan,
bahwa: “ Al-Kitab lebih tepat dan lebih kuat untuk dijadikan sebagai argumen
dibandingkan syi’ir” (الكتاب أعرب وأقوى فى
الحجة من الشعر). Hal ini didukung oleh
pernyataan Ibnu Khalweih, “ Semua orang telah sepakat, bahwa semua kata
yang berasal dari al-Qur’an, lebih fasih
dibanding yang lainnya”.
Turunnya al-Qur’an tidak terlepas dari adanya perbedaan
qira’at yang dikenal dengan qira’at sab’ah. Namun demikian, Al-Qur’an
dengan qira’at adalah dua hal yang berbeda, sebab al-Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan pada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai bayan dan mukjizat,
sedangkan qira’at adalah perbedaan lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an, baik
hurufnya, cara membacanya, takhfif, tasydid dan lain sebagainya.
Qira’at itu sendiri berbeda-beda derajatnya, ada yang
mutawatir, ahad, dan juga ada yang syadz, namun demikian semua itu boleh
dijadikan sebagai hujjah dalam berbahasa Arab, asalkan tidak menyalahi qiyas
yang sudah terkenal, atau meskipun menyalahinya, hal itu boleh saja dijadikan
hujjah.[6]
Apabila dalam
menetapkan al-Qur’an sebagai sumber istisyhad tidak ada perbedaan pendapat,
sebaliknya pada hadis-hadis Nabi saw. Terdapat dua pandangan yang berbeda,
apakah hadis-hadis Nabi saw tersebut, bisa dijadikan sebagai sumber istisyhad
atau tidak. Pendapat yang membolehkan berargumen, bahwa Ibnu Malik menggunakan
hadis-hadis mutawatir yang masyhur sebagai hujjah. Sedangkan mereka yang kontra
berargumen, bahwa hadis-hadis tersebut banyak diriwayatkan oleh perawi yang
tidak fasih, sehingga terjadi banyak penyimpangan dalam bahasa mereka.[7]
Sumber istisyhad ketiga adalah Kalam Arab, baik
yang berbentuk syi’ir (mandzum), maupun natsr (mantsur).
Dalam hal ini al-Suyuthi menjelaskan:” Kalam Arab yang bisa dijadikan sebagai
hujjah adalah yang berasal dari para fusha yang diyakini kualitas
kearabannya”. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang ia maksudkan adalah mandzum
dan mantsur yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya (tsiqat)
dengan sanad yang mu’tabar. [8]
Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang dimaksud
dengan orang Arab yang kalamnya diperbolehkan untuk dijadikan sebagai sumber
qiyas. Sejak awal abad pertama Hijriyah, persoalan ini telah banyak menyita
pembahasan para ahli bahasa hingga saat ini. Di antara pendapat tersebut,
menyatakan bahwa yang diperbolehkan sebagai sumber qiyas yaitu:
1.
orang Arab
yang diyakini benar kualitas kearabannya, yaitu mereka yang tinggal di daerah
perkotaan (amshar) hingga akhir abad ke dua Hijriyah.
2.
masyarakat
badui yang terdapat di Jazirah Arab hingga akhir abad ke-4.
Sedangkan bahasa yang bisa dijadikan sumber qiyas, yaitu
bahasa yang validitasnya tidak diragukan (shihah), bahasa yang benar (salamah)
serta bahasa yang telah disepakati oleh setiap qabilah yang ada.
Berdasarkan pada definisi qiyas sebelumnya, baik secara
bahasa maupun istilah, maka Muhammad Hasan Abdul ‘Aziz membagi qiyas secara
umum ke dalam dua hal pokok:
Pertama: Qiyas terapan (القياس الاستعمالي). Adapun yang dimaksud
dengan qiyas istim’al yaitu proses peniruan yang dilakukan oleh
orang non Arab (ghair al-manqul) terhadap pengguna bahasa
Arab Asli/fusha (al-manqul). Contoh kita merafakan fail dan
menasabkan maf’ul pada saat mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab, hal itu
tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya proses peniruan dari al-manqul
sebagai sumber, ke ghair al-manqul sebagai imitasi. Maka qiyas dalam makna
isti’mal adalah proses peniruan terhadap bagaimana orang Arab berbicara
(berkaitan dengan tehnik) sehingga seseorang mampu berbicara sebagaimana orang
Arab asli berbicara, baik dalam penyusunan kalimat, pembentukan kata dan
lain-lain.
Berdasarkan pengertian ini, maka qiyas membutuhkan dua
hal berikut ini:
1.
Mengetahui
dengan pasti siapa yang dimaksud dengan orang Arab yang kita tiru bahasanya dan
dijadikan sebagai sumber rujukan.
2.
Mengetahui
secara pasti bahasa Arab yang dijadikan sebagai sumber qiyas, apakah bahasa
yang telah disepakati oleh qabilah-qabilah Arab atau bahasa yang masih
menimbulkan perdebatan dan dianggap syadz (menyalahi qaidah).
Kedua: Qiyas teoritis (al-qiyas
al-nahwi). Qiyas ini berkaitan dengan masalah-masalah atau teori-teori yang
terdapat dalam kaidah bahasa Arab. Dalam menjelaskan qiyas ini, penulis buku al-Qiyas
fi al-Lughah al-Arabiyah mengutip dari apa yang disampaikan al-Anbari,
bahwa qiyas adalah “ menggiring cabang (furu’) ke dalam sumber (ashl)
karena alasan tertentu, dan selanjutnya menerapkan hukum asal ke dalam furu’
(حمل فرع على أصل بعلة، وإجراء
حكم الأصل على الفرع). Sebagai contoh, (لا النافية للجنس) menasabkan ism dan
merafakan khabar, karena diqiyaskan pada (إن), dengan alasan adanya persamaan illah antara keduanya, yakni
sama-sama berfungsi sebagai taukid. (لا) digunakan sebagai taukid pada kalimat negatif, sedangkan (إن) digunakan sebagai taukid
pada kalimat positif.
Sedangkan al-Suyuthi
dalam kitabnya al-Iqtirah, membagi qiyas ke dalam empat macam, yakni:
1.
Mengqiyaskan
furu ke dalam ashl, seperti meng-i’lal jama’ seperti pada mufradnya. Contoh: (قيمة) menjadi (قيم).
2.
Mengqiyaskan
ashl ke dalam furu, seperti meng-i’lal masdar karena i’lal
yang terdapat dalam fi’il. Contoh: (قام : قياما)
atau seperti membuang huruf dalam kondisi
jazm (ashl) yang diqiyaskan pada membuang harakat.
3.
Mengqiyaskan
sesuatu pada hal yang sepadan, seperti tidak diperbolehkannya merafakan ism tafdhil dengan
jelas, karena memiliki persamaan dengan fi’il ta’ajub, sebaliknya
boleh mentashgir fi’il ta’ajub diqiyaskan pada bolehnya ism
tafdhil untuk ditashghir.
4.
Mengqiyaskan
sesuatu yang berlawanan pada lawannya, seperti menasabkan fi’il setelah (لم) dengan diqiyaskan pada
bolehnya menjazmkan fi’il setelah (لن), yang pertama menafikan masa yang lalu, sedang yang kedua
menafikan yang akan datang.
Model qiyas yang
pertama dan ketiga disebut qiyas musawi (sepadan), sedangkan yang kedua
disebut qiyas ula (utama) dan yang keempat disebut qiyas adwan
(paling rendah).
Pembagian lainnya
yang sangat terkenal adalah sebagaimana yang dilakukan oleh al-Anbari di mana
ia membagi qiyas ke dalam tiga bagian, yaitu:
- Qiyas Illah, yaitu: membawa furu’ ke dalam ashal karena ada illah yang sama dalam hukum ashal. Contohnya seperti pada kasus naib fa’il. Contoh lain seperti, tidak diperbolehkannya khabar (ليس) mendahului isimnya, diqiyaskan pada tarkib (عسى). Adapun alasan hal tersebut dilarang adalah karena keduanya merupakan fi’il ghair munsharif (tidak meneriman tashrif)
- Qiyas Illah, yaitu: membawa furu’ ke dalam ashal karena adanya persamaan yang dimiliki keduanya, namun di luar illah yang terdapat dalam hukum ashal. Sebagai contoh, memberlakukan i’rab yang terdapat pada fi’il mudhari’ pada isimnya, baik harakat maupun sukunnya, seperti kata (يضرب) berlaku pada (ضارب) dan (ضارب) berlaku pada hal yang semisal lainnya. Adapun illah yang mempersatukan adalah memperlakukan fi’il sama dengan isimnya, baik harakat maupun sukunnya, dan illah ini bukan termasuk pada hal-hal yang mewajibkan i’rab.
- Qiyas Thard, yaitu: qiyas yang di dalamnya terdapat hukum, namun tidak ada kecocokan dalam illah, dan qiyas ini masih dalam perselisihan para ulama nahwu. [9]
Berkaitan dengan masalah maqis (yang diqiyaskan),
apakah masuk kategori kalam Arab atau tidak. Menurut Ibnu Jinni, bahasa dengan
segala perbedaannya dapat dijadikan sebagai argumen. Maka orang yang berbicara
dengan menggunakan bahasa yang dihasilkan dari qiyas adalah benar.
Hukum yang ditetapkan dari proses qiyas pada dasarnya
dapat dijadikan sebagai hukum. Karena ashl pada dasarnya ditetapkan oleh sima’.
Oleh sebab itu kadang-kadng ashl bisa menjadi furu dan furu bisa menjadi
ashl. Contoh: (لات)
adalah furu dari (لا) dan
(لا) furu dari (ليس), maka (لا) adalah ashl bagi (لات) dan furu bagi (ليس).
Berkaitan dengan masalah illah,
Al-Suyuthi membaginya ke dalam 24 macam, di antaranya, illah sima’, illah
tasybih, illah istighna’, illah istitsqal, illah farq, illah taukid, dan lain
sebagainya. [10]
Al-Khalil pada
dasarnya bukanlah orang pertama yang memprakarsai metodologi qiyas dalam Ilmu
Nahwu, sebagaimana Abu Hanifah yang bukan orang yang pertama kali menggunakan
qiyas dalam ilmu Fiqih, akan tetapi sebelum keduanya telah ada yang
memeloporinya. Namun demikian al-Khalil menurut ibnu Jinni adalah “ pemimpin
kelompoknya (ahli nahwu), dan pelopor metodologi qiyas”, sebab dia adalah orang
pertama yag meletakkan dasar-dasar penyusunan mu’jam, penyusun ilmu Arudl yang
diqiyaskan pada syi’ir, begitu pula dalam ilmu nahwu. Metode dan model qiyas
al-Khalil tersebut, selanjutnya dikristalisasi di tangan Sibawaih dan banyak
contoh-contoh hasil qiyas al-Khalil yang dijadikan sebagai rujukan olehnya.
Selain itu, pada dasarnya teori-teori yang banyak dikutip oleh para pembahas
qiyas, adalah teori-teori yang berasal
dari al-Anbari.
Qiyas menurut Ahli Bahasa Modern
Qiyas
menurut Ahli Bahasa Barat (Ferdinand de Saussure)
Qiyas atau analogi
menurut Saussure adalah meniru suatu bentuk dari bentuk lain dengan pola
tertentu. (محاكاة صيغة لصيغة أخرى بإطراد). Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan pola
analogi (المقيس) adalah suatu pola yang dibuat untuk dijadikan sebagai
model bagi pola lain (المقيس عليه) melalui metode tertentu.
Proses analogi itu
sendiri oleh Saussure dibatasi dengan metode matematik (طريقة رياضية) yang seimbang. Sebagai
contoh, apabila kata oratorem bisa menjadi orator, maka secara
analogi kata honorem bisa menjadi honor. Di dalam bahasa Arab,
misalnya kata نصيحة bila dijamakan menjadi نصائح , maka kata فريدة menjadi فرائد dst.
Flase analogi (القياس الزائف أوالخاطئ)
Menurut Saussure,
membuat analogi tidak harus dengan model (sumber analogi) yang sempurna (fusha)
dan ditiru secara sempurna, sebab menurutnya qiyas itu adalah meniru model
lain, meskipun model tersebut oleh para ahli bahasa dianggap menyalahi aturan (شاذ) dan salah (خطأ), dan hal tersebut tidak
termasuk pada flase analogi. Sebagai contoh, ketika muncul kata honor
(tanpa tanda) dalam bahasa latin, kata tersebut dianggap telah menyimpang dari
aslinya yaitu honor (dengan tanda). Namun hal itu menurut Saussure tidak
termasuk penyimpangan dan sah-sah saja untuk dijadikan sebagai sumber analogi,
selama kata yang muncul belakangan tersebut telah berhasil eksis dalam bahasa.
Sebagai contoh di dalam bahasa Arab, apabila menggunakan metode Saussure, maka
kata-kata yang baru muncul seperti استعوض (replacement) boleh-boleh saja untuk dijadikan sebagai sumber
qiyas, meskipun kata tersebut diqiyaskan pada kata استحوذ
(mengatasi/menguasai) yang dianggap
syadz oleh para ahli bahasa Arab, karena menyalahi wazan استقام . Hal tersebut
diperbolehkan, dengan alasan bahwa kata yang muncul belakangan eksis dalam
dunia bahasa Arab modern.
Qiyas berhubungan
dengan kalam le parole (yang diucapkan) bukan bahasa le langue.
Menurut Saussure, analogi pada tataran awal selalu berhubungan dengan kalam
(individual spirits/semangat individu), bukan dengan bahasa (collective area).
Apabila kalam tersebut (tataran individu) telah menetap dalam bentuknya yang
baru, selanjutnya ia mulai berpindah pada tataran bahasa (kolektif) dan menjadi
milik bersama.
Dari pembahasan tersebut,
penulis buku al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah, menyimpulkan:
1. Qiyas –meskipun
termasuk metode- bukanlah sebuah proses pembentukan kaidah,
melainkan semangat berbahasa yang
dipraktikkan oleh seseorang pada saat menemukan bentuk baru yang dicontoh dari
pola lain secara metodologis.
2. Proses analogi terjadi karena adanya persamaan
antara maqis (sumber qiyas) dengan
maqis alaih (yang diqiyaskan), baik
dari segi bentuk (lafadz), makna, ataupun keduanya sekaligus. Dalam melakukan
analogi, tidak disyaratkan adanya persamaan secara sempurna, karena pada
dasarnya tidak ada satupun dalam fenomena berbahasa yang memiliki persamaan
mutlak, melainkan hanya karena ada hubungan antara keduanya dan dengan tujuan
memantapkan penggunaan kata baru.
3. Qiyas merupakan proses berbahasa dengan
menggunakan pola tertentu, oleh karena
itu –secara umum- mengakibatkan
terjadinya aturan-aturan dan penyamaan baik pada pola maupun susunannya, namun
demikian, hal tersebut tidak berarti menghalangi eksistensi pola-pola yang
berlawanan dengan kaidah-kaidah qiyas.
Untuk itu Saussure sebagaimana dikutip
oleh Muhammad Hasan menyatakan, “tidak ada satu bahasa pun, pada zaman kapanpun
yang memiliki aturan-aturan bahasa yang sempurna, seirama dan mapan (selamat)
dari unit-unit.
4. Qiyas memiliki peranan penting dalam membantu
melahirkan pola-pola baru yang
akan menggantikan pola-pola lama.
Dengan kata lain, qiyas berperan sebagai pemelihara bahasa, karena pada
dasarnya ia-lah yang dapat memelihara pola-pola dari waktu ke waktu dan ikut
mengabadikannya, meskipun materi bahasa berbeda-beda namun demikian masih tetap
menggunakan pola yang sama. [11]
Qiyas
menurut para ahli bahasa Arab Modern
1. Dr. Anis Ibrahim.
Qiyas adalah
mengetahui sesuatu dari sesuatu yang telah diketahui (استنباط مجهول من معلوم). Sebagai contoh, apabila
seseorang membentuk suatu kata dengan cara mencontoh dari kata lain dengan
menggunakan metode tertentu, maka proses tersebut dinamakan dengan qiyas.
Menurut
Anis, qiyas merupakan proses penalaran yang bersifat individu.
Menurutnya ada
beberapa hal mendasar yang membedakan antara qiyas para ahli bahasa klasik dan
modern, yaitu:
1.
Sumber
materi qiyas. Yang boleh dijadikan sebagai sumber qiyas, menurut ulama klasik
hanyalah teks-teks yang berasal dari kalam Arab yang telah mereka batasi baik
dari segi masa maupun tempatnya. Sedangkan menurut para ahli bahasa modern,
materi sumber qiyas bisa saja diambil dari setiap individu pengguna bahasa
tersebut.
2.
Para ulama Basrah berusaha
membatasi sumber qiyas dengan mensyaratkan bahasa tersebut banyak digunakan
(populer). Sedangkan menurut para para ahli bahasa modern sumber qiyas tidak
harus selalu populer, sebab boleh saja diambil dari satu atau dua orang tanpa
didukung oleh banyak syawahid.
3.
Para ulama klasik berpendapat
bahwa melakukan qiyas hanya boleh dilakukan oleh para ahli yang mengabdikan
hidupnya untuk kelangsungan bahasa Arab. Maka dalam hal ini, Anis Ibrahim
sebagai ahli bahasa modern mengingatkan bahwa qiyas adalah milik semua orang,
baik anak-anak maupun masyarakat pada umumnya, sastrawan ataupun penyair,
sehingga bahasa Arab tidak menjadi bahasa yang tertinggal namun selalu
mengikuti perubahan sebagai sunatullah.
Pendapat yang dikemukakan oleh Dr. Anis
Ibrahim ini, menurut Muhammad Hasan Abdul Aziz, tampak jelas dipengaruhi oleh
linguis Barat Ferdinad de Saussure.
2. Majma al-Lughah al-Arabiyah
Berbagai upaya
untuk mengembangkan bahasa Arab telah dilakukan oleh para ahli bahasa Arab di
Mesir, salah satunya yaitu dengan mendirikan lembaga bahasa Arab yang
diprakarsai oleh Baha al-Malik Fuad al-Awal pada tahun 1934 dengan didukung
oleh para ahli bahasa Arab yang kompenten. Salah satu target dari Majma
al-Lughah tersebut adalah membangkitkan kembali gerakan qiyas yang selama ini
tertidur selama 900 tahun lamanya dari tahun 500 H hingga kini (buku dicetak
1407H).
Beberapa contoh keputusan Majma
al-Lughah al-Arabiyah yang terkait dengan masalah qiyas:
1.
Al-Tadlmin (التضمين)
Adapun yang dimaksud dengan tadlmin
adalah memfungsikan sebuah fi’il (kata kerja) atau padanannya ke dalam fi’il
lain atau padanannya, karena memiliki persamaan makna, sehingga kedudukannya
sama baik dari segi ta’diyah (transitive) maupun lazim (intransitive).
Proses seperti ini oleh majma’
al-Lughah dianggap sebagai qiyas, bukan sima’i. Dalam hal ini tadlmin
dibolehkan dengan syarat: 1. Adanya kecocokan antara dua fi’il. 2. Terdapat
indikator yang mengisyaratkan adanya pencampuran (الالتباس) makna antara kedua fi’il
tersebut. 3. Tadlmin harus sesuai dengan dzauq Arabi (selera dan
rasa berbahasa orang Arab).
Sebagai contoh dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung tadlmin:
“الله
يستهزئ بهم ويمدهم في طغيانهم يعمهون“
kata “يمد”
dalam ayat tersebut mengandung (ضمن) makna “يزيد”. Contoh lain misalnya: “…ولتكير الله على ما هداكم”, maka kata “لتكبروا” dalam ayat tersebut
mengandung makna “لتحمدوا”dan
lain sebagainya. Penggunaan kata-kata yang seperti ini menurut Majma al-Lughah
boleh digunakan dalam berbahasa, asalkan telah memenuhi syarat sebelumnya.
2.
Al-Ta’rib (التعريب)
Adapun yang dimaksud dengan ta’rib
yaitu mengadopsi kata-kata asing ke dalam bahasa Arab (نقل الكلمة من العجمية إلى العربية),
maka al-mu’arab adalah lafaz asing yang telah dirubah ke dalam bahasa Arab,
dengan cara mengurangi, menambah atau menukar. Contoh, kata “صرد” dita’rib menjadi “سرد” yang artinya “برد”. Contoh lain misalnya kata radio yang dalam
bahasa Arab menjadi راديو dan المذياع.[12]
Majma’al-Lughah membolehkan penggunaan
sebagian kata asing dalam bahasa Arab dalam kondisi darurat, dengan metode
ta’rib (pengaraban).
3.
Al-Muwallad
Adapun yang dimaksud dengan al-muwallad
di sini yaitu, lafaz-lafaz yang digunakan oleh non Arab (bukan Arab asli),
namun tidak digunakan oleh orang Arab itu sendiri. Al-muwallad itu
sendiri dibagi ke dalam dua bagian:
1.
Kelompok
yang selalu mengkiyaskan kata-kata asing yang masuk dengan kalam Arab, baik
dengan menggunakan majaz, isytiqaq, dsb, seperti istilah-istilah teknologi,
ilmu pengetahuan, industri, dsb. Hukumnya dianggap sebagai bahasa Arab serapan.
2.
Kelompok
yang sama sekali keluar dari analogi-analogi (aqyisah) kalam Arab dan
tidak berusaha untuk menta’ribnya, baik dengan cara merubah (tahrif)
lafaz ataupun maknanya, yang besar kemungkinan tidak memperoleh hasil yang
tepat, atau mungkin saja dengan cara mengimprovisasi/merekayasa lafaz. Namun
demikian, baik tahrif ataupun irtijal, keduanya oleh Majma’
al-Lughah tidak diperbolehkan di dalam bahasa fusha.
3.
Shighah
dan Isytiqaq
Diantara keputusan qiyas Majma’
al-lughah yang berkaitan dengan shighah dan isytiqaq:
-
Menetapkan
wazan فُعال
untuk nama penyakit, seperti: زكام، سعال.
-
Menetapkan
wazan فَعيل dan فُعال untuk nama-nama suara, seperti:
أنين المريض، خفيف الأشجار، زئير الأسد، مواد
الهر، نباح الكلب، وغيرها.
-
Menetapkan
isim alat, dengan diqiyaskan pada fi’il tsulatsi wazan مفعل dan مفعال untuk menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan alat.
-
Menetapkan
ta’diyah dengan hamzah yang diqiyaskan pada tehnik menta’diyah fi’il tsulasi
lazim.
-
Menetapkan
shighah استفعل
untuk meminta dan perubahan (للطلب والصيرورة)
-
Dan lain
sebagainya
Akan tetapi hal
terpenting yang ditetapkan oleh Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, dalam menetapkan
prinsip-prinsip qiyas tersebut dan perlu diperhatikan adalah bahwa:
1.
lafaz Arab
lebih utama daripada lafaz yang berasal dari ta’rib klasik, kecuali jika lafaz
yang dita’rib itu lebih populer.
2.
hendaknya melafalkan kata yang dita’rib,
sebagaimana orang Arab mengatakannya.
3.
Istilah-istilah
bahasa Arab klasik lebih utama daripada istilah-istilah baru, kecuali telah
populer.
4.
Dalam
membuat sebuah istilah baru, menggunakan satu kata lebih baik daripada dua atau
lebih, hal tersebut apabila memungkikan, namun jika tidak lebih baik
diterjemahkan secara harfiah.
Itulah beberapa
upaya yang dilakukan oleh Majma’ al-Lughah al-Arabiyah dalam rangka memelihara
dan mengembangkan bahasa Arab dengan melalui metode qiyas. [14]
Kesimpulan
Qiyas dalam
berbahasa maupun dalam menetapkan kaidah-kaidahnya, pada dasarnya merupakan
sebuah proses alamiah yang biasa dilakukan oleh setiap orang. Bahasa Arab
diyakini oleh para analis bahasa, terlahir dengan karakter tersendiri, yang
salah satunya adalah pola bahasa yang bisa dijadikan sebagai patokan dalam
berbahasa dan menjadi cikal bakal qiyas.
Dengan berlalunya
zaman, qiyas mengalami berbagai perkembangan, diawali dengan bermunculannya
para ulama nahwu klasik yang menggunakan metode qiyas dan merumuskannya secara
ilmiah. Akan tetapi metode ini selanjutnya mengalami masa-masa vacum,
seiring dengan kemunduran berbagai aspek kehidupan -termasuk ilmu pengetahuan-
di negara-negara muslim.
Pada era modern,
muncul para ahli bahasa yang berupaya memberdayakan kembali metode qiyas yang
sedang tertidur. Tidak dipungkiri bahwa kebangkitan ini pun sedikit banyak
dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan Barat. Maka muncullah tokoh-tokoh
bahasa seperti Anis Ibrahim sebagai individu, atau Majma’ al-Lughah sebagai
lembaga bahasa yang berusaha menghidupkan kembali metode qiyas.
Berdasarkan pada
pembahasan sebelumnya-sebagaimana dikatakan oleh Dr. Anis Ibrahim, bahwa
terdapat beberapa hal mendasar yang membedakan antara qiyas para ahli bahasa
klasik dan modern, yaitu:
1.
Sumber
materi qiyas. Yang boleh dijadikan sebagai sumber qiyas, menurut ulama klasik
hanyalah teks-teks yang berasal dari kalam Arab yang telah mereka batasi baik
dari segi masa maupun tempatnya. Sedangkan menurut para ahli bahasa modern,
materi sumber qiyas bisa saja diambil dari setiap individu pengguna bahasa
tersebut.
2.
Para ulama Basrah berusaha
membatasi sumber qiyas dengan mensyaratkan bahasa tersebut banyak digunakan
(populer). Sedangkan menurut para para ahli bahasa modern sumber qiyas tidak
harus selalu populer, sebab boleh saja diambil dari satu atau dua orang tanpa
didukung oleh banyak syawahid.
3.
Para ulama klasik berpendapat
bahwa melakukan qiyas hanya boleh dilakukan oleh para ahli yang mengabdikan
hidupnya untuk kelangsungan bahasa Arab. Maka dalam hal ini, Anis Ibrahim
sebagai ahli bahasa modern mengingatkan bahwa qiyas adalah milik semua orang,
baik anak-anak maupun masyarakat pada umumnya, sastrawan ataupun penyair,
sehingga bahasa Arab tidak menjadi bahasa yang tertinggal namun selalu
mengikuti perubahan sebagai sunatullah.
والله
أعلم
DAFTAR RUJUKAN
1.
Sa’id
al-Afghani, Fi al-Ushul, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1987M/1407H
- Tamam Hassan, Dr., al-Ushul, Kairo: ‘Alam al-Kutub, 2000M/1420H
- Muhammad Hasan Abdul Aziz, Dr., al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1995M/1415H
- Thalal ‘Allamah, Dr., Nasy’ah al-Nahwu al-Arabi fi Madrasatae: al-Bashrah wa al-Kufah, Beirut: Daar al-Fikr al-Lubnani, 1993
- ‘Abbas Hassan, al-Lughah wa al-Nahwu Baina al-Qadim wa al-Hadits, Mesir: Daar al-Ma’arif, 1966
- Al-Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurahman ibnu Abi Bakr, Kitab al-Iqtirah fi Ilmi Ushul al-Nahwi, syarah Dr. Ahmad Salim al-Hamshi dan Dr. Muhammad Ahmad Qassim, Jarus Burs, 1988
- Emil Badi’ Ya’qub, Dr., Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah wa Khashaisuha, Beirut: Daar al-Tsaqafah al-Islamiyah, tth
- Asyraf Mahir Mahmud al-Nawahi, Mushtalahat Ilm Ushul al-Nahwi, Kairo: Daar Gharib, 2001
[1] . Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah,
Daar al-Fikr al-Arabi, 1995 M/1415 H, h. 19
[2] . Nama lengkapnya adalah Abu al-Barakat Kamaluddin Abdurahman ibnu
Muhammad ibnu Ubaidillah ibnu Abi Sa’id al-Anbari yang dijuluki dengan
al-Kamal. Lahir di al-Anbar sebuah wilayah terletak di sebelah Barat Iraq pada
tahun 513 H dan wafat di Baghdad tahun 577 H, meninggalkan sekitar 130 buah
hasil karya tulis yang di antaranya adalah “al-Inshaf fi Masail al-Khilaf” yang
sangat terkenal di antara para peneliti kaidah-kaidah bahasa Arab.
[3] . Pembahasan mengenai qiyas, rata-rata merujuk pada definisi yang
diberikan oleh al-Anbari.
[4] . Lih.Jalaluddin al-Suyuthi, al-Iqtirah fi Ilmi Ushul al-Nahw, tahqiq
Ahmad Salim al-Hamshi dan Muhammad Ahmad Qassim (جروس بوس)
1988 h. 70-71
[5] . Lih. Al-Iqtirah, hal. 72-74
[6] . Kitab al-Iqtirah, hal. 36
[7] . Lih. Makalah sebelumnya, Mashadir al-Madah al-Lughawiyah wa Manhaj Jam’iha wa
Dirasatiha, yang disampaikan oleh Nasrun, hal. 7
[8] . Muhammad Hasan Abd al-Aziz, al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah,
hal. 100
[9] . Sebagaimana dikutip dari al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah, hal.
21-23
[10] . Dikutip dari buku Mushthalahat ilm Ushul al-Nahwi, karya
Asyraf Mahir Mahmud al-Nawaji, hal. 43
[11] . (Muhammad
Hasan Abdul Aziz, al-Qiyas fi al-Lughah al-Arabiyah, Daar al-Fikr
al-Arabi, 1995, hal. 131)
[12] . Pembahasan lebih lengkap mengenai ta’rib dapat dilihat di buku Fiqh
al-Lughah al-Arabiyah wa Khashaisuha, karya Dr. Emil Badi’ Ya’qub, Beirut: Daar al-Tsaqafah
al-Islamiyah, hal. 215-230
[13] . Contoh dari penulis
[14] . Untuk pembahasan lengkap, lihat Sa’id al-Afghani, Fi Ushul
al-Nahwi, Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1987 M/1407 H, hal. 117-128
0 komentar:
Posting Komentar