DALAM KHAZANAH SASTRA ARAB
Pengertian Sastra Sufi
Dalam bahasa Arab, istilah sastra dikenal dengan nama adab. Kata sastra Arab adalah terjemahan dari al-adab
al-‘arabi. Kata adab dalam
sastra Arab memiliki sejarah panjang, sehingga menjadi sebuah istilah
tersendiri dalam dunia sastra. Pada mulanya, istilah ini lebih dikenal dengan
makna moral, bahkan sebelumnya atau lebih tepatnya pada masa Jahiliyah istilah
ini mengandung arti undangan jamuan makan
yang salah satunya diambil dari syair:
نحن فى
المشتاة ندعو الجفلى # لا ترى الأديب فينا ينتقر
Di Musim dingin kami mengundang orang-orang
Tidak kau lihat seorang adib pun di
antara kami yang membeda-bedakan (tamu undangan)
Kata adib yang terdapat dalam syair tersebut
menurut Ibnu Mazhur dalam kamusnya Lisan al-Arab berarti orang yang
mengundang jamuan makan. Sehingga dari syair tersebut disimpulkan bahwa kata adab
adalah mashdar (gerund) dari kata adib. Jika adib
diartikan sebagai orang yang mengundang, maka adab adalah undangan jamuan
makan.
Pada saat Islam datang, istilah adab lekat
dengan makna moral (akhlak) dan juga pendidikan. Hal ini terkait erat dengan
hadis Rasulullah SAW yang menyatakan أدبنى ربى فأحسن تأديبى yang artinya: “Tuhan telah mengajariku, dan
Ia telah menyempurnakan ajarannya untukku”. Berdasarkan hadis tersebut, maka
istilah adab merupakan istilah yang sangat umum dan mencakup berbagai
hal tentang ajaran-ajaran Tuhan pada manusia, termasuk di dalamnya masalah
moralitas. Makna adab yang berarti
akhlak hingga kini masih melekat, bahkan kata ini sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti sopan santun.
Pada masa Umayyah kata Adab selain berarti
moral, ia juga digunakan secara khusus untuk istilah pengajaran. Untuk itu,
istilah mu’addib artinya sama dengan
mu’allim (guru/pengajar). Mu’addib inilah yang kemudian
secara khusus berprofesi sebagai pengajar anak-anak raja-raja. Mereka mengajarkan
berbagai hal tentang keilmuan, termasuk syair, khutbah (pidato), tarikh
(sejarah), dan lain sebagainya.
Pada masa Abbasiyah, kata adab selain memiliki
konotasi moral, istilah ini mengkristal menjadi banner sebuah bidang
keilmuan. Kata adab pada masa ini tepatnya pada abad ketiga Hijriyah hanya
digunakan untuk pengajaran sastra yaitu syi’r (puisi) dan natsr
(prosa), serta hal-hal yang terkait dengan keduanya seperti al-Akhbar
dan Ayyam al-Arab, dua istilah yang terkait erat dengan peristiwa-peristiwa
penting bangsa Arab masa dulu. Menurut Mun’im Khafaji pada abad kelima Hijriyah
istilah adab hanya di bidang keilmuan hanya khusus untuk istilah puisi dan
prosa arab.
Pengertian tentang makna sastra telah kita peroleh,
lalu apa yang dimaksud dengan sastra sufi? Istilah sufi terkait erat dengan dunia tasawuf. Asal-usul istilah dan makna sufi pada
dasarnya lebih kabur dibanding dengan istilah adab sendiri. Jika istilah
adab dapat ditelusuri maknanya dari masa Jahiliyah hingga kemudian
mengkristal menjadi makna sastra yang kita kenal, tidak demikian halnya dengan
istilah sufi. Para ahli bahasa maupun sejarawan bersilang pendapat tentang
asal-usul istilah tersebut.
Mayoritas kaum orientalis berpendapat bahwa kata sufi
(صوفى)
berasal dari bahasa Yunani sufia (سوفيا) yang berarti hikmah,
sedangkan orangnya disebut dengan al-hukama (ahli hikmah).
Maka ketika orang Arab mewarnai ibadah mereka dengan filsafat, mereka merubah
kata tersebut untuk para ahli ibadah dan filsafat kejiwaan. Salah seorang
orientalis yang berpendapat seperti ini adalah Marx. Namun demikian, sebagian
ahli berpendapat bahwa kata shufi berasal dari kata shûfah yaitu seorang ahli
ibadah dan zuhud yang hidup pada masa Jahiliyah yang bernama al-Ghauts ibn
Murr. Ia memutuskan untuk memutuskan kehidupannya untuk beribadah dan mengabdi
pada Allah di Bait al-Haram.Menurut
pendapat lainnya, kata sufi berasal dari
kata al-shafa yang berarti jernih. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata
al-shaff, yang artinya barisan, karena mereka berada dalam barisan pertama
secara hati dalam perjumpaan dengan Allah swt. Pendapat yang populer kata sufi
diambil dari kata al-Shûf yang berarti pakaian para ahli zuhud, para ahli
ibadah, Nabi dan Rasul. Ia juga pakaian para ahli agama, Nasrani dan Yahudi
pada zaman dahulu, pendeta ataupun rahib.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Hadi WM, fakar
sastra sufi Indonesia, bahwa dalam Islam, aspek-aspek ketuhanan dianggap
sebagai bagian dari keindahan. Gambaran keindahan ini menjadi landasan tersendiri
dalam dunia tasawuf. Sehingga karya-karya sastra yang ditulis oleh kaum sufi,
baik puisi maupun prosa, menjadi karya agung yang berkualitas dan sarat dengan
keindahan hakiki. Tasawuf pada hakekatnya bukan sebatas gerakan keagamaan,
namun lebih jauh ia juga dibarengi dengan gerakan kesusteraan dengan membentuk
genre tersendiri dalam dunia sastra yang oleh Braginskiy disebut dengan istilah
tasawuf puitik.
Syair Sufi dan Karakteristiknya
Meskipun dari segi fisik atau bentuk, syi’ir sufi pada dasarnya tidak
berbeda dengan syi’ir Arab lainnya, namun dari segi kandungan (madah al-syi’r) ada beberapa ciri
khusus yang membedakannya dengan syi’ir lainnya, seperti:
1. Syi’ir
sufi lebih banyak berbicara tentang jiwa atau lebih menekankan pada aspek
kejiwaan dibandingkan aspek lainnya, sehingga lebih bersifat mistis daripada
logis.
2.
Gaya
bahasa dan tema pada syi’ir sufi lebih banyak menggunakan simbol atau lambang.
3.
Syi’ir
sufi banyak mengungkapkan tentang cinta, terutama cinta Ilahi (al-hubb
al-Ilahi). Dalam ungkapan cintanya tersebut, syi’ir sufi selalu dikaitkan
dengan dunia ruhani, dunia langit, cahaya dan kemulian Tuhan.
4. Aspek
paling penting yang menjadi ciri khas gaya syi’ir sufi adalah: sarat dengan
makna, sangat imajinatif, kreatif dalam menggunakan kata untuk berbagai tujuan,
ekspresif dalam mendeskripsikan sesuatu, serta kecerdasan yang luar biasa dalam
mengilustrasikan segala bentuk pemikiran yang kemudian merangkainya dengan
cermat.
5. Di
atas semua itu sesungguhnya syi’ir sufi pada dasarnya adalah ungkapan emosi
sang penyair, personalitinya, serta gejolak perasaan terdalam yang ia rasakan.
Dengan demikian sastra sufi pada hakekatnya adalah sastra emosional murni,
untuk itu dari segi makna ia termasuk pada corak sastra romantis iluminasi
spiritualis.
6. Dalam
syi’ir sufi ada beberapa corak syi’ir yang berkembang dan semua itu berkaitan
erat dengan faham tasawuf yang dianutnya, seperti syi’ir zuhud (ascetism
poetic), syi’ir cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi), syi’ir pujian kepada
Nabi atau shalawat Nabi (al-mada’ih al-nabawiyah), syi’ir hikmah dan
moral (syi’r al-hikmah wa al-âdab), syi’ir du’a (syi’r al-du’a),
dan syi’ir pensucian Tuhan (syi’r al-tasbih).
Contoh sy’ir tasbih:
سبحان
من سبحته ألسن الأمم تسبيح حمد
بما أولى من النعم
Maha
suci, wahai Engkau yang dikuduskan oleh sekalian lisan umat
Tasbih pujian
atas sebaik-baiknya nikmat
Simbol
(al-Ramz) pada syi’ir sufi
Pada
syi’ir-sy’ir sufi biasanya banyak ditemukan simbol-simbol atau
perumpamaan-perumpamaan yang sulit dimengerti dan memerlukan interpretasi tersendiri,
yang terkadang pengertian antara makna sebenarnya dengan makna majazi tersebut
sangat jauh. Simbol pada syi’ir sufi juga tidak hanya sebatas kinayah jauh,
namun juga pada sistem penamaan simbol yang tersembunyi yang tidak diungkapkan secara jelas, seperti
kata khamar sebagai minuman yang memabukkan yang diibaratkan dengan kelezatan
pada saat bertemu Tuhan yang padarnya tidak ada relavansinya kecuali setelah
dicari kesamaan makna antara keduanya dengan melalui penafsiran tasawuf.
Makna-makna
indrawi (al-ma’ani al-hissiyah) yang digunakan sebagai simbol oleh kaum
sufi untuk menggambarkan makna-makna spiritual dan konsep-konsep mistisnya
tersebut, pada dasarnya hanyalah sebatas tampilan pisik atau kulit yang tampak
di permukaan. Untuk itu kaum sufi dalam mengekspresikan makna-makna
spiritualnya tersebut menggunakan deskripsi indrawi (al-washf al-hissy/sensory
description), percintaan indrawi (al-ghazal al-hissi), dan juga
mabuk indrawi (al-khamr al-hissy). Hal ini dilakukan dari waktu ke
waktu, tiada lain karena mereka tidak menemukan kata ataupun bahasa yang mampu
mengungkapkan rasa cinta mereka terhadap Tuhan, kecuali bahasa cinta manusia
yang bersifat indrawi. Untuk itu mereka menggunakan kata al-khamr
(minuman memabukkan), al-‘ain (mata), al-khad (pipi), rambut,
wajah dan lain sebagainya, sebagai simbol belaka untuk sesuatu yang ada di
balik itu.
Simbol-simbol yang digunakan dalam syi’ir percintaan (al-ghazal)
dan kemabukan/ekstase (al-khamr), bukanlah hal asing dalam syi’ir-syi’ir
sufi Islam. Dan yang pasti, penyimbolan yang seperti ini tidak ada yang lebih
baik dalam dunia sastra, selain perumpamaan yang diciptakan oleh kaum sufi.
Untuk itu kaum sufi pada dasarnya telah ikut menciptakan kata-kata atau
istilah-istilah baru yang lebih mendekati istilah-istilah ilmiyah yang maknanya
tidak diketahui selain oleh ahlinya. Agar makna-makna yang dimaksud dapat
dipahami secara umum, muncullah kamus-kamus khusus untuk istilah-istilah
tasawuf.
Menurut Mun’im Khafaji, biasanya simbol-simbol yang digunakan oleh
kaum sufi dalam syi’ir mereka meliputi thibaq, tauriyah, jinas,
atau muqabalah.
Aspek-aspek yang disebutkan Mun’im tersebut adalah aspek-aspek badi’iyah
balaghiyah
suatu sastra.
Terkadang simbol yang digunakan untuk menghubungkan makna hakiki
dan majazi pada syi’ir sufi berupa atribut-atribut atau mediator tertentu yang
mirip dengan kinayah dan isti’arah jauh yang terdapat dalam ilmu
Bayan. Penggunaan simbol pada syi’ir
sufi terkadang disebabkan oleh karena penyair tidak berbicara dengan bahasa
logis melainkan bahasa ruhaniah, bathiniyah, dan organ-organ perasa tersembunyi
lainnya, atau juga karena ia hendak mengungkapkan makna-makna dalam yang tidak
mungkin dipahami oleh masyarakat secara umum.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, simbol-simbol yang
terdapat pada syi’ir sufi juga terkadang meliputi gaya bahasa, seperti ijaz,
tasybih, tamtsil, isti’arah, majaz, kinayah, husnu al-ta’lil, serta kaya
dengan imajinasi (khayal). Untuk itu simbol pada syi’ir-syi’ir sufi
adalah campuran antara simbol gaya bahasa dan simbol tema, baik yang berasal
dari konsep-konsep filsafat, maupun analogi logika. Namun yang jelas penyair
sufi biasanya terbenam pada lingkaran ilmu Bayan dan Badi’ yang dibahas oleh
ilmu Balaghah.
Adapun yang membuat syi’ir sufi keluar dari lingkaran logika, hal
itu oleh karena akal sampai kapanpun tidak dapat menggambarkan segala sesuatu
kecuali hal-hal yang bersifat kongkrit, dan kaum sufi menggunakannya sebagai mediator
untuk menggambarkan semua perasaan yang dialaminya. Sebagai contoh
istilah-istilah yang biasa digunakan oleh kaum sufi dengan menggunakan simbol
adalah fana, baqa, wahdat al-wujud, dan lain sebagainya yang tidak bisa
dipahami kecuali dengan bentuk simbolis. Berikut contoh ungkapan puitis wahdat
al-wujud Ibnu ‘Arabi yang sarat dengan simbol:
يا خالق الأشياء فى نفسه
أنت لما تخلقه جامع
Wahai
Engkau Pencipta segala sesuatu dalam Dirinya
Sesungguhnya
Engkau dan ciptaanmu adalah Satu
تخلق ما لا ينتهى كونه فيك فأنت الضيق الواسع
Engkau
ciptakan segala sesuatu yang tidak pernah berakhir
Dalam
dirimu, sesungguhnya Engkau adalah yang sempit sekaligus yang luas.
Masih
dalam lingkaran paham wahdat al-wujudnya, Ibnu ‘Arabi menggubah syi’ir al-hubb al-ilahi
(puisi cinta untuk Tuhan) dengan penggunaan simbol-simbol di dalamnya:
حقيقتى همت بها وما
رآها بصرى
Hakikatku
merindukan hakikatku
Namun
pandanganku tak sanggup menembusnya
ولو
رآها لغدا قتيل ذاك
الحور
فعندما أبصرتها صرت
بحكم النظر
أبيت مسحورا بها أهيم حتى
السحر
يا حذرى من حذرى لو كان يغنى حذرى
Jikapun
dapat memandangnya, niscaya hancur
Terbunuh
pandangan itu
Pada
saatku memandangnya
Pandanganku
adalah pandanganNya
Aku
terjaga karenaNya
Berkasih
hingga terjaga
Wahai
Aku pengawasku
Seandainya
aku tidak perlu pengawasanku
Selain
Ibnu ‘Arabi, masih banyak penyair sufi lainnya yang menganut paham wahdat
al-wujud dan menggunakan simbol-simbol dalam syi’irnya, seperti Syekh Hasan
Ridhwan (1239-1310H) dalam kitabnya Raudh al-Qulub al-Mustathab,
menggubah syi’ir sufinya yang berkaitan dengan wahdat al-wujud secara simbolis,
seperti berikut ini:
وكل ما سواه نجم آفل بل فى شهود العارفين باطل
فليس إلا الله والمظاهر لجملة
الأسماء وهو الظاهر
Segala
hal selain Dia adalah bintang yang akan terbenam
Bahkan
dalam pandangan para ahli ma’rifah semuanya lenyap
Kecuali hanya Allah, dan fenomena –fenomena dengan sejumlah nama,
dan Ia adalah Zahir
Pada intinya adalah bahwasanya simbol
menjadi sangat digemari oleh kalangan sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’ir
mereka, karena terbatasnya bahasa
manusia yang tidak mampu menampung semua makna yang mereka maksudkan, terutama
makna-makna yang bersifat bathiniyah, sehingga sesuai dengan tabiat manusia yang
bersifat materi, maka pengungkapan aspek immateri tersebut diungkapkan dengan
bahasa kongkrit indrawi, namun demikian perlu interpretasi yang mendalam.
B.
Sejarah perkembangan Sastra Arab Sufi
Salah satu fenomena penting yang tidak bisa diabaikan dalam
perkembangan syi’r Arab adalah munculnya corak baru pada masa daulat Abasiyah
yang dinamakan denga al-syi’r al-wujdani (syi’ir spiritual). Syi’ir
dengan jenis seperti ini, merupakan ciri khusus penyair sufi. Syi’ir sufi pada
dasarnya adalah bagian daripada syi’ir religi Islam yang bersifat mistik,
karena lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek batin dibanding logika, meskipun
jika kita amati, sebagian sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’irnya, -selain
unsur emosi- banyak juga menggunakan aspek logika, bahkan aspek ini terkadang
tampak mendominasi, terutama pada hal-hal yang bersifat simbolis. Jadi syi’ir
sufi sesungguhnya adalah gabungan antara mistik dan filsafat.
Pembahasan mengenai perjalanan dan perkembangan syi’ir sufi
Arab-Islam, Muhammad al-Mun’im Khafaji membaginya ke dalam lima fase, yaitu:
1.
Fase
pertama sebagai fase awal sejarah perkembangan syi’ir sufi dimulai pada kisaran
tahun antara 100-200 H, sepanjang abad kedua Hijriyah, Khilafah Bani Abasiyah.
Pada fase ini syi’ir sufi berkembang apa adanya mengikuti trend saat itu, baik
dari aspek seni sastranya maupun arus pemikirannya. Syi’ir sufi pada periode
ini masih terhitung sedikit, hanya terdiri dari beberapa bait saja. Di antara
penyair sufi yang hidup pada masa tersebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (185H)
2.
Fase
kedua sekitar dua abad lamanya dari abad ke-3 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada
periode ini syi’r sufi mulai mengalami perkembangan dan kemajuan. Di antara
penyair sufi masa ini adalah Abu Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245
H), Abu Hamzah al-Khurasani wafat pada tahun 290 H, al-Mutanabi, Syarif Ridha
dan lain-lain.
3.
Fase
ketiga perkembangan syi’ir sufi berkisar antara tahun 400-600 H, kurang lebih
dua abad lamanya. Pada fase ini, sastra sufi didominasi oleh corak al-hubb
al-Ilahi (cinta Ilahi), madh al-Rasul (pujian bagi Rasul), al-syawq
ila al-amakin al-muqaddasah (kerinduan pada tempat-tempat yang disucikan),
dan ajakan kepada keutamaan ajaran Islam. Pada masa inilah mulai berkembangnya
sastra sufi Persia, dan munculnya penyair-penyair besar Arab seperti al-Ma’ari
dan Mihyar. Adapun penyair sufi yang ada
pada masa ini di antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syami (586 H), al-Rifa’I
(587 H), Abd al-Qadir al-Jilani, Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Andalusi,
dan al-Bara’i. Berikut contoh syi’r yang digubah oleh penyair besar pendiri
tarikat Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
يا من تحل بذكره عقد
النوائب والشدائد
يا من إليه المشتكى وإليه
أمر الخلق عائد
يا حي يا قيوم يا صمد تنزه
عن مضادد
أنت العليم بما بليت به
وأنت عليه شاهد
أنت الرقيب على العباد وأنت
فى الملكوت واحد
أنت المنزه يا بديع الخلق
عن ولد ووالد
أنت المعز لمن أطاعك والمذل
لكل جاحد
4.
Fase
keempat perkembangan syi’r sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah. Pada
fase inilah syi’r sufi berada pada puncak kejayaannya. Penyair-penyair besar
masa ini di antaranya adalah: Ibnu al-Faridh (632 H), Jalaluddin al-Rumi, Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M)
al-Bushairi (690 H/1290 M), Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lain
sebagainya.
Salah satu dari mereka adalah Ibnu Farid, yaitu Imam Abu Hafsh Umar
ibnu ‘Ali ibnu al-Mursyid al-Hamawi, lahir di Mesir pada tahun 632 H. Ia adalah
pemuka dari penyair sufi pada fase ini. Di antara syair-syair sufinya adalah
sebagai berikut:
فكل
الذى شاهدته فعل واحد بمفرده لكن بحجب الأكنة
إذا
ما أزال الستر لم تر غيره ولم يبقى بالأشكال إشكال ريبة
Dalam syi’ir-syi’ir tasawufnya tersebut banyak berbicara mengenai
gelora cintanya pada Tuhan yang mayoritas disajikan dalam bentuk ghazal
(cumbuan), khamr (mabuk kepayang), sebagai bagian dari syi’r Cinta Ilahi
(al-hubb al-Ilahi) dan kelezatan berjumpa dengan Tuhan (al-wushul
al-ruhi).
Meluasnya syi’ir-syi’ir ghazal indrawi (hissi) pada
penyair-penyair Arab, turut pula mempengaruhi gaya syi’ir kaum sufi. Dari syi’ir
ghazal hissi selanjutnya berpindah di tangan kaum sufi menjadi ghazal
spiritual (al-ghazal al-ruhi) yang suci. Terpengaruh gaya bahasa dan
corak tasawuf Ibnu Farid, para sufi lainnya, yang diketuai oleh Ibnu Arabi
menggubah qasidah-qasidah cinta Ilahi mereka seperti halnya Ibnu Farid.
Selanjutnya jenis syi’ir tersebut meluas ke kawasan Andalus, Spanyol, Perancis,
sebagaimana sebelumnya telah terlebih dahulu mempengaruhi wilayah Persia dan
Turki.
Dan akhirnya juga turut mempengaruhi corak puisi sufi yang ada di Indonesia,
yang diprakarsai oleh Hamzah Fansuri.
5.
Fase
kelima dari perkembangan syi’ir sufi dimulai dari abad ke-8 Hijriyah hingga
sekarang. Tokoh penyair sufi yang terkenal adalah al-Sya’rani (898-973 H),
al-Nabalsi (1143 H), dan lain sebagainya.
C.
Ibnu Arabi Penyair Sufi
Riwayat Hidup
Ibnu
Arabi adalah seorang sufi sekaligus filsuf
terbesar dalam sejarah Islam. Ia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H,
bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di daerah Mursia, Andalusia (Spanyol)
bagian Tenggara. Ayahnya,
Ali ibn Arabi, berasal dari keturunan suku Arab kuno Thayy yang terletak di wilayah Yaman. Hal ini tampak dari nama lengkapnya
Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad Ibn Arabi al-Tha’I al-Hatimi. Ayahnya salah seorang tentara ibn Mardanisy (Muhammad Ibn Sa’id
ibn Mardanisy), penguasa Mursia yang mendirikan kerajaan untuk dirinya sendiri
dengan bantuan tentara Kristen. Ibunya sendiri
berasal dari keluarga Berber dari Afrika Utara.
Selain
dikenal dengan nama ibnu Arabi (560-638 H/ 1165-1240 M) tanpa alif dan lam, ia
juga menggunakan nama Ibn al-Arabi dengan alif dan lam. Hal ini dilakukan guna
membedakannya dengan tokoh Andalusia lainnya yang juga bernama Ibnu Arabi,
seorang ahli hadis dan kadi yang hidup hamper bersamaan yaitu pada tahun
543-568 H/1076-1148 M. Selain terkenal dengan sebutan ibnu Arabi, ia juga
dikenal dengan gelar lain yaitu Muhyiddin (penghidup agama) dan al-syaekh
al-Akbar (Guru terbesar). Muhyiddin adalah gelar yang menunjukkan sebuah
kekuatan hidup yang memainkan peranan Ibn Arabi dalam pembentukan pemikiran
Islam, sedangkan al-Syaekh al-Akbar adalah gelar yang memperkenalkan Ibn Arabi
sebagai pemimpin spiritual di dunia Islam.
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville,
ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-
Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan
dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai
sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan. Yang perlu dicatat, bahwa kota
Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat
kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi
keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn
Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat
sejak usia 20 tahun.
Selama menetap di Saville, Ibn
Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk
berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka.
Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn
Rusyd (1126- 1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof
Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya
wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar, menujukkan adanya
hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn
Arabi. Pengalaman- pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh
pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus
filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke
dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam
gagasannya tentang wahdat al-wujud.
Selanjutnya, pengembaraannya
semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M)
untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada
dinasti Murabbitin. Kemudian pergi ke Fez dan tinggal disana selama 4 tahun,
terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada
tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama
pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawâqi’
al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis
tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara,
sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya--
dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.
Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn
Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia
mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,al-Futuhât al-Makkiyah, disamping menyelesaikan karya-karya kecil
lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah,
Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah
(1207 M) karena tidak aman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga
kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia- rahasia
Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo
dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi
al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi
menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M). Kecuali
kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan
pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan
mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah, dan
menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam,19 di samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah
menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.
Karya Ibn ‘Arabi
Beberapa
karya terkenal Ibn Arabi akan dipaparkan secara singkat berikut. Dua karya Ibn
Arabi yang paling penting dan termasyhur adalah al-Futuhat al-Makiyah
dan Fusus al-Hikam. Judul lengkap karya pertama adalah Kitab al-Futuhat
al-Makiyah fi Ma’rifat Asrar al-Malikiyah wa Mulkiyah (Kitab
Penyingkapan-Penyingkapan Makkah tentang Pengetahuan Rahasia-Rahasia Raja dan
Kerajaan). Ia mengaku bahwa karya ini didiktekan Tuhan melalui malaikat yang
menyampaikan ilham. Karya ini mulai disusun di Makkah pada 598/1202 dan selesai
di Damaskus pada 629/1231. Karya yang terdiri dari 560 bab ini mengandung
uraian-uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan, dan juga
pengalaman-pengalaman Ibn Arabi sendiri.
Sekalipun
relatif pendek, fusus al-Hikam mungkin adalah karya Ibn Arabi
yang paling banyak dibaca, paling banyak disyarah karena paling sulit, paling
berpengaruh dan paling masyhur. Karya ini disusun di Damaskus pada 627 H/1229
M, sepuluh tahun sebelum ia wafat. Karya ini mengandung 27 bab. Setiap bab
menggunakan nama seorang nabi unutuk judulnya. Sesuai dengan judulnya, fusus
al-Hikam, karya ini bertujuan untuk memaparkan aspek-aspek tertentu
kebijaksanaan ilahi dalam konteks kehidupan dan person dua puluh tujuh Nabi.
Karya Ibn Arabi yang oleh lawan-lawannya dianggap sebaagai ungkapan rasa cinta
birahi adalah Tarjuman al-Syawaq. Secara lahiriah anggapan ini kelihatan benar.
Sebagai pembelaan untuk melawan tuduhan itu, ia menulis karya lain, Dzakha’ir
al-A’laq (khazanah-khazanah Para Pecinta), yang menjelaskan makna
esoterik puisi-puisinya dalam Tarjuman al-Sywaq. Tarjuman al-Sywaq
mengandung makna esoteric dan simbolik sebagai ungkapan rasa cinta yang membara
terhadap Tuhan. Dalam pembelaan itu ia mengatakan bahwa Tarjuman al-Sywaq
adalah kumpulan puisi-puisi tentang kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai
bentuk seperti tema-tema cinta, eulogi (sanjungan) nama-nama dan sifat
perempuan, nama-nama sungai, tempat dan bintang.
Karya Ibn Arabi yang tidak boleh dilupakan
adalah Ruh al-Quds fi al-Munasahat an-Nafs (Ruh Kesucian dalam
Menasihati Jiwa), yang sering disingkat Ruh al-Quds. Karya ini adalah dalam
bentuk risalah yang ditujukan kepada sahabat lamanya Abu Muhammad Abd al-Aziz
ibn Abu Bakr al-Qurasyi al-Mahdawi yang tinggal di Tunis. Karya ini disusun di
Makkah pada 600 H/1203-4 M dan membicarakan tiga pokok bahasan: pertama,
kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam praktik tasawuf. Kedua,
kehidupan dan ajaran-ajaran para sufi yang ditemuinya di Andalusia. Ketiga,
kesulitan dan rintangan yang ditemukan di jalan spiritual. Syajarah al-Kawn
(Pohon Kejadian) adalaha karya Ibn Arabi dalam bentuk uraian yang relative
pendek tentang kosmologi. Dengan mengembangkan simbolisme ayat
al-Qur’an,”sesunggguhnya kata yang baik adalah seperti pohon yang baik..” (QS
Ibrahim/14:24). Karya ini memaparkan doktrinnya tentang person Muhammad SAW.
Dalam karya ini, ia menguraikan keunikan Muhammad SAW sebagai perwujudan manusia
sempurna dalam hubungannya dengan Allah, manusia dan alam secara keseluruhan.
C. Ajaran-ajaran penting Ibn Arabi
1. Konsep
tajalli al-Haqq (Penampakan diri Tuhan)
Tajalli merupakan sebuah penjelmaan,
perwujudan dari Yang Tunggal, sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan
rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh. Kata yang ada kaitannya
(jalwab) merupakan kata temuan sufi untuk menggemakan kata khalwab
(“mengosongkan”, “penaikan diri”) dan untuk menggambarkan pelengkap
“kekosongan” di hadapan Tuhan, yakni dengan cara memenuhinya dengan kedamaian
penyingkapan Tuhan.
Konsep ini
terkait erat dengan doktrin wahdat al-Wujud. Konsep tajalli adalah titik sumbu
pemikiran Ibn Arabi yang menjadi dasar
pandangan dunianya. Konsep tajalli menyusupi keseluruhan bangunan pemikirannya
dan memasuki keseluruhan teorinya. Tidak satu bagian pun dari pandangan
dunianya dapat dipahami tanpa merujuk kepada konsep sentral ini.
Konsep tajalli adalah tiang filsafat Ibn Arabi
tentang wahdat al-wujud, karena tajalli ditafsirkan sebagai penciptaan, yaitu
cara munculnya yang banyak dari Yang Satu tanpa membuat Yang Satu menjadi yang
banyak. Ibn Arabi mengatakan bahwa allah mempunyai dua tahap tajalli. Al-tajalli
al-ghaybi (penampakan diri Ghaib) dan al-tajalli al-Syuhudi
(Penampakan diri nyata).
Tajalli
pertama, yang disebut pula al-fayd al-Aqdas (emanasi paling
suci), adalah penampakan diri Tuhan kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk
“entitas-entitas permanen”. Entitas-entitas permanen adalah realitas yang ada
dalam ilmu Tuhan, tetapi tidak ada dalam alam nyata. Enntitas-entitas permanen
tidak lain dari bentuk-bentuk penampakan nama Tuhan pada taraf
kemungkinan-kemungkinan ontologis. Entitas-entitas permanen yang selamanya tdak
berubah dan tidak dapat dirubah, memberikan “kesiapan azali” kepada lokus tajalli
kedua.
Tajalli
kedua, yang disebut pula al-fayd al-Muqoddas (emanasi suci), terjadi
ketika kesiapan azali diterima lokusnya, dan menjadi tempat penampakan diri
Tuhan. Tajalli kedua adalah penampakan entitas-entitas permanen dari alam gaub
kea lam nyata, dari potensialitas ke aktualitas, dari keesaan ke keanekaan,
dari batin ke zahir. Pada saat yang sama, secara serentak “kesiapan azali” yang
disebut pula “kesiapan universal”, menampakan dirinya dalam bentuk particular
yang diterima segala sesuatu di ala mini, yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan.
Pada tajalli kedua ini, Tuhan menampakan dirinya dalam bentuk-bentuk yang tidak
terbatas dalam alam nyata. Alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya
mempunyai wujud persis seperti apa yang telah ada sejak azali dalam
“entitas-entitas permanen”.
2.
Al-Insan
al-Kamil
Doktrin al-Insan al-kamil (Manusia sempurna)
dalam tasawuf ibn Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdat al-wujud
yang merupakan dasar metafisisnya, adalah intisari ajaran tasawufnya. Ibn Arabi
membuat perbedaan antara Manusia Sempurna tingkat universal atau kosmik dan
manusia pada tingkat particular atau individual.
Manusia
sempurna pada tingkat universal adalah hakikat manusia sempurna, yaitu model
asli yang abadi dan permanen Manusia sempurna individual. Adapun manusia
sempurna tingkat particular adalah perwujudan manusia Sempurna, yaitu para Nabi
dan para Wali Allah. Manusia sempurna pada tingkat universal yang disebut ibn
Arabi dengan banyak nama misalnya al-haqiqat al-Muhammadiyyah (hakikat
Muhammad)-tidak historis, tidak ada dalam alam nyata; ia hanya ada dalam ilmu
Tuhan. Manusia sempurna dalam pengertian ini telah ada sejak zaman ajali dan
tetap ada untuk selama-lamanya. Secara ontologis, manusia sempurna adalah asal
dan tujuan alam. Ia adalah juga model kesempurnaan spiritual dan pemandu semua
manusia. Ia adalah “perantara” (barzakh) antara Tuhan dan alam. Pada manusia
sempurna, Yang Satu dan Yang Banyak menyatu.
Doktrin
Ibn Arabi tentang Manusia Sempurna berdasar pada hadis Nabi SAW “sesungguhnya
Allah telah menciptakan alam menurut bentuk-Nya”. Hadis ini menyatakan sifat
teomorfis manusia dalam arti bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama
dan sifat Tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua
nama ilahi yang menampakan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, adalah bahwa
manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah “totalitas alam”.
Karena itu ia disebut miniature alam atau alam kecil atau mikrokosmos,
sedangkan alam disebut “alam besar” atau makrokosmos. Manusia, atau tepatnya manusia
sempurna adalah “perpaduan” semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam.
“Perpaduan”
adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang member kedudukan
khilafah sebagai hak istimewa yang tidsk diberikan Allah kepada makhluk-makhluk
lain. “perpaduan” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan khilafah. Tanpa
syarat ini, khilafah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini
adalah manusia atau tepatnya Manusia Sempurna.
·
3. Ibnu
‘Arabi dan al-hubb al-Ilahi (cinta Ilahi)
Di antara istilah-istilah tasawuf yang sangat terkenal adalah al-syawq
(kerinduan), al-hubb (cinta), al-‘isyq (birahi), al-wajd
(ekstase), al-fana (ketiadaan), dan al-Baqa (keabadian). Ibnu
‘Arabi sebagai pelopor paham wahdat al-wujud dalam bahasa tasawufnya
tidak terlepas dari istilah-istilah tersebut.
Menurut Nicolson, Ibnu Arabi adalah sufi Arab-Islam terbesar. Ia
muncul dengan membawa metode tasawuf baru yang menyerupai filsafat, sehingga
Syekh Abu Madyan menjulukinya dengan “Sulthan al-‘Arifin” atau pemimpin
para bijak (sufi). Ibnu Arabi banyak memberi pengaruh terhadap corak tasawuf
Persia. Gaya imajinasi kreatifnya menjadi salah satu unsur yang melandasi
komedi Ilahiyah Dante.
Syi’ir-syi’ir cinta Ibnu ‘Arabi dan
Wahdat al-Wujudnya ia tuangkan dalam kitabnya ‘Fushush al-Hikam’ . Hal
ini dikemukan, karena salah satu tokoh penting yang sangat mempengaruhi corak
tasawuf Hamzah Fansuri adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdat al-wujudnya.
4. Ibnu ‘Arabi dan Wahdatul Wujud (Kesatuan
Wujud)
Inti ajaran Tasawuf yang dibawa oleh Ibn
Arabi; menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat. Maksudnya seluruh
yang ada, walaupun ia Nampak, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya tergantung
pada Tuhan sang Pencipta. Yang Nampak hanya baying-bayang dari Yang Satu
(Tuhan). Seandainya Tuhan tidak ada, yang merupakan bayang-bayang, yang lainpun
tidak ada, karena seluruh alam ini tidak memiliki wujud dan sebenarnya yang
memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu wujud, yaitu
wujud Tuhan, dan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.
Faham
wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat dirinya diluar
diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai cermin yang merefleksikan
gambaran diri-Nya, setiap kali Ia ingin melihat diri-Nya maka Ia melihat alam
karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-haqq. Jadi walaupun segala
benda ini kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya yang ada hanya satu wujud,
yaitu al-haqq.
Pengumpamaan
Tuhan dengan ciptaan-Nya bagaikan seseorang yang melihat cermin di
sekelilingnya. Di dalam setiap cermin tersebut ia dapat melihat dirinya dan
akan terlihat banyak sebanyak cermin diletakkan, tetapi hakikat sebenarnya
hanya satu.
Filsafat
tentang keinginan Tuhan melihat diriNya dan agar dapat dikenali melalui ciptaan
Nya didasarkan pada hadis Qudsi:” Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka
pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”. Dalam mengartikan hadis ini Ibn Arabi
mengatakan bahwa Tuhan tidak akan dikenal bila tidak menciptakan alam. Dengan
kata lain ala mini merupakan penampakan lahir Tuhan; karena dalam dunia Tasawuf
setiap kali Tuhan menciptakan benda (manusia) pasti meninggalkan bekas atau
kesan pada benda tersebut dan inilah yang dikenal dengan hadrah.
Selanjutnya Ibn Arabi menerangkan bahwa selain untuk dikenal melalui
ciptaanNya, Tuhan juga ingin mengenal dan melihat diri-Nya Sendiri dalam bentuk
yang menampakkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya secara detail dan sesempurna
mungkin dalam cermin alam.
Ketergantungan
keberadaan segala sesuatu pada Tuhan itu dapat digambarkan dalam teori
kausalitas yang harus berhenti pada sesuatu yang mutlak dan wajib
keberadaannya. Alam yang memiliki sifat mungkin, keberadaannya berhajat pada
yang lain. Hajat ini berlanjut terus dan berhenti pada sesuatu yang memiliki
esesnsi wujud yang mutlak, berdiri sendiri, dan tidak berhajat pada yang lain
serta bersifat wajib, yakni Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Dia lah yang memberikan
wujud pada yang lain.
Dalam
paham wahdatul wujud dikenal keberadaan Tuhan dalam kesendirian-Nya yang
mutlak, tidak dikenal, dan tidak mempunyai sifat. Keadaan ini disebut ‘ama’
atau ahadiat. Kemudian Ia berada dalam keadaan dengan sifat-sifatNya yang
potensial agar dapat terlihat oleh diri-Nya sendiri. Keadaan ini disebut
huwiyyah. Barulah Ia ingin dikenal dan ber-tajali kepada makhlukNya dengan menciptakan
alam.
Pada
mulanya Ia menciptakan Nur Muhammad (Hakikat Muhammad) atau Insaan Kamil
(Manusia Sempurna). Nur Muhammad ini merupakan dasar atau materi awal alam;
terdapat pada seluruh benda alam sebagai bahan dan potensi dasar. Nur Muhammad
lah yang merupakan cermin dan tajali Tuhan pada setiap benda. Tajali terjadi
ketika Tuhan berada dalam keadaan aniyah (hakikat yang bersifat parsial), agar
dapat dikenal.
·
Sya’ir-Sya’ir
Ibn ‘Arabi
Aku
Aku
Qur’an tujuh masani
Aku ruh pusat rohani
Pada insane kutitip hatiku
Kuberikan padanya lidahku ini
Tak dapat kau lihat rupakuatku
Kecuali mengecap nikmatku
Jika kau selami lautan zatku
Ajaib Nampak serta berlaku
Tersingkap rahasia setelah berlindung
Setelah ruh hakiki menjadi mendung
Siapa mengerti kandungan makna ini
Tak takut pada pedang terhunus
Seperti al-Hallaj matahari hakikat
Cinta mendalam serta melekat
Lahir “Ana al-haqq” demi singkat
Tak berkisar zat dan sifat
KUPERGI
Jika kupergi mencari Dia
Takkan putus ku mencari
Jika menjelang ke hadirat-Nya
Melejitlah Dia dariku
Walau tak jauh dari mataku
Tiada aku melihat-Nya
Semula dalam diriku Dia ada
Tapi tak bertemu sepanjang hayatku.
HARAM
Haramlah semua yang asyik
Memandang selain Dia
Jika wujud Tuhan dan cahaya-Nya
Memancarkan sinar cerlang
Segala yang kukatakan ini tiada
Selain Kau satu semata
Dari-Mu segala yang lain ini