MEMAKNAI RATAPAN (RITSÂ) DALAM SYAIR ARAB JAHILIYAH
Pengertian Ritsa
Secara bahasa, istilah ritsâ
berasal dari kata ratsâ (رثى)-
yartsî (يرثى)-ratsyan
(رثيا)-ritsâ (رثاء)-riyâtsah
(رياثة)-martsâh (مرثاة),
martsiyah (مرثية)
yang mengandung arti menangisinya setelah kematiannya atau dalam bahasa Arabnya
بكاه بعد موته. Dan kalimat
رثاه بقصيدة
berarti meratapinya dengan syair.[1]
Syair bergenre ritsâ telah dikenal lama dalam sejarah sastra
Arab Jahiliyah. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah
elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah
karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.[2]
Secara singkat, Ritsâ dalam sastra Arab diartikan sebagai syair ratapan.
Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang
menyedihkan.
Menurut tim penulis buku al-Ritsâ[3],
ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat oleh penyair, yaitu al-nadb,
al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang
dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan
duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu
membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana
tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan
dengan suara yang keras dan menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata
yang tiada henti. Al-nadb banyak dijumpai dalam syair-syair Jahili.
Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini
masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa Jahiliyah, para penyair
perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi kematian seseorang.[4]
Secara umum ada lima objek
ratapan dalam al-nadb, yaitu sanak keluarga dan kerabat, diri sendiri,
Rasulullah saw dan keluarganya, juga kerajaan dan kota yang hilang. Dalam syair
Jahili yang paling terkenal adalah ratapan yang pertama, yaitu ratapan untuk
sanak keluarga dan kerabat. Pada masa Jahiliyah, jenis ini didominasi oleh para
penyair perempuan, mereka terbiasa meratapi ayahnya maupun saudara-saudaranya
yang meninggal dunia, baik meninggal secara biasa, ataupun yang disebabkan oleh
peperangan, seperti tertembak panah dan tertusuk pedang. Penyair perempuan yang
sangat terkenal dengan ritsâ al-nadb adalah al-Khansa. Selain untuk
keluarga, ratapan lain yang berkembang sejak masa Jahiliyah adalah ratapan
untuk diri sendiri. Ratapan ini dibuat menjelang kematian seseorang.[5]
Jenis ritsâ yang
kedua adalah al-ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah meninggal
dunia. Makna dasar dari al-ta’bîn pada dasarnya adalah pujian untuk
seseorang, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Lalu istilah tersebut
mengalami penyempitan makna, menjadi pujian yang khusus untuk orang yang telah
meninggal. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Arab Jahili
adalah berhenti di depan kuburan seseorang untuk mengingat perbuatan dan
tingkah lakunya semasa hidup, serta kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, lalu
memujinya. Hal itu mereka lakukan agar kenangan tentang si mayit terus terjaga
sepanjang masa.[6]
Jenis ratapan al-ta’bîn,
biasanya ditujukan untuk raja dan menteri, para bangsawan, pembesar, dermawan,
panglima perang, tokoh-tokoh agama maupun sastrawan. Jenis syair yang terkenal
pada masa Jahiliyah adalah al-ta’bîn untuk raja dan menteri yang
digunakan mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Selain itu, jenis
lainnya yang tidak kalah penting adalah al-ta’bîn untuk para bangsawan,
dermawan, para panglima perang, dan tentu saja untuk para penyair itu sendiri.[7]
Ratapan pujian ini, terkait erat dengan kondisi sosiologi bangsa Arab saat itu,
yang sangat menghormati unsur-unsur masyarakat tersebut.
Jenis ritsâ yang
terakhir adalah al-‘azâ. Makna dasar dari al-‘azâ itu
sendiri adalah sabar. Istilah ini lalu
dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan
kematian. Pada zaman Jahiliyah, penyair dalam syairnya biasanya menyabarkan
terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu keluarga, para pemimpin kabilah, dan
terakhir untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Intinya adalah bahwa para
penyair Jahiliyah biasanya menggubah ratapan al-‘azanya, pertama kali
ditujukan untuk dirinya, lalu untuk orang lain. [8]
Pada
masa Jahiliyah, syair ritsâ terutama al-nadb, lebih banyak
digubah oleh penyair perempuan. Hal ini terkait erat dengan perasaan perempuan
yang sangat sensitif, sehingga ketika ia mengalami sebuah tragedi kematian, ia
lebih emosional dibanding dengan kaum laki-laki. Namun demikian, ini tidak
berarti penyair pria tidak menyukai jenis ritsâ, hanya saja kondisi dan
tradisi yang mengelilingi mereka, menuntutnya untuk selalu berjiwa besar,
pemberani dan tidak cengeng.
Al-Khansa Penyair Ritsa
Pada
saat berbicara tentang ritsa dalam sastra Arab Jahiliyah, tentu tidak lepas
dari sosok al-Khansa seorang penyair perempuan yang hampir seluruh syairnya
bergenre ritsa (ratapan). Dalam catatan sejarah Sastra Arab, al-Khansa dianggap
sebagai penyair perempuan satu-satunya yang sangat potensial baik sebelum
masanya maupun setelahnya. Syair-syair ratapannya ia gubah secara khusus untuk
mengenang kematiab kedua saudara laki-lakinya yang bernama Mu’awiyah dan Sakhr.
Mu’awiyah
adalah saudara laki-laki sekandung, sedangkan Sakhr adalah saudara
laki-laki seayah, namun ia paling dicintai oleh Khansa, hingga hampir seluruh
syairnya ia tujukan untuk Sakhr. Hal oleh karena Sakhr seorang yang
memiliki sifat yang baik, penuh kasih, dermawan dan juga pemberani baik di
lingkungan keluarga maupun di kalangan bangsa Arab saat itu. Pada saat Sakhr
terbunuh, ia menghabiskan waktu duduk di kuburannya menangisi dan meratapinya.
Dan dari sanalah syair-syair ritsanya muncul. Sebelum kematian kedua saudaranya,
ia hanya menggubah satu atau dua bait syair. [9]
Mu’awiyah
terbunuh saat perang Haurah[10]
pertama (salah satu ayyam al-‘Arab/perang pada masa Jahiliyah) yang terjadi
antara Bani Sulaim dan Ghatfan, sedangkan Sakhr terbunuh pada saat
perang Kulâb atau Dzat al-Atsal[11]
sekitar tahun 615 M.[12]
Nama
lengkapnya adalah Tumâdir binti ‘Amr ibn al-Harts ibn al-Syarîd
ibnu Riyâh ibnu Yaqzah ibnu ‘Asiyyah ibnu Khifâf ibnu Imri
al-Qais ibnu Bahtsah[13]
ibnu Sulaim ibnu Mansûr ibnu Ikrimah ibnu hafsah ibnu Qais
ibnu ‘Ailan ibnu Mudar. Ia juga diberi gelar Ummu ‘Amr sebagaimana
diungkapkan oleh Sakhr dalam syairnya:
أرى
أمَّ عمرو لا تتملّ عيادتى وملّتْ
سليمى مضجعى ومكانى
Aku lihat Ummu
‘Amr tidak pernah bosan menengokku
Sedangkan
Sulaima[14]
sudah bosan tidur bersamaku
Selain
julukan sebagai ibu, karena kelincahan dan kecantikannya al-Khansa juga
terkenal dengan gelar lainnya yaitu al-Zabiyyah atau rusa betina.[15] Di
akhir kehidupannya, al-Khansa memeluk agama Islam bersama dengan kabilah Bani
Sulaim. Ia wafat pada masa Khalifah Utsman tahun 24 H (646 M) di kota Badiyah. [16]
Ritsa adalah
cermin konkrit dari effek budaya masyarakat saat itu. Melalui ritsa kita dapat
mengungkap berbagai fenomena yang terjadi pada bangsa Arab Jahiliyah yang
disebabkan oleh budaya perang. Dalam buku Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat fi
al-Jahiliyah wa al-Islam sebuah buku tentang biografi penyair Perempuan dan
karya mereka pada masa pra Islam dan pasca Islam, hampir seluruh penyair perempuan pada masa
Jahiliyah menggubah syair mereka dalam konteks peperangan, dan hampir
seluruhnya pula berbicara tentang ratapan kematian.[17]
Syair ritsa yang digubah oleh al-Khansa dibangun oleh
beberapa unsur yang satu sama lain saling terkait dan bersifat integral.
Unsur-unsur tersebut terdiri dari tangisan (al-buka), pujian (madah), semangat peperangan (hamasah)[18],
kebanggaan dan kehormatan (fakhr), dan ejekan (haja).
Untuk
melihat integrasi semua unsur tersebut, penulis menyajikan secara utuh salah
satu kasidah[19]
syair ratapan al-Khansa untuk Sakhr saudaranya yang meninggal dunia
dalam peperangan dalam qafiyah ra[20].
Qafiyah ra adalah qafiyah yang paling banyak digunakan oleh penyair.
يا
عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار وابكى
لصخر بدمعٍ منك مدرارِ[21]
Wahai mata, kucurkanlah air matamu
dengan deras
Tangisilah Sakhr dengan deraian air
matamu
إنى
أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui
malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
أرْعى
النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها وتارة
أتغشّى فضْلَ أطمارى
Kuawasi bintang-bintang, meski tak
seharusnya aku lakukan
Kadang (dengan) itu aku melupakan semua kemalanganku
وقد
سمعتُ فلم أبهج به خبرا مُخَبّرا
قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang
semakin berkembang cepat,
Dan aku tak senang mendengarnya
قال
ابنُ أمِّك ثاوٍ بالضريح وقد سوّوا
عليه بألواحٍ وأحجارِ
Anak laki-laki ibumu berkata, istirahatlah dalam kubur dan
Mereka telah meratakannya dengan
papan dan batu
فاذهب
فلا يُبْعدنك الله من رجلٍ منَّاعِ
ضَيْمٍ وطلاّبٍ بأوتار
Pergilah, Allah tidak akan pernah
menjauhkanmu dari laki-laki
Yang selalu membela orang yang
tertindas dan menuntut balas (dendam)
قد كنتَ تحمل قلبا غيرَ مُهْتَضَمٍ مركبا فى نصابٍ غيرِ خوّار
Ku bawa hati yang tabah ini[22]
Di atas hulu pisau yang tajam[23]
مثلَ
السِّنان تضيء الليل صورته جَلْدُ
المريرة[24]
حرّ وابنُ أحرارِ
Bagai mata lembing yang menyinari malam hari
Teguh lagi sabar, merdeka dan anak dari
seorang yang merdeka
أبكى
فتى الحيِّ نالته منيَته وكلّ
نفسٍ إلى وقتٍ ومقدارِ
Tangisilah putra kabilah yang telah
tiada
Sesungguhnya setiap jiwa itu ada
saatnyaa
وسوف
أبكيك ما ناحتْ مطوّقة وما أضاءتْ
نجوم الليل للسارى
Aku akan menangisimu tanpa henti
Hingga bintang-bintang malam tak
lagi dapat menerangi pejalan kaki
ولا
أسالم قوما كنتَ حربهم حتى
تعود بياضا جؤنةُ القار
Tak kan pernah aku berdamai dengan
kaum yang engkau perangi
Hingga aspal hitam (qâr[25])
berubah menjadi putih
أبلِغْ
سليما وعوفا إن لقيتَهم عميمةً
من نداء غير إسرار
Sampaikan pada Sulaim dan ‘Auf saat
bertemu mereka
Panggilah mereka dengan suara yang
keras
أعنِى
الذين إليهم كان منزله هل تعرفون ذمام الضيف والجار
Yakni mereka yang memang seharusnya
(diperlakukan seperti itu)
Maka apakah kalian tahu jaminan
seorang tamu dan tentangga
لو
مِنْكُمُ كان فينا لم ينلْ أبدا حتى
تلاقى أمور ذات أثار
Andai kalian seperti kami, yang
pasti tidak merasakan
Hingga mendapat suatu peristiwa yang
berbekas
كان
ابن عمّتكم حقا وضيفكم فيكم فلم
تدفعوا عنه بإخفار
Anak bibimu ini berhak, ia juga tamu
kalian
Tidakkah kalian membelanya
شدّوا
المآزر[26]
حتى يستدفّ لكم وشمِّروا إنها أيامُ
تشمار
Belalah dia hingga terpuruk ke tanah
(ajal menjemput)
Segeralah, karena ini adalah
hari-hari yang sengit
وابكوا
فتى البأس وافتْه منيته فى كل
نائبة نابتْ وأقدارِ
Tangisilah oleh kalian pemuda
pemberani yang telah dijemput ajalnya
Dalam setiap badai dan peristiwa
yang menerjang
لا
نومَ حتى تقودوا الخيلَ عابسةً ينبذْنَ
طرحا بمُهَراتٍ وأمهارِ
Tiada kata tidur hingga kalian
menuntun kuda (mengerahkan pasukan) dengan garang, yang menyerang dengan
anak-anaknya
أو
تحْفِروا حفرة فالموتُ مكتنع عند
البيوت حُصَيْنا وابنَ سيارِ
Atau kalian gali saja liang
(kuburan), kematian pasti akan datang jua
Di rumah yang terjaga atau
dalam perjalanan
والحرب
قد ركبتْ حدباء[27]
نافرة حلّتْ على طبقٍ من
ظهرها عار
Perang ini menjadikan hadba berlari
(kocar-kacir)
Tersungkur ke bumi dan dari
punggungnya keluar orang yang telanjang
كأنهم
يوم راموه بأجمعهم رامُوا
الشكيمة من ذى لِبْدَةٍ ضار
Di hari mereka memanahnya (Shakhr)
dengan segenap kekuatan mereka, mereka seakan akan memanah singa berbulu besi
yang ganas
حامي
العَرينِ لدى الهيجاء مضطلع يَفْرِى
الرجالَ بأنياب وأظفار
Sang penjaga jerumun (kandang singa)
yang perkasa dalam kecamuk peperangan
Mengejutkan kaum laki-laki
(prajurit) dengan taring dan kukunya
حتّى
تفرّجتِ الآلاف عن رجل ماضٍ على
الهول هادٍ غير محيار
Hingga membuat terkesima ribuan
laki-laki (prajurit) seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan berlari
tanpa arah
تجيش منه فُوَيْقَ الثدي جائفة بمُزْبِدٍ من نجيع الجوف فوّارِ[28]
Takut olehnya, lalu membusuk di atas payudara (dalam pelukan
wanita)
Dengan bergelimang darah
Membaca Ratapan al-Khansa
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kasidah di atas tersusun dari beberapa unsur, yaitu muqaddimah al-qasidah (pendahuluan) yang biasanya dalam bentuk tangisan, madah atau pujian, hamasah atau semangat perjuangan, fakhr atau narsisme, dan hija atau ejekan sebagai klimaks dari kasidah ritsa.
Pertanyaannya adalah apa hubungan unsur-unsur
tersebut dengan tradisi dan budaya perang bangsa Arab Jahiliyah? Untuk itu,
masing-masing unsur perlu dikaji secara kritis melalui pendekatan sosiologi
sastra.
1. Muqaddimah al-buka
(tangisan sebagai syair pembuka)
Syair
ritsa yang berkembang pada masa Jahiliyah memiliki karakteristik tersendiri.
Ciri yang paling mencolok adalah hampir setiap kasidah selalu diawali dengan
kata-kata tangisan yang disebut dengan muqaddimah al-buka. Istilah muqaddimah
al-qasîdah sendiri ditemukan pertama kali oleh penulis dari buku
karya Husein ‘Atwan dengan judul Muqaddimah
al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-Asr al-Jâhili,[29]
namun demikian ‘Atwan sama sekali tidak memberikan definisi konkrit
tentang muqaddimah al-qasîdah. Dalam bukunya tersebut ia hanya
menjelaskan macam-macam mukadimah syair yang berkembang pada masa Jahiliyah
yang dilengkapi dengan contoh masing-masing.
Istilah
muqaddimah al-qasîdah adalah gabungan kata muqaddimah dan qasidah
yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Kata Muqaddimah mengandung
arti permulaan sesuatu, atau pendahuluan, sehingga frase muqaddimah al-kitab
diartikan dengan pendahuluan buku, muqaddimah al-kalam diartikan dengan
pendahuluan pembicaraan dan muqaddimah al-Jaisy diartikan dengan pasukan
terdepan.[30]
Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia kata muqaddimah diartikan dengan
pendahulan, pembukaan, mukadimah, dan bagian depan.[31]
Sedangkan kata qasîdah dalam terminologi sastra Arab diartikan
dengan kumpulan bait-bait syair yang terdiri dari tujuh bait atau lebih[32]
memiliki qafiyah[33]
dam wazan[34]
yang sama, dengan tafi’lat[35]
yang tetap dan tidak berubah jumlahnya, menjadi satu kesatuan bait yang utuh,
dan biasanya dimulai dengan bait bermashra’[36].
Bait qasidah bisa mencapai hingga ratusan, namun yang paling umum biasanya
antara 20 hingga 50 bait. [37]
Definisi ini pada hakekatnya hanya
berlaku bagi syair Arab klasik, sebab dalam syair Arab modern qasidah sudah
bebas dari aturan-aturan qafiyah, wazan, wahdah al-bait, dan lainnya
sebagaimana dapat dilihat dalam al-syi’r al-hurr (puisi bebas).[38]
Dari
pengertian-pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqaddimah
al-qasidah adalah bait-bait syair yang berfungsi sebagai pendahuluan atau
pembuka.
Pada
kasidah di atas yang menjadi syair pembuka sekaligus menjadi karakteristik
syair ritsa adalah bait:
يا عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار وابكى
لصخر بدمعٍ منك مدرارِ[39]
Wahai mata, kucurkanlah air matamu
dengan deras
Tangisilah Sakhr dengan deraian air
matamu
Mukadimah
kasidah dalam syair ritsa selalu diawali dengan hal-hal yang terkait dengan
tangisan. Kata-kata seperti mata, air mata, menangis, cucuran, deras, dan lain
sebagainya adalah diksi yang paling banyak diminati dalam mukadimah kasidah.
Beberapa contoh lain yang menggunakan mata, tangisan, dan hal-hal lain yang
terkait dengan ratapan dalam syair al-Khansa:
يا عين ما لكِ لا تبكين تَسْكابا إذْ
راب دهر وكان الدهر ريابا
Wahai mata,
tidakkah kau berurai air mata
Saat waktu
menjadi galau, dan sungguh memang galau
يا عين جودى بدمع منك مسكوبِ كلؤلؤٍ
جال فى الأسماط مثقوبِ
Wahai mata,
menangislah denga air matamu dengan deras
Seperti mutiara
yang berkilau di kalung
ألا يا عين فانهمرى وقلّتْ لمرزئةٍ
أصبتُ بها تولَّت
Wahai mata,
mengalirlah, dan kenapa sedikit
Untuk sebuah
musibah yang menimpaku secara terus menerus
يا عين جودى بالدمو ـع
المستهلاّتِ السوافح
Wahai mata,
mengalirlah dengan air mata yang deras
أعينيَّ جودا ولا تجمّدا ألا
تبكيان لصخر الندى
Wahai mata,
mengalirlah dan janganlah membeku
Tidakkah kau
menangisi Sakhr yang baik
ألا يا عين فانهمرى بغدر وفيضى
فيضة من غير نزر
Aduhai mataku,
mengucurlah dengan deras
Dan mengalirlah
bagai banjir
Dari
contoh-contoh tersebut, tampak ada kesamaan antara satu mukadimah dengan
mukadimah lainnya. Pertama, hampir seluruh syair ritsa al-Khansa
menggunakan mata sebagai orang kedua (mukhatab) dalam
mendialogkan kesedihannya. Hal ini tentu saja menjadi indikasi masih
sederhananya pola fikir bangsa Arab saat itu, mereka hanya merujuk pada hal-hal
yang bersifat fisik dan kasat mata seperti mata, tangisan dan air mata. Bagi
bangsa Arab Jahiliyah, wujud-wujud konkrit tersebut menjadi simbol kesedihan
yang nyata. Kedua, penyair menggunakan diksi yang hampir mirip antar
satu mukadimah dengan mukadimah lainnya. Sebagai contoh, pada mukadimah pertama
penyair menggunakan kata tabkin yang artinya menangislah yang kemudian
dipertegas dengan kata taskaba yang berarti tercurah atau bercucuran.
Pada mukadimah yang kedua, kata mata (ain) dirangkai dengan kata judi ()
yang artinya sama dengan tabkin yakni menangislah yang juga dipertegas dengan kata
maskub yang artinya sama dengan taskaba (tercurah). Mukadimah ketiga penyair
menggunakan kata inhamiri () yang berarti kucurkanlah atau alirkanlah yang pada
dasarnya sama dengan menangislah. Mukadimah keempat dan kelima penyair juga
menggunakan diksi yang sama yakni kata judi () dan juda () dan tabkiyan () yang
semuanya berarti menangislah. Pada contoh terakhir, penyair kembali menggunakan
kata yang sama dengan mukadimah sebelumnya yaitu inhamiri () dan dilengkapi
dengan kata perintah lainnya yaitu kata fidi ()yang juga memiliki arti yang
sama yakni kucurkanlah atau menangislah.
Variatifnya diksi yang digunakan
penyair dalam menggubah syair ritsanya tersebut, bagi dunia sastra mungkin
dinilai sebagai sebuah kretifitas yang hebat, namun demikian, dari kaca mata
sosiologi sastra dapat dipastikan bahwa perang pada Jahliyah telah memberi
dampak yang sangat luar biasa bagi kejiwaan kaum perempuan. Diksi-diksi
(pemilihan kata) yang variatif di atas mencerminkan betapa banyak kepedihan
yang dirasakan kaum perempuan pada masa Jahiliyah akibat perang.
Kepedihan-kepedihan yang dirasakan oleh penyair akibat peperangan kemudian
dipertegas dengan bait-bait selanjutnya yaitu:
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة كأنّما
كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui
malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
أرْعى النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها وتارة
أتغشّى فضْلَ أطمارى
Kuawasi bintang-bintang, meski tak
seharusnya aku lakukan
Kadang (dengan) itu aku melupakan semua kemalanganku
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا مُخَبّرا
قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang
semakin berkembang cepat,
Dan aku tak
senang mendengarnya
Bait-bait syair tersebut
menggambarkan bagaimana kejiwaan seseorang saat menghadapi kabar kematian orang
yang sangat dicintai, selain menangis tentu saja orang yang merasakannya tidak
lagi mampu memejamkan mata untuk tidur, yang ada hanya resah dan gelisah.
Kondisi kejiwaan seperti ini terjadi akibat perang.
Dalam
mukadimah di atas tepatnya bait pertama, ada sebuah nama yang disebutkan oleh
penyair yakni Sakhr[40].
Sakhr secara realitas ia adalah saudara laki-laki sang penyair, namun pada
hakekatnya ia adalah simbol dari sebuah kekejaman perang saat itu. Sakhr yang
disebutkan penyair adalah bukti konkrit bagaimana peperangan telah merenggut
nyawa yang seharusnya bisa memberikan makna lebih bagi kehidupan daripada
sekedar mati sia-sia.
Perang, selain mengakibatkan
kegelisahan psikis, juga mengakibatkan kegelisahan yang bersifat sosial sebagaimana
tercermin dalam kasidah ritsa qafiyah ba berikut ini:
يا عين ما لك لا تتبكين تسكابا إذ
راب دهر وكان ريابا
Wahai mata, tidakkah kau mengucurkan
air mata
Saat waktu menjadi gelap dan
menakutkan
فابكى أخاك لأيتام وأرملة وابكى
أخاكِ إذا جاورتِ أجنابا
Tangisilah saudaramu atas nama para
yatim dan janda
Dan tangisilah saudaramu, jika suatu
saat kamu bertetangga dengan orang lain
Pada
bait kedua, penyair mengungkapkan kegelisahannya akan nasib anak-anak yatim dan
para janda setelah ditinggalkan oleh Sakhr yang dianggap sebagai pembela kaum
yang lemah. Anak-anak menjadi yatim akibat ayah mereka mati terbunuh di medan
perang, dan para istri menjadi janda setelah suami mereka terbunuh. Fenomena
seperti ini, tentu saja menjadi
kegelisahan masal kaum perempuan pada masa Jahiliyah.
Tangisan
dalam mukadimah syair ritsa, sepertinya digubah tidak semata-mata untuk
meratapi kematian seseorang, namun bila diamati ada beberapa makna lain yang
tersirat dan semuanya merujuk pada persoalan perang yang terjadi pada masa itu,
yakni selain digunakan untuk menghipnotis masa atau pendengarnyak juga
berfungsi untuk menarik simpatik yang
mendengar dan mencari belas kasih. Tujuannya, tentu saja agar kelompoknya mau
membalaskan dendamnya atas kematian orang yang dikasihinya.
Semoga bermanfaat....................
[1]
Lajnah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit, h. 341
[2] Istilah
lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti
Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 27
[3] Tim Penulis, al-Ritsâ,
(ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat
dalam buku tersebut.
[4] al-Ritsâ,
hal. 12
[5] lih. al-Ritsâ, hal. 13-53
[6] al-Ritsâ,
hal. 54
[7] al-Ritsâ,
hal. 55, 62, dan 70
[8] al-Ritsâ,
hal. 86
[9] ‘Abd al-Salam
al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1985), h. 7-8
[10] Nama tempat
yang terletak di bawah kekuasaan Bani Murrah.
[11] Dzat al-Atsal
adalah nama tempat yang terletak antara kekuasaan Bani Asad dan Bani Sulaim
[12] Abd al-Salam
al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, h. 18
[13] Ada yang
mengatakan ibnu Nahyah
[14] Istri Sakhr
[15] Abd al-Salam
al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1985), h. 5
[16] Abd al-Salam
al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, h. 9
[17] Lihat Abd
Mahanna, Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat fi al-Jahiliyah wa al-Islam, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990)
[18] Dalam konteks
sastra Arab, istilah hamasah memiliki pengertian yang sangat luas. Cahya Buana,
dalam bukunya Citra Perempuan dan Syair Jahiliyah menyebutnya dengan
syair kepahlawanan. Nabilah lubis dalam bukunya al-Mu’in fi al-Adab
al-‘Arabi menyebutkan bahwa hamasah pada dasarnya masuk pada kategori fakhr
(membanggakan diri), namun bila fakhr lebih bersifat individu, hamasah bersifat
jama’ah atau kelompok dan terkait dengan peperangan. Untuk itu, hamasah
biasanya sudah pasti fakhr, namun tidak semua fakhr adalah hamasah.
[19] Kumpulan
syair-syair Arab minimal 7 bait.
[20] Qafiyah
adalah bunyi lafaz terakhir pada bait syair. Dalam diwan (kumpulan syair)
al-Khansa terdiri dari qafiyah 16 qafiyah, yaitu ba, ta, ha, dal, ra,
zay, sin, da, ain, fa, qaf, lam, mim, nun, ha, dan ya.
[21] Sebagian
meriwayatkan بدمع فيضه جارى.
Abdul al-Salâm al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1985), h. 46
[22] Makna
sebenarnya dari ghair mukhtadam adalah yang tidak hancur
[23] Arti awal dari
ghair khuwwar adalah yang tidak lemah
[24] Jald berati
kuat dan sabar, sedangkan marirah berarti teguh pendirian atau cita-cita
[25] Makna qâr yang sebenarnya adalah bahan berwarna hitam
yang biasa digunakan untuk mengecat atau mewarnai perahu atau unta. Louis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah waal-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq,
1992), cet. 32, h.665. Perumpamaan yang digunakan oleh al-Khansa sama halnya
dengan mustahil atau tidak mungkin terjadi.
[27] Hadba’ jamak
dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya
masuk. Ungkapan ini sepertinya merupakan kinayah bagi para pengecut.
[28] Fawwâr
adalah istilah atau ungkapan untuk mubâlaghah (berlebihan) atau hiperbola
[29] Husein ‘Atwan,
Muqaddimah al-Qasidah al-‘Arabiyah fi al-Syi’r al-Jahili, (Mesir: Dar
al-Ma’arif, tth)
[30] Lajnah Majma’
al-Lughah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit, h. 746
[31] Ibnu Manzur,
Lisan al-Arab, h. 469. Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, h. 1790
[32] Batas minimal
tujuah bait adalah pendapat mayoritas para ahli sastra Arab, namun demikian di
antara mereka ada yang berpendapat bisa disebut qasidah bila terdiri dari tiga
bait atau lebih, sembilan, sepuluh, bahkan lima belas. Artinya tidak ada
batasan baku jumlah bait syair sehingga bisa disebut qasidah. Emil Badi’
Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun
al-Syi’r, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1991), h. 376-377
[33] Qafiyah adalah bunyi lafaz terakhir pada bait syair, yang
dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati
yang ada di antara keduanya. Salah satu syarat penting dalam pembuatan qafiyah
adalah adanya huruf sukun yang ada ditengah-tengah antara huruf pada akhir bait
syi’ir dengan huruf yang ada sebelumnya.
[34] Wazan
dinamakan juga dengan bahr atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni
bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam
syair Arab
[35] pola-pola kata
yang terdapat pada sebuah bahr
[36] Setiap bait
syair Arab terdiri dari dua larik (baris)
[37] Emil Badi’
Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun
al-Syi’r, h. 376
[38] Emil Badi’
Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun
al-Syi’r, h. 377
[39] Sebagian
meriwayatkan بدمع فيضه جارى.
Abdul al-Salâm al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1985), h. 46
[40] Sakhr terbunuh
pada peperangan yang disebut dengan Yaum Kullab atau juga yaum
Dzatal-Atsal sekitar tahun 615 M. Dzi
Atsal adalah nama sebuah tempat yang terletak antara perkampungan Bani Asad dan
Bani Sulaim. Ia dikuburkan di gunung ‘Asib daerah kekuasaan Bani Sulaim di
samping kota Madinah.
[41] Abd Mahanna, Mu’jam
al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 43
[42] Al-Munawwir,
h. 404
[43] Abd Mahanna, Mu’jam
al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, h. 18
[44] Abd Mahanna, Mu’jam
al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, h. 274
[45] Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya, kata kamu dalam syair al-Khansa ditujukan pada
matanya sendiri sebagai lawan bicara (mukhatab).
[46] Makna
sebenarnya dari ghair mukhtadam adalah yang tidak hancur
[47] Arti awal dari
ghair khuwwar adalah yang tidak lemah
[48] Jald
berati kuat dan sabar, sedangkan marirah berarti teguh pendirian atau cita-cita
[49] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 2002), h. 835
[51] Hadba’ jamak
dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya
masuk
[52] Abdul al-Salâm
al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h.
45
[53] Dalam riwayat
lain disebutkan namanya sebagai Sulma binti Mujadda’ah.
[54]
Saudara-saudara Umru al-Qais yang telah mati terbunuh
[55] Nabilah Lubis,
al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2005), h. 29
[56] Nabilah Lubis,
al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, h. 28
[57] Ibrâhîm ‘Ali
Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56
[58] Penjelasan lengkap
mengenai syair hija, lihat Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif,
tth), hal. 5-91
[59] Tim penulis, al-Mujiz
fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, h. 58
[60] Hadba’ jamak
dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya
masuk
[61] Fawwâr
adalah istilah atau ungkapan untuk mubâlaghah (berlebihan) atau
hiperbola