Social Icons

CAHAYA SEJATI BERSUMBER DARI NURANI

Minggu, 23 Agustus 2015

ARTI KATA MIMHAH (مِمحاة) DAN MIMSAHAH (مِمسَحة)



Pagi hari ada seorang mahasiswa bertanya via whatsapp, bunda apa artinya mimhâtun (مِمحاة)? Lalu saya balas mimhâtun artinya penghapus. Ia bertanya lagi, lalu apa bedanya dengan mimsahatun (مِمسَحة). Mimhâtun ataupun mimsahatun keduanya berarti penghapus. Mimhâtun diambil dari kata maha –yamhu (محا - يمحو) sedangkan mimsahatun dari kata masaha-yamsahu  (مسح - يمسح) . Keduanya memiliki arti yang sama yang itu menghapus.
Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith disebutkan sebagai berikut:
Mimhâtun jamaknya mamâhin (مماحٍ)  adalah kata benda untuk menunjukkan alat yang diambil dari kata maha –yamhu yang berarti menghapus. Secara bahasa Mimhatun adalah alat untuk menghapus. Mimhâtun adalah sepotong karet atau sejenisnya yang digunakan untuk menghapus tulisan.
Mimsahatun jamaknya mâmasih (مماسح) merupakan kata benda yang menunjukkan alat untuk menghapus, bisa untuk menghilangkan debu, menghapus papan tulis, dan lainnya. Mimsahah aqdam adalah kesetan yang biasa diletakan di depan pintu untuk membersihkan sepatu atau kaki.
    

Kamis, 13 Agustus 2015

SYAIR TASAWUF




DALAM KHAZANAH SASTRA ARAB


       Pengertian Sastra Sufi
Dalam bahasa Arab, istilah sastra dikenal dengan nama adab.  Kata sastra Arab adalah terjemahan dari al-adab al-‘arabi. Kata adab  dalam sastra Arab memiliki sejarah panjang, sehingga menjadi sebuah istilah tersendiri dalam dunia sastra. Pada mulanya, istilah ini lebih dikenal dengan makna moral, bahkan sebelumnya atau lebih tepatnya pada masa Jahiliyah istilah ini mengandung arti undangan jamuan makan yang salah satunya diambil dari syair:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى # لا ترى الأديب فينا ينتقر
Di Musim dingin kami mengundang orang-orang
Tidak kau lihat seorang adib pun di antara kami yang membeda-bedakan (tamu undangan)

Kata adib yang terdapat dalam syair tersebut menurut Ibnu Mazhur dalam kamusnya Lisan al-Arab berarti orang yang mengundang jamuan makan. Sehingga dari syair tersebut disimpulkan bahwa kata adab adalah mashdar (gerund) dari kata adib. Jika adib diartikan sebagai orang yang mengundang, maka adab adalah undangan jamuan makan.[1]
Pada saat Islam datang, istilah adab lekat dengan makna moral (akhlak) dan juga pendidikan. Hal ini terkait erat dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan أدبنى ربى فأحسن تأديبى  yang artinya: “Tuhan telah mengajariku, dan Ia telah menyempurnakan ajarannya untukku”. Berdasarkan hadis tersebut, maka istilah adab merupakan istilah yang sangat umum dan mencakup berbagai hal tentang ajaran-ajaran Tuhan pada manusia, termasuk di dalamnya masalah moralitas.  Makna adab yang berarti akhlak hingga kini masih melekat, bahkan kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti sopan santun.[2]
Pada masa Umayyah kata Adab selain berarti moral, ia juga digunakan secara khusus untuk istilah pengajaran. Untuk itu, istilah mu’addib artinya sama dengan  mu’allim (guru/pengajar). Mu’addib inilah yang kemudian secara khusus berprofesi sebagai pengajar anak-anak raja-raja. Mereka mengajarkan berbagai hal tentang keilmuan, termasuk syair, khutbah (pidato), tarikh (sejarah), dan lain sebagainya.[3]
Pada masa Abbasiyah, kata adab selain memiliki konotasi moral, istilah ini mengkristal menjadi banner sebuah bidang keilmuan. Kata adab pada masa ini tepatnya pada abad ketiga Hijriyah hanya digunakan untuk pengajaran sastra yaitu syi’r (puisi) dan natsr (prosa), serta hal-hal yang terkait dengan keduanya seperti al-Akhbar dan Ayyam al-Arab, dua istilah yang terkait erat dengan peristiwa-peristiwa penting bangsa Arab masa dulu. Menurut Mun’im Khafaji pada abad kelima Hijriyah istilah adab hanya di bidang keilmuan hanya khusus untuk istilah puisi dan prosa arab.[4]   
Pengertian tentang makna sastra telah kita peroleh, lalu apa yang dimaksud dengan sastra sufi? Istilah sufi terkait  erat dengan dunia tasawuf.  Asal-usul istilah dan makna sufi pada dasarnya lebih kabur dibanding dengan istilah adab sendiri. Jika istilah adab dapat ditelusuri maknanya dari masa Jahiliyah hingga kemudian mengkristal menjadi makna sastra yang kita kenal, tidak demikian halnya dengan istilah sufi. Para ahli bahasa maupun sejarawan bersilang pendapat tentang asal-usul istilah tersebut. 
Mayoritas kaum orientalis berpendapat bahwa kata sufi (صوفى) berasal dari bahasa Yunani sufia (سوفيا) yang berarti hikmah, sedangkan orangnya disebut dengan al-hukama (ahli hikmah). [5] Maka ketika orang Arab mewarnai ibadah mereka dengan filsafat, mereka merubah kata tersebut untuk para ahli ibadah dan filsafat kejiwaan. Salah seorang orientalis yang berpendapat seperti ini adalah Marx. Namun demikian, sebagian ahli berpendapat bahwa kata shufi berasal dari kata shûfah yaitu seorang ahli ibadah dan zuhud yang hidup pada masa Jahiliyah yang bernama al-Ghauts ibn Murr. Ia memutuskan untuk memutuskan kehidupannya untuk beribadah dan mengabdi pada Allah di Bait al-Haram. Menurut pendapat lainnya, kata sufi  berasal dari kata al-shafa yang berarti jernih. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata al-shaff, yang artinya barisan, karena mereka berada dalam barisan pertama secara hati dalam perjumpaan dengan Allah swt. Pendapat yang populer kata sufi diambil dari kata al-Shûf yang berarti pakaian para ahli zuhud, para ahli ibadah, Nabi dan Rasul. Ia juga pakaian para ahli agama, Nasrani dan Yahudi pada zaman dahulu, pendeta ataupun rahib.[6]
Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Hadi WM, fakar sastra sufi Indonesia, bahwa dalam Islam, aspek-aspek ketuhanan dianggap sebagai bagian dari keindahan. Gambaran keindahan ini menjadi landasan tersendiri dalam dunia tasawuf. Sehingga karya-karya sastra yang ditulis oleh kaum sufi, baik puisi maupun prosa, menjadi karya agung yang berkualitas dan sarat dengan keindahan hakiki. Tasawuf pada hakekatnya bukan sebatas gerakan keagamaan, namun lebih jauh ia juga dibarengi dengan gerakan kesusteraan dengan membentuk genre tersendiri dalam dunia sastra yang oleh Braginskiy disebut dengan istilah tasawuf puitik.[7] 

          Syair Sufi dan Karakteristiknya
Meskipun dari segi fisik atau bentuk, syi’ir sufi pada dasarnya tidak berbeda dengan syi’ir Arab lainnya, namun dari segi kandungan  (madah al-syi’r) ada beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan syi’ir lainnya, seperti:
1.       Syi’ir sufi lebih banyak berbicara tentang jiwa atau lebih menekankan pada aspek kejiwaan dibandingkan aspek lainnya, sehingga lebih bersifat mistis daripada logis.
2.         Gaya bahasa dan tema pada syi’ir sufi lebih banyak menggunakan simbol atau lambang.
3.          Syi’ir sufi banyak mengungkapkan tentang cinta, terutama cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Dalam ungkapan cintanya tersebut, syi’ir sufi selalu dikaitkan dengan dunia ruhani, dunia langit, cahaya dan kemulian Tuhan.
4.        Aspek paling penting yang menjadi ciri khas gaya syi’ir sufi adalah: sarat dengan makna, sangat imajinatif, kreatif dalam menggunakan kata untuk berbagai tujuan, ekspresif dalam mendeskripsikan sesuatu, serta kecerdasan yang luar biasa dalam mengilustrasikan segala bentuk pemikiran yang kemudian merangkainya dengan cermat.  
5.         Di atas semua itu sesungguhnya syi’ir sufi pada dasarnya adalah ungkapan emosi sang penyair, personalitinya, serta gejolak perasaan terdalam yang ia rasakan. Dengan demikian sastra sufi pada hakekatnya adalah sastra emosional murni, untuk itu dari segi makna ia termasuk pada corak sastra romantis iluminasi spiritualis.
6.        Dalam syi’ir sufi ada beberapa corak syi’ir yang berkembang dan semua itu berkaitan erat dengan faham tasawuf yang dianutnya, seperti syi’ir zuhud (ascetism poetic), syi’ir cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi), syi’ir pujian kepada Nabi atau shalawat Nabi (al-mada’ih al-nabawiyah), syi’ir hikmah dan moral (syi’r al-hikmah wa al-âdab), syi’ir du’a (syi’r al-du’a), dan syi’ir pensucian Tuhan (syi’r al-tasbih).
Contoh sy’ir tasbih:
سبحان من سبحته ألسن الأمم              تسبيح حمد بما أولى من النعم[8]
Maha suci, wahai Engkau yang dikuduskan oleh sekalian lisan umat
Tasbih pujian atas sebaik-baiknya nikmat[9]

 Simbol (al-Ramz) pada syi’ir sufi
Pada syi’ir-sy’ir sufi biasanya banyak ditemukan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan yang sulit dimengerti dan memerlukan interpretasi tersendiri, yang terkadang pengertian antara makna sebenarnya dengan makna majazi tersebut sangat jauh. Simbol pada syi’ir sufi juga tidak hanya sebatas kinayah jauh, namun juga pada sistem penamaan simbol yang tersembunyi  yang tidak diungkapkan secara jelas, seperti kata khamar sebagai minuman yang memabukkan yang diibaratkan dengan kelezatan pada saat bertemu Tuhan yang padarnya tidak ada relavansinya kecuali setelah dicari kesamaan makna antara keduanya dengan melalui penafsiran tasawuf.
Makna-makna indrawi (al-ma’ani al-hissiyah) yang digunakan sebagai simbol oleh kaum sufi untuk menggambarkan makna-makna spiritual dan konsep-konsep mistisnya tersebut, pada dasarnya hanyalah sebatas tampilan pisik atau kulit yang tampak di permukaan. Untuk itu kaum sufi dalam mengekspresikan makna-makna spiritualnya tersebut menggunakan deskripsi indrawi (al-washf al-hissy/sensory description), percintaan indrawi (al-ghazal al-hissi), dan juga mabuk indrawi (al-khamr al-hissy). Hal ini dilakukan dari waktu ke waktu, tiada lain karena mereka tidak menemukan kata ataupun bahasa yang mampu mengungkapkan rasa cinta mereka terhadap Tuhan, kecuali bahasa cinta manusia yang bersifat indrawi. Untuk itu mereka menggunakan kata al-khamr (minuman memabukkan), al-‘ain (mata), al-khad (pipi), rambut, wajah dan lain sebagainya, sebagai simbol belaka untuk sesuatu yang ada di balik itu.
Simbol-simbol yang digunakan dalam syi’ir percintaan (al-ghazal) dan kemabukan/ekstase (al-khamr), bukanlah hal asing dalam syi’ir-syi’ir sufi Islam. Dan yang pasti, penyimbolan yang seperti ini tidak ada yang lebih baik dalam dunia sastra, selain perumpamaan yang diciptakan oleh kaum sufi.[10] Untuk itu kaum sufi pada dasarnya telah ikut menciptakan kata-kata atau istilah-istilah baru yang lebih mendekati istilah-istilah ilmiyah yang maknanya tidak diketahui selain oleh ahlinya. Agar makna-makna yang dimaksud dapat dipahami secara umum, muncullah kamus-kamus khusus untuk istilah-istilah tasawuf.
Menurut Mun’im Khafaji, biasanya simbol-simbol yang digunakan oleh kaum sufi dalam syi’ir mereka meliputi thibaq[11], tauriyah,[12] jinas,[13] atau muqabalah.[14] Aspek-aspek yang disebutkan Mun’im tersebut adalah aspek-aspek badi’iyah balaghiyah[15] suatu sastra.
Terkadang simbol yang digunakan untuk menghubungkan makna hakiki dan majazi pada syi’ir sufi berupa atribut-atribut atau mediator tertentu yang mirip dengan kinayah dan isti’arah jauh yang terdapat dalam ilmu Bayan.  Penggunaan simbol pada syi’ir sufi terkadang disebabkan oleh karena penyair tidak berbicara dengan bahasa logis melainkan bahasa ruhaniah, bathiniyah, dan organ-organ perasa tersembunyi lainnya, atau juga karena ia hendak mengungkapkan makna-makna dalam yang tidak mungkin dipahami oleh masyarakat secara umum.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, simbol-simbol yang terdapat pada syi’ir sufi juga terkadang meliputi gaya bahasa, seperti ijaz, tasybih, tamtsil, isti’arah, majaz, kinayah, husnu al-ta’lil, serta kaya dengan imajinasi (khayal). Untuk itu simbol pada syi’ir-syi’ir sufi adalah campuran antara simbol gaya bahasa dan simbol tema, baik yang berasal dari konsep-konsep filsafat, maupun analogi logika. Namun yang jelas penyair sufi biasanya terbenam pada lingkaran ilmu Bayan dan Badi’ yang dibahas oleh ilmu Balaghah.[16]  
Adapun yang membuat syi’ir sufi keluar dari lingkaran logika, hal itu oleh karena akal sampai kapanpun tidak dapat menggambarkan segala sesuatu kecuali hal-hal yang bersifat kongkrit, dan kaum sufi menggunakannya sebagai mediator untuk menggambarkan semua perasaan yang dialaminya. Sebagai contoh istilah-istilah yang biasa digunakan oleh kaum sufi dengan menggunakan simbol adalah fana, baqa, wahdat al-wujud, dan lain sebagainya yang tidak bisa dipahami kecuali dengan bentuk simbolis. Berikut contoh ungkapan puitis wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi yang sarat dengan simbol:
يا خالق الأشياء فى نفسه        أنت لما تخلقه جامع
Wahai Engkau Pencipta segala sesuatu dalam Dirinya
Sesungguhnya Engkau dan ciptaanmu adalah Satu

تخلق ما لا ينتهى كونه                     فيك فأنت الضيق الواسع[17]
Engkau ciptakan segala sesuatu yang tidak pernah berakhir
Dalam dirimu, sesungguhnya Engkau adalah yang sempit sekaligus yang luas.
Masih dalam lingkaran paham wahdat al-wujudnya,  Ibnu ‘Arabi menggubah syi’ir al-hubb al-ilahi (puisi cinta untuk Tuhan) dengan penggunaan simbol-simbol di dalamnya:
حقيقتى  همت بها                   وما رآها بصرى
Hakikatku merindukan hakikatku
Namun pandanganku tak sanggup menembusnya
ولو   رآها    لغدا                  قتيل  ذاك  الحور
فعندما   أبصرتها                  صرت بحكم النظر
أبيت مسحورا بها                  أهيم  حتى  السحر
يا حذرى من حذرى               لو كان يغنى حذرى[18]

Jikapun dapat memandangnya, niscaya hancur
Terbunuh pandangan  itu
Pada saatku memandangnya
Pandanganku adalah pandanganNya
Aku terjaga karenaNya
Berkasih hingga terjaga
Wahai Aku pengawasku
Seandainya aku tidak perlu pengawasanku
Selain Ibnu ‘Arabi, masih banyak penyair sufi lainnya yang menganut paham wahdat al-wujud dan menggunakan simbol-simbol dalam syi’irnya, seperti Syekh Hasan Ridhwan (1239-1310H) dalam kitabnya Raudh al-Qulub al-Mustathab, menggubah syi’ir sufinya yang berkaitan dengan wahdat al-wujud secara simbolis, seperti berikut ini:
وكل ما سواه نجم آفل              بل فى شهود العارفين باطل
فليس إلا الله والمظاهر            لجملة الأسماء وهو الظاهر[19]
Segala hal selain Dia adalah bintang yang akan terbenam
Bahkan dalam pandangan para ahli ma’rifah semuanya lenyap
Kecuali hanya Allah, dan fenomena –fenomena dengan sejumlah nama, dan Ia adalah Zahir
      Pada intinya adalah bahwasanya simbol menjadi sangat digemari oleh kalangan sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’ir mereka, karena terbatasnya  bahasa manusia yang tidak mampu menampung semua makna yang mereka maksudkan, terutama makna-makna yang bersifat bathiniyah, sehingga sesuai dengan tabiat manusia yang bersifat materi, maka pengungkapan aspek immateri tersebut diungkapkan dengan bahasa kongkrit indrawi, namun demikian perlu interpretasi yang mendalam.

B.     Sejarah perkembangan Sastra Arab Sufi
Salah satu fenomena penting yang tidak bisa diabaikan dalam perkembangan syi’r Arab adalah munculnya corak baru pada masa daulat Abasiyah yang dinamakan denga al-syi’r al-wujdani (syi’ir spiritual). Syi’ir dengan jenis seperti ini, merupakan ciri khusus penyair sufi. Syi’ir sufi pada dasarnya adalah bagian daripada syi’ir religi Islam yang bersifat mistik, karena lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek batin dibanding logika, meskipun jika kita amati, sebagian sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’irnya, -selain unsur emosi- banyak juga menggunakan aspek logika, bahkan aspek ini terkadang tampak mendominasi, terutama pada hal-hal yang bersifat simbolis. Jadi syi’ir sufi sesungguhnya adalah gabungan antara mistik dan filsafat.
Pembahasan mengenai perjalanan dan perkembangan syi’ir sufi Arab-Islam, Muhammad al-Mun’im Khafaji membaginya ke dalam lima fase, yaitu:
1.         Fase pertama sebagai fase awal sejarah perkembangan syi’ir sufi dimulai pada kisaran tahun antara 100-200 H, sepanjang abad kedua Hijriyah, Khilafah Bani Abasiyah. Pada fase ini syi’ir sufi berkembang apa adanya mengikuti trend saat itu, baik dari aspek seni sastranya maupun arus pemikirannya. Syi’ir sufi pada periode ini masih terhitung sedikit, hanya terdiri dari beberapa bait saja. Di antara penyair sufi yang hidup pada masa tersebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (185H)
2.         Fase kedua sekitar dua abad lamanya dari abad ke-3 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada periode ini syi’r sufi mulai mengalami perkembangan dan kemajuan. Di antara penyair sufi masa ini adalah Abu Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245 H), Abu Hamzah al-Khurasani wafat pada tahun 290 H, al-Mutanabi, Syarif Ridha dan lain-lain.
3.         Fase ketiga perkembangan syi’ir sufi berkisar antara tahun 400-600 H, kurang lebih dua abad lamanya. Pada fase ini, sastra sufi didominasi oleh corak al-hubb al-Ilahi (cinta Ilahi), madh al-Rasul (pujian bagi Rasul), al-syawq ila al-amakin al-muqaddasah (kerinduan pada tempat-tempat yang disucikan), dan ajakan kepada keutamaan ajaran Islam. Pada masa inilah mulai berkembangnya sastra sufi Persia, dan munculnya penyair-penyair besar Arab seperti al-Ma’ari dan Mihyar.  Adapun penyair sufi yang ada pada masa ini di antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syami (586 H), al-Rifa’I (587 H), Abd al-Qadir al-Jilani, Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Andalusi, dan al-Bara’i. Berikut contoh syi’r yang digubah oleh penyair besar pendiri tarikat Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
يا من تحل بذكره                              عقد النوائب والشدائد
يا من إليه المشتكى                وإليه أمر الخلق عائد
يا حي يا قيوم يا صمد                        تنزه عن مضادد
أنت العليم بما بليت                به وأنت عليه شاهد
أنت الرقيب على العباد                        وأنت فى الملكوت واحد
أنت المنزه يا بديع                 الخلق عن ولد ووالد
أنت المعز لمن أطاعك                        والمذل لكل جاحد[20]
4.           Fase keempat perkembangan syi’r sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah syi’r sufi berada pada puncak kejayaannya. Penyair-penyair besar masa ini di antaranya adalah: Ibnu al-Faridh (632 H), Jalaluddin al-Rumi,  Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M) al-Bushairi (690 H/1290 M), Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lain sebagainya.
Salah satu dari mereka adalah Ibnu Farid, yaitu Imam Abu Hafsh Umar ibnu ‘Ali ibnu al-Mursyid al-Hamawi, lahir di Mesir pada tahun 632 H. Ia adalah pemuka dari penyair sufi pada fase ini. Di antara syair-syair sufinya adalah sebagai berikut:
فكل الذى شاهدته فعل واحد                بمفرده لكن بحجب الأكنة
إذا ما أزال الستر لم تر غيره              ولم يبقى بالأشكال إشكال ريبة
Dalam syi’ir-syi’ir tasawufnya tersebut banyak berbicara mengenai gelora cintanya pada Tuhan yang mayoritas disajikan dalam bentuk ghazal (cumbuan), khamr (mabuk kepayang), sebagai bagian dari syi’r Cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi) dan kelezatan berjumpa dengan Tuhan (al-wushul al-ruhi).
Meluasnya syi’ir-syi’ir ghazal indrawi (hissi) pada penyair-penyair Arab, turut pula mempengaruhi gaya syi’ir kaum sufi. Dari syi’ir ghazal hissi selanjutnya berpindah di tangan kaum sufi menjadi ghazal spiritual (al-ghazal al-ruhi) yang suci. Terpengaruh gaya bahasa dan corak tasawuf Ibnu Farid, para sufi lainnya, yang diketuai oleh Ibnu Arabi menggubah qasidah-qasidah cinta Ilahi mereka seperti halnya Ibnu Farid. Selanjutnya jenis syi’ir tersebut meluas ke kawasan Andalus, Spanyol, Perancis, sebagaimana sebelumnya telah terlebih dahulu mempengaruhi wilayah Persia dan Turki.[21] Dan akhirnya juga turut mempengaruhi corak puisi sufi yang ada di Indonesia, yang diprakarsai oleh Hamzah Fansuri.
5.           Fase kelima dari perkembangan syi’ir sufi dimulai dari abad ke-8 Hijriyah hingga sekarang. Tokoh penyair sufi yang terkenal adalah al-Sya’rani (898-973 H), al-Nabalsi (1143 H), dan lain sebagainya.     


C.    Ibnu Arabi Penyair Sufi
Riwayat Hidup
Ibnu Arabi adalah seorang sufi sekaligus filsuf terbesar dalam sejarah Islam. Ia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di daerah Mursia, Andalusia (Spanyol) bagian Tenggara.  Ayahnya, Ali ibn Arabi, berasal dari keturunan suku Arab kuno Thayy yang terletak di wilayah Yaman. Hal ini tampak dari nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad Ibn Arabi al-Tha’I al-Hatimi.[22] Ayahnya salah seorang tentara ibn Mardanisy (Muhammad Ibn Sa’id ibn Mardanisy), penguasa Mursia yang mendirikan kerajaan untuk dirinya sendiri dengan bantuan tentara Kristen.[23] Ibunya sendiri berasal dari keluarga Berber dari Afrika Utara.[24]
Selain dikenal dengan nama ibnu Arabi (560-638 H/ 1165-1240 M) tanpa alif dan lam, ia juga menggunakan nama Ibn al-Arabi dengan alif dan lam. Hal ini dilakukan guna membedakannya dengan tokoh Andalusia lainnya yang juga bernama Ibnu Arabi, seorang ahli hadis dan kadi yang hidup hamper bersamaan yaitu pada tahun 543-568 H/1076-1148 M. Selain terkenal dengan sebutan ibnu Arabi, ia juga dikenal dengan gelar lain yaitu Muhyiddin (penghidup agama) dan al-syaekh al-Akbar (Guru terbesar). Muhyiddin adalah gelar yang menunjukkan sebuah kekuatan hidup yang memainkan peranan Ibn Arabi dalam pembentukan pemikiran Islam, sedangkan al-Syaekh al-Akbar adalah gelar yang memperkenalkan Ibn Arabi sebagai pemimpin spiritual di dunia Islam.[25]
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al- Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan. Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun.
Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126- 1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar, menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman- pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin. Kemudian pergi ke Fez dan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.
Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,al-Futuhât al-Makkiyah, disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia- rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M). Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam,19 di samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.[26] 

      Karya Ibn ‘Arabi
Beberapa karya terkenal Ibn Arabi akan dipaparkan secara singkat berikut. Dua karya Ibn Arabi yang paling penting dan termasyhur adalah al-Futuhat al-Makiyah dan Fusus al-Hikam. Judul lengkap karya pertama adalah Kitab al-Futuhat al-Makiyah fi Ma’rifat Asrar al-Malikiyah wa Mulkiyah (Kitab Penyingkapan-Penyingkapan Makkah tentang Pengetahuan Rahasia-Rahasia Raja dan Kerajaan). Ia mengaku bahwa karya ini didiktekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham. Karya ini mulai disusun di Makkah pada 598/1202 dan selesai di Damaskus pada 629/1231. Karya yang terdiri dari 560 bab ini mengandung uraian-uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan, dan juga pengalaman-pengalaman Ibn Arabi sendiri.
Sekalipun relatif pendek, fusus al-Hikam mungkin adalah karya Ibn Arabi yang paling banyak dibaca, paling banyak disyarah karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Karya ini disusun di Damaskus pada 627 H/1229 M, sepuluh tahun sebelum ia wafat. Karya ini mengandung 27 bab. Setiap bab menggunakan nama seorang nabi unutuk judulnya. Sesuai dengan judulnya, fusus al-Hikam, karya ini bertujuan untuk memaparkan aspek-aspek tertentu kebijaksanaan ilahi dalam konteks kehidupan dan person dua puluh tujuh Nabi. Karya Ibn Arabi yang oleh lawan-lawannya dianggap sebaagai ungkapan rasa cinta birahi adalah Tarjuman al-Syawaq. Secara lahiriah anggapan ini kelihatan benar. Sebagai pembelaan untuk melawan tuduhan itu, ia menulis karya lain, Dzakha’ir al-A’laq (khazanah-khazanah Para Pecinta), yang menjelaskan makna esoterik puisi-puisinya dalam Tarjuman al-Sywaq. Tarjuman al-Sywaq mengandung makna esoteric dan simbolik sebagai ungkapan rasa cinta yang membara terhadap Tuhan. Dalam pembelaan itu ia mengatakan bahwa Tarjuman al-Sywaq adalah kumpulan puisi-puisi tentang kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuk seperti tema-tema cinta, eulogi (sanjungan) nama-nama dan sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat dan bintang.
 Karya Ibn Arabi yang tidak boleh dilupakan adalah Ruh al-Quds fi al-Munasahat an-Nafs (Ruh Kesucian dalam Menasihati Jiwa), yang sering disingkat Ruh al-Quds. Karya ini adalah dalam bentuk risalah yang ditujukan kepada sahabat lamanya Abu Muhammad Abd al-Aziz ibn Abu Bakr al-Qurasyi al-Mahdawi yang tinggal di Tunis. Karya ini disusun di Makkah pada 600 H/1203-4 M dan membicarakan tiga pokok bahasan: pertama, kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam praktik tasawuf. Kedua, kehidupan dan ajaran-ajaran para sufi yang ditemuinya di Andalusia. Ketiga, kesulitan dan rintangan yang ditemukan di jalan spiritual. Syajarah al-Kawn (Pohon Kejadian) adalaha karya Ibn Arabi dalam bentuk uraian yang relative pendek tentang kosmologi. Dengan mengembangkan simbolisme ayat al-Qur’an,”sesunggguhnya kata yang baik adalah seperti pohon yang baik..” (QS Ibrahim/14:24). Karya ini memaparkan doktrinnya tentang person Muhammad SAW. Dalam karya ini, ia menguraikan keunikan Muhammad SAW sebagai perwujudan manusia sempurna dalam hubungannya dengan Allah, manusia dan alam secara keseluruhan.[27] 

       C. Ajaran-ajaran penting Ibn Arabi
1. Konsep tajalli al-Haqq (Penampakan diri Tuhan)
Tajalli merupakan sebuah penjelmaan, perwujudan dari Yang Tunggal, sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh. Kata yang ada kaitannya (jalwab) merupakan kata temuan sufi untuk menggemakan kata khalwab (“mengosongkan”, “penaikan diri”) dan untuk menggambarkan pelengkap “kekosongan” di hadapan Tuhan, yakni dengan cara memenuhinya dengan kedamaian penyingkapan Tuhan.
Konsep ini terkait erat dengan doktrin wahdat al-Wujud. Konsep tajalli adalah titik sumbu pemikiran Ibn Arabi  yang menjadi dasar pandangan dunianya. Konsep tajalli menyusupi keseluruhan bangunan pemikirannya dan memasuki keseluruhan teorinya. Tidak satu bagian pun dari pandangan dunianya dapat dipahami tanpa merujuk kepada konsep sentral ini.
 Konsep tajalli adalah tiang filsafat Ibn Arabi tentang wahdat al-wujud, karena tajalli ditafsirkan sebagai penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari Yang Satu tanpa membuat Yang Satu menjadi yang banyak. Ibn Arabi mengatakan bahwa allah mempunyai dua tahap tajalli. Al-tajalli al-ghaybi (penampakan diri Ghaib) dan al-tajalli al-Syuhudi (Penampakan diri nyata).
Tajalli pertama, yang disebut pula al-fayd al-Aqdas (emanasi paling suci), adalah penampakan diri Tuhan kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk “entitas-entitas permanen”. Entitas-entitas permanen adalah realitas yang ada dalam ilmu Tuhan, tetapi tidak ada dalam alam nyata. Enntitas-entitas permanen tidak lain dari bentuk-bentuk penampakan nama Tuhan pada taraf kemungkinan-kemungkinan ontologis. Entitas-entitas permanen yang selamanya tdak berubah dan tidak dapat dirubah, memberikan “kesiapan azali” kepada lokus tajalli kedua.
Tajalli kedua, yang disebut pula al-fayd al-Muqoddas (emanasi suci), terjadi ketika kesiapan azali diterima lokusnya, dan menjadi tempat penampakan diri Tuhan. Tajalli kedua adalah penampakan entitas-entitas permanen dari alam gaub kea lam nyata, dari potensialitas ke aktualitas, dari keesaan ke keanekaan, dari batin ke zahir. Pada saat yang sama, secara serentak “kesiapan azali” yang disebut pula “kesiapan universal”, menampakan dirinya dalam bentuk particular yang diterima segala sesuatu di ala mini, yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan. Pada tajalli kedua ini, Tuhan menampakan dirinya dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas dalam alam nyata. Alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya mempunyai wujud persis seperti apa yang telah ada sejak azali dalam “entitas-entitas permanen”.
2.   Al-Insan al-Kamil
 Doktrin al-Insan al-kamil (Manusia sempurna) dalam tasawuf ibn Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdat al-wujud yang merupakan dasar metafisisnya, adalah intisari ajaran tasawufnya. Ibn Arabi membuat perbedaan antara Manusia Sempurna tingkat universal atau kosmik dan manusia pada tingkat particular atau individual.
Manusia sempurna pada tingkat universal adalah hakikat manusia sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen Manusia sempurna individual. Adapun manusia sempurna tingkat particular adalah perwujudan manusia Sempurna, yaitu para Nabi dan para Wali Allah. Manusia sempurna pada tingkat universal yang disebut ibn Arabi dengan banyak nama misalnya al-haqiqat al-Muhammadiyyah (hakikat Muhammad)-tidak historis, tidak ada dalam alam nyata; ia hanya ada dalam ilmu Tuhan. Manusia sempurna dalam pengertian ini telah ada sejak zaman ajali dan tetap ada untuk selama-lamanya. Secara ontologis, manusia sempurna adalah asal dan tujuan alam. Ia adalah juga model kesempurnaan spiritual dan pemandu semua manusia. Ia adalah “perantara” (barzakh) antara Tuhan dan alam. Pada manusia sempurna, Yang Satu dan Yang Banyak menyatu.
Doktrin Ibn Arabi tentang Manusia Sempurna berdasar pada hadis Nabi SAW “sesungguhnya Allah telah menciptakan alam menurut bentuk-Nya”. Hadis ini menyatakan sifat teomorfis manusia dalam arti bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, adalah bahwa manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah “totalitas alam”. Karena itu ia disebut miniature alam atau alam kecil atau mikrokosmos, sedangkan alam disebut “alam besar” atau makrokosmos. Manusia, atau tepatnya manusia sempurna adalah “perpaduan” semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam.
“Perpaduan” adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang member kedudukan khilafah sebagai hak istimewa yang tidsk diberikan Allah kepada makhluk-makhluk lain. “perpaduan” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan khilafah. Tanpa syarat ini, khilafah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia atau tepatnya Manusia Sempurna. [28]

·         3. Ibnu ‘Arabi dan al-hubb al-Ilahi (cinta Ilahi)  
Di antara istilah-istilah tasawuf yang sangat terkenal adalah al-syawq (kerinduan), al-hubb (cinta), al-‘isyq (birahi), al-wajd (ekstase), al-fana (ketiadaan), dan al-Baqa (keabadian). Ibnu ‘Arabi sebagai pelopor paham wahdat al-wujud dalam bahasa tasawufnya tidak terlepas dari istilah-istilah tersebut.
Menurut Nicolson, Ibnu Arabi adalah sufi Arab-Islam terbesar. Ia muncul dengan membawa metode tasawuf baru yang menyerupai filsafat, sehingga Syekh Abu Madyan menjulukinya dengan “Sulthan al-‘Arifin” atau pemimpin para bijak (sufi). Ibnu Arabi banyak memberi pengaruh terhadap corak tasawuf Persia. Gaya imajinasi kreatifnya menjadi salah satu unsur yang melandasi komedi Ilahiyah Dante. [29]
Syi’ir-syi’ir cinta Ibnu ‘Arabi dan Wahdat al-Wujudnya ia tuangkan dalam kitabnya ‘Fushush al-Hikam’ . Hal ini dikemukan, karena salah satu tokoh penting yang sangat mempengaruhi corak tasawuf Hamzah Fansuri adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdat al-wujudnya.[30]

4.  Ibnu ‘Arabi dan Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud)
 Inti ajaran Tasawuf yang dibawa oleh Ibn Arabi; menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat. Maksudnya seluruh yang ada, walaupun ia Nampak, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya tergantung pada Tuhan sang Pencipta. Yang Nampak hanya baying-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan tidak ada, yang merupakan bayang-bayang, yang lainpun tidak ada, karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, dan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Faham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat dirinya diluar diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya, setiap kali Ia ingin melihat diri-Nya maka Ia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-haqq. Jadi walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-haqq.
Pengumpamaan Tuhan dengan ciptaan-Nya bagaikan seseorang yang melihat cermin di sekelilingnya. Di dalam setiap cermin tersebut ia dapat melihat dirinya dan akan terlihat banyak sebanyak cermin diletakkan, tetapi hakikat sebenarnya hanya satu.
Filsafat tentang keinginan Tuhan melihat diriNya dan agar dapat dikenali melalui ciptaan Nya didasarkan pada hadis Qudsi:” Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”. Dalam mengartikan hadis ini Ibn Arabi mengatakan bahwa Tuhan tidak akan dikenal bila tidak menciptakan alam. Dengan kata lain ala mini merupakan penampakan lahir Tuhan; karena dalam dunia Tasawuf setiap kali Tuhan menciptakan benda (manusia) pasti meninggalkan bekas atau kesan pada benda tersebut dan inilah yang dikenal dengan hadrah. Selanjutnya Ibn Arabi menerangkan bahwa selain untuk dikenal melalui ciptaanNya, Tuhan juga ingin mengenal dan melihat diri-Nya Sendiri dalam bentuk yang menampakkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya secara detail dan sesempurna mungkin dalam cermin alam.
Ketergantungan keberadaan segala sesuatu pada Tuhan itu dapat digambarkan dalam teori kausalitas yang harus berhenti pada sesuatu yang mutlak dan wajib keberadaannya. Alam yang memiliki sifat mungkin, keberadaannya berhajat pada yang lain. Hajat ini berlanjut terus dan berhenti pada sesuatu yang memiliki esesnsi wujud yang mutlak, berdiri sendiri, dan tidak berhajat pada yang lain serta bersifat wajib, yakni Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Dia lah yang memberikan wujud pada yang lain.
Dalam paham wahdatul wujud dikenal keberadaan Tuhan dalam kesendirian-Nya yang mutlak, tidak dikenal, dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut ‘ama’ atau ahadiat. Kemudian Ia berada dalam keadaan dengan sifat-sifatNya yang potensial agar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Keadaan ini disebut huwiyyah. Barulah Ia ingin dikenal dan ber-tajali kepada makhlukNya dengan menciptakan alam.
Pada mulanya Ia menciptakan Nur Muhammad (Hakikat Muhammad) atau Insaan Kamil (Manusia Sempurna). Nur Muhammad ini merupakan dasar atau materi awal alam; terdapat pada seluruh benda alam sebagai bahan dan potensi dasar. Nur Muhammad lah yang merupakan cermin dan tajali Tuhan pada setiap benda. Tajali terjadi ketika Tuhan berada dalam keadaan aniyah (hakikat yang bersifat parsial), agar dapat dikenal.[31]


·               Sya’ir-Sya’ir Ibn ‘Arabi
Aku
Aku Qur’an tujuh masani
Aku ruh pusat rohani
Pada insane kutitip hatiku
Kuberikan padanya lidahku ini
Tak dapat kau lihat rupakuatku
Kecuali mengecap nikmatku
Jika kau selami lautan zatku
Ajaib Nampak serta berlaku
Tersingkap rahasia setelah berlindung
Setelah ruh hakiki menjadi mendung
Siapa mengerti kandungan makna ini
Tak takut pada pedang terhunus
Seperti al-Hallaj matahari hakikat
Cinta mendalam serta melekat
Lahir “Ana al-haqq” demi singkat
Tak berkisar zat dan sifat






KUPERGI
Jika kupergi mencari Dia
Takkan putus ku mencari
Jika menjelang ke hadirat-Nya
Melejitlah Dia dariku
Walau tak jauh dari mataku
Tiada aku melihat-Nya
Semula dalam diriku Dia ada
Tapi tak bertemu sepanjang hayatku.

HARAM
Haramlah semua yang asyik
Memandang selain Dia
Jika wujud Tuhan dan cahaya-Nya
Memancarkan sinar cerlang
Segala yang kukatakan ini tiada
Selain Kau satu semata
Dari-Mu segala yang lain ini
Lahir menjelang rupanya.[32]



[1] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Juz 1, hal. 206
[2] Hal ini kemudian menjadi persoalan tersendiri bagi perguruan-perguruan Tinggi Islam yang menggunakan istilah Adab untuk nama fakultas, yang semula dimaksudkan untuk sastra, namun dipahami oleh masyarakat umum sebagai fakultas etika atau sopan santun.
[3] Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 3
[4] Dikutip dari Akhmad Muzakki, Kesusasteraan Arab; Pengantar, Teori, dan Terapan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal.
[5] Istilah ini juga menjadi rujukan bagi makna filsafat yang berasal dari kata fila dan sufia. Fila berarti mengutamakan, sufia berarti hikmah, sehingga filosofus adalah orang yang mengutamakan hikmah. Muhammad Abdul al-Mun’im Khafaji, al-Adab fi al-Turats al-Shufi, (tp: Maktabah Gharib, tth), hal. 23. Lihat juga Ahmad Fuad al-Ahmwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 19
[6]
[7] Abdul Hadi W.M, Tasawuf Yang tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 10 & 11
[8] . bait qasidah (bahr thawil) digubah oleh Hazim al-Qarthajinni (608-684 H)
[9] . tentang karakteristik syi’ir sufi, lih. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji, al-Adab fi al-Turats al-Shufi, Kairo: Maktabah Gharib, tth
[10] . Muhammad Mun’im Khafaji, hal. 182-183, dari kitab al-Shufiyah fi al-Islam, hal. 102
[11]  Yang dimaksud dengan thibaq dalam ilmu balaghah adalah mengumpulkan dua lafaz yang bertentangan maknanya (antonim), seperti kata awal dan akhir, zhahir dan bathin, dsb. Thibaq dalam ilmu Badi’ termasuk salah satu aksesoris pemanis makna (al-muhassinat al-ma’nawiyah). (Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960M/1479H, hal. 366)
[12] tauriyah adalah menyebutkan satu lafaz yang memiliki dua makna (sinonim), salah satunya makna dekat dan yang lainnya makna jauh, namun yang dikehendaki oleh penyair adalah maknanya yang jauh, sedangkan dilalah (indikator) pada makna dekat lebih jelas dibandingkan pada makna jauh, sehingga hal tersebut akan membuat pembaca atau pendengar menduga-duga makna yang sebenarnya. Tauriyah dalam ilmu Badi’ termasuk salah satu aspek pemanis makna (al-muhassinat al-ma’nawiyah). (Jawahir al-Balaghah, hal. 363-364)
[13] jinas adalah dua lafaz yang sama atau serupa namun memiliki makna yang berbeda, terbagi menjadi beberapa bagian di antaranya adalah jinas sempurna (jinas tâm), jinas tidak sempurna (jinas ghair tâm). Jinas tam yaitu kedua lafaz sama persis  dari segi huruf, jumlah huruf , harakat dan sakinahnya, serta urutannya, sedangkan gahir tam adalah jinas yang tidak memenuhi syarat pada jinas tam. Contoh jinas tam: kata sa’ah yang berarti jam, dan sa’ah yang berarti hari kiyamat. Sedangkan contoh jinas ghair tam seperti istilah: dawam al-hal min al-muhal (keabadian suatu hal adalah sebuah kemustahilan). Kata hal yang berarti keadaan dan muhal yang berarti mustahil adalah salah satu contoh dari jinas ghair tam. Jinas di dalam ilmu Badi’ termasuk al-muhassinat al-lafziyah (pemanis kata).
[14]  muqâbalah adalah menampilkan dua makna atau lebih  yang sejenis, lalu memberikan lawan-lawan katanya secara berurutan. Seperti fiman Allah SWT: fa amma man ‘a’tha wattaqa  wa shadaqa bi al-husna fa sanuyassiruhu lil al-yusra, wa amma man bakhila wastaghna wa kadzdzaba bi al-husna fa sanuyassiruhu lil al-‘usra. (barang siapa yang dermawan, bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang yang terbaik, maka ia akan Kami berikan jalan yang mudah, dan barang siapa yang kikir, dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka ia akan Kami berikan jalan yang sulit. (QS. Al-Lail ayat 5-10). Kata-kata yang terdapat pada ayat-ayat tersebut menunjukkan makna muqabalah dalam bahasa Arab. Muqabalah adalah bagian dari al-muhassinat al-ma’nawiyah. Lih. Jawahir al-Balaghah, hal. 367
[15]  yang dimaksud dengan aspek-aspek badi’iyah balaghiyah adalah aspek-aspek keindahan yang terdapat pada ilmu badi’ sebagai bagian dari ilmu balaghah dan menjadi aksesoris penambah keindahan dalam ungkapan-ungkapan sastra Arab.
[16] . al-Adab fi Turats al-Shufi, hal. 184
[17] . Mun’im Khafaji, al-Turats fi Adab al-Shufi, hal. 190, dari Fushush al-Hikam Ibnu ‘Arabi
[18] . Ibid
[19] . Mun’im Khafaji, ibid, hal. 191
[20] . data diambil dari Muhammad Abd al-Mun’im Khafaji, al-Adab fi Turats al-Shufi, ttp: Maktabah Gharib, tth, hal. 170
[21] . al-Adab fi Turats al-shufi, hal. 229
[22] Nama akhir Ibnu Arabi mengingatkan kita pada sosok penyair terkenal pada masa Jahiliyah Hatim al-Tha’I yang juga berasal dari Yaman. Berdasarkan nasab tersebut, dapat diyakini bahwa kemampuannya dalam menyusun dan menggubah syair adalah sebuah bakat alami yang ia miliki dari nenek moyangnya.
[23] Ibn Mardanisy adalah pemimpin kerajaan Mursia yang membela kerajaannya yang semakin lemah akibat serangan dinasti al-Muwahhidun yang telah menguasai andalus sejak 540/1645 dan menjadikan Seville sebagai ibukota local.
[24] Tim Penyusun, Ensikopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), jilid II, hal. 515
[25] Tim Penyusun, Ensikopedi Tasawuf, 515
[27] Tim Penyusun, Ensikopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), jilid II, hal 517-522

[28] Tim Penyusun, Ensikopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), jilid II, hal 517-522
[29] . lih. Mun’im Khafaji, al-Adab fi al-Turats al-Shufi, hal. 230
[30] . pembahasan lengkap mengenai syi’ir sufi dan karakteristiknya dapat dilihat pada buku karya Dr. Muhammad Mun’im Khafaji, al-Adab fi al-Turats al-shufi, ttp: Maktabah Gharib, tth dari hal 165-261
[31] Ensiklopedi Islam, pen: PT Ichtiar Baru Van Hoeve hal 158-159. Jilid 5
[32] Hadi Abdul W.M, Sastra Sufi Sebuah Antologi, Pen: Pustaka Firdaus, Jakarta 1991 hal 173-176
 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates