Social Icons

CAHAYA SEJATI BERSUMBER DARI NURANI

Jumat, 19 Desember 2014

MAKNA RATAPAN (RITSA) DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA AL-KHANSA



MEMAKNAI RATAPAN (RITSÂ) DALAM  SYAIR ARAB JAHILIYAH

          Bagi bangsa Arab Jahiliyah, hampir semua tema syair terkait erat dengan perang. Ritsâ sebagai syair ratapan tidak diragukan lagi sangat terkait erat dengan budaya perang bangsa Arab Jahiliyah. Ritsa adalah refleksi kejiwaan masyarakat Arab saat itu sebagai imbas dari budaya perang.

Pengertian Ritsa
        Secara bahasa, istilah ritsâ berasal dari kata ratsâ (رثى)- yartsî (يرثى)-ratsyan (رثيا)-ritsâ (رثاء)-riyâtsah (رياثة)-martsâh (مرثاة), martsiyah (مرثية) yang mengandung arti menangisinya setelah kematiannya atau dalam bahasa Arabnya بكاه بعد موته. Dan kalimat  رثاه بقصيدة berarti meratapinya dengan syair.[1]
Syair bergenre ritsâ telah dikenal lama dalam sejarah sastra Arab Jahiliyah. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.[2] Secara singkat, Ritsâ dalam sastra Arab diartikan sebagai syair ratapan. Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan.
   Menurut tim penulis buku al-Ritsâ[3], ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat oleh penyair, yaitu al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Al-nadb banyak dijumpai dalam syair-syair Jahili. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa Jahiliyah, para penyair perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi kematian seseorang.[4]
   Secara umum ada lima objek ratapan dalam al-nadb, yaitu sanak keluarga dan kerabat, diri sendiri, Rasulullah saw dan keluarganya, juga kerajaan dan kota yang hilang. Dalam syair Jahili yang paling terkenal adalah ratapan yang pertama, yaitu ratapan untuk sanak keluarga dan kerabat. Pada masa Jahiliyah, jenis ini didominasi oleh para penyair perempuan, mereka terbiasa meratapi ayahnya maupun saudara-saudaranya yang meninggal dunia, baik meninggal secara biasa, ataupun yang disebabkan oleh peperangan, seperti tertembak panah dan tertusuk pedang. Penyair perempuan yang sangat terkenal dengan ritsâ al-nadb adalah al-Khansa. Selain untuk keluarga, ratapan lain yang berkembang sejak masa Jahiliyah adalah ratapan untuk diri sendiri. Ratapan ini dibuat menjelang kematian seseorang.[5]
   Jenis ritsâ yang kedua adalah al-ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah meninggal dunia. Makna dasar dari al-ta’bîn pada dasarnya adalah pujian untuk seseorang, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Lalu istilah tersebut mengalami penyempitan makna, menjadi pujian yang khusus untuk orang yang telah meninggal. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Arab Jahili adalah berhenti di depan kuburan seseorang untuk mengingat perbuatan dan tingkah lakunya semasa hidup, serta kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, lalu memujinya. Hal itu mereka lakukan agar kenangan tentang si mayit terus terjaga sepanjang masa.[6]
   Jenis ratapan al-ta’bîn, biasanya ditujukan untuk raja dan menteri, para bangsawan, pembesar, dermawan, panglima perang, tokoh-tokoh agama maupun sastrawan. Jenis syair yang terkenal pada masa Jahiliyah adalah al-ta’bîn untuk raja dan menteri yang digunakan mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Selain itu, jenis lainnya yang tidak kalah penting adalah al-ta’bîn untuk para bangsawan, dermawan, para panglima perang, dan tentu saja untuk para penyair itu sendiri.[7] Ratapan pujian ini, terkait erat dengan kondisi sosiologi bangsa Arab saat itu, yang sangat menghormati unsur-unsur masyarakat tersebut.
   Jenis ritsâ yang terakhir adalah al-‘azâ. Makna dasar dari al-‘azâ itu sendiri  adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian. Pada zaman Jahiliyah, penyair dalam syairnya biasanya menyabarkan terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu keluarga, para pemimpin kabilah, dan terakhir untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Intinya adalah bahwa para penyair Jahiliyah biasanya menggubah ratapan al-‘azanya, pertama kali ditujukan untuk dirinya, lalu untuk orang lain. [8]
Pada masa Jahiliyah, syair ritsâ terutama al-nadb, lebih banyak digubah oleh penyair perempuan. Hal ini terkait erat dengan perasaan perempuan yang sangat sensitif, sehingga ketika ia mengalami sebuah tragedi kematian, ia lebih emosional dibanding dengan kaum laki-laki. Namun demikian, ini tidak berarti penyair pria tidak menyukai jenis ritsâ, hanya saja kondisi dan tradisi yang mengelilingi mereka, menuntutnya untuk selalu berjiwa besar, pemberani dan tidak cengeng.

Al-Khansa Penyair Ritsa
Pada saat berbicara tentang ritsa dalam sastra Arab Jahiliyah, tentu tidak lepas dari sosok al-Khansa seorang penyair perempuan yang hampir seluruh syairnya bergenre ritsa (ratapan). Dalam catatan sejarah Sastra Arab, al-Khansa dianggap sebagai penyair perempuan satu-satunya yang sangat potensial baik sebelum masanya maupun setelahnya. Syair-syair ratapannya ia gubah secara khusus untuk mengenang kematiab kedua saudara laki-lakinya yang bernama Mu’awiyah dan Sakhr.
Mu’awiyah adalah saudara laki-laki sekandung, sedangkan Sakhr adalah saudara laki-laki seayah, namun ia paling dicintai oleh Khansa, hingga hampir seluruh syairnya ia tujukan untuk Sakhr. Hal oleh karena Sakhr seorang yang memiliki sifat yang baik, penuh kasih, dermawan dan juga pemberani baik di lingkungan keluarga maupun di kalangan bangsa Arab saat itu. Pada saat Sakhr terbunuh, ia menghabiskan waktu duduk di kuburannya menangisi dan meratapinya. Dan dari sanalah syair-syair ritsanya muncul. Sebelum kematian kedua saudaranya, ia hanya menggubah satu atau dua bait syair. [9]
Mu’awiyah terbunuh saat perang Haurah[10] pertama (salah satu ayyam al-‘Arab/perang pada masa Jahiliyah) yang terjadi antara Bani Sulaim dan Ghatfan, sedangkan Sakhr terbunuh pada saat perang Kulâb atau Dzat al-Atsal[11] sekitar tahun 615 M.[12]   
Nama lengkapnya adalah Tumâdir binti ‘Amr ibn al-Harts ibn al-Syarîd ibnu Riyâh ibnu Yaqzah ibnu ‘Asiyyah ibnu Khifâf ibnu Imri al-Qais ibnu Bahtsah[13] ibnu Sulaim ibnu Mansûr ibnu Ikrimah ibnu hafsah ibnu Qais ibnu ‘Ailan ibnu Mudar. Ia juga diberi gelar Ummu ‘Amr sebagaimana diungkapkan oleh Sakhr dalam syairnya:
أرى أمَّ عمرو لا تتملّ عيادتى           وملّتْ سليمى مضجعى ومكانى
Aku lihat Ummu ‘Amr tidak pernah bosan menengokku
Sedangkan Sulaima[14] sudah bosan  tidur bersamaku
 
Selain julukan sebagai ibu, karena kelincahan dan kecantikannya al-Khansa juga terkenal dengan gelar lainnya yaitu al-Zabiyyah atau rusa betina.[15] Di akhir kehidupannya, al-Khansa memeluk agama Islam bersama dengan kabilah Bani Sulaim. Ia wafat pada masa Khalifah Utsman tahun 24 H (646 M) di kota Badiyah. [16] 
Ritsa adalah cermin konkrit dari effek budaya masyarakat saat itu. Melalui ritsa kita dapat mengungkap berbagai fenomena yang terjadi pada bangsa Arab Jahiliyah yang disebabkan oleh budaya perang. Dalam buku Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat fi al-Jahiliyah wa al-Islam sebuah buku tentang biografi penyair Perempuan dan karya mereka pada masa pra Islam dan pasca Islam,  hampir seluruh penyair perempuan pada masa Jahiliyah menggubah syair mereka dalam konteks peperangan, dan hampir seluruhnya pula berbicara tentang ratapan kematian.[17]
Syair ritsa yang digubah oleh al-Khansa dibangun oleh beberapa unsur yang satu sama lain saling terkait dan bersifat integral. Unsur-unsur tersebut terdiri dari tangisan (al-buka), pujian (madah),  semangat peperangan (hamasah)[18], kebanggaan dan kehormatan (fakhr), dan ejekan (haja).
Untuk melihat integrasi semua unsur tersebut, penulis menyajikan secara utuh salah satu kasidah[19] syair ratapan al-Khansa untuk Sakhr saudaranya yang meninggal dunia dalam peperangan dalam qafiyah ra[20]. Qafiyah ra adalah qafiyah yang paling banyak digunakan oleh penyair.
يا عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار         وابكى لصخر بدمعٍ منك مدرارِ[21]
Wahai mata, kucurkanlah air matamu dengan deras
Tangisilah Sakhr dengan deraian air matamu
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة             كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
أرْعى النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها          وتارة أتغشّى فضْلَ أطمارى
Kuawasi bintang-bintang, meski tak seharusnya aku lakukan
Kadang (dengan) itu aku  melupakan semua kemalanganku
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا            مُخَبّرا قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang semakin berkembang cepat,
Dan aku tak senang mendengarnya
قال ابنُ أمِّك ثاوٍ بالضريح وقد          سوّوا عليه بألواحٍ وأحجارِ
Anak laki-laki ibumu  berkata, istirahatlah dalam kubur dan
Mereka telah meratakannya dengan papan dan batu
فاذهب فلا يُبْعدنك الله من رجلٍ       منَّاعِ ضَيْمٍ وطلاّبٍ بأوتار
Pergilah, Allah tidak akan pernah menjauhkanmu dari laki-laki
Yang selalu membela orang yang tertindas dan  menuntut balas (dendam)
قد كنتَ تحمل قلبا غيرَ مُهْتَضَمٍ         مركبا فى نصابٍ غيرِ خوّار
Ku bawa hati yang tabah ini[22]
Di atas hulu pisau yang tajam[23]
مثلَ السِّنان تضيء الليل صورته         جَلْدُ المريرة[24] حرّ وابنُ أحرارِ
 Bagai mata lembing yang menyinari malam hari
 Teguh lagi sabar, merdeka dan anak dari seorang yang merdeka
أبكى فتى الحيِّ نالته منيَته               وكلّ نفسٍ إلى وقتٍ ومقدارِ
Tangisilah putra kabilah yang telah tiada
Sesungguhnya setiap jiwa itu ada saatnyaa
وسوف أبكيك ما ناحتْ مطوّقة        وما أضاءتْ نجوم الليل للسارى
Aku akan menangisimu tanpa henti
Hingga bintang-bintang malam tak lagi dapat menerangi pejalan kaki
ولا أسالم قوما كنتَ حربهم              حتى تعود بياضا جؤنةُ القار
Tak kan pernah aku berdamai dengan kaum yang engkau perangi
Hingga aspal hitam (qâr[25]) berubah menjadi putih
أبلِغْ سليما وعوفا إن لقيتَهم             عميمةً من نداء غير إسرار
Sampaikan pada Sulaim dan ‘Auf saat bertemu mereka
Panggilah mereka dengan suara yang keras

أعنِى الذين إليهم كان منزله             هل تعرفون ذمام الضيف والجار
Yakni mereka yang memang seharusnya (diperlakukan seperti itu)
Maka apakah kalian tahu jaminan seorang tamu dan tentangga  
لو مِنْكُمُ كان فينا لم ينلْ أبدا            حتى تلاقى أمور ذات أثار
Andai kalian seperti kami, yang pasti tidak  merasakan
Hingga mendapat suatu peristiwa yang berbekas 
كان ابن عمّتكم حقا وضيفكم         فيكم فلم تدفعوا عنه بإخفار
Anak bibimu ini berhak, ia juga tamu kalian
Tidakkah kalian membelanya
شدّوا المآزر[26] حتى يستدفّ لكم       وشمِّروا إنها أيامُ تشمار
Belalah dia hingga terpuruk ke tanah (ajal menjemput)
Segeralah, karena ini adalah hari-hari yang sengit
وابكوا فتى البأس وافتْه منيته             فى كل نائبة نابتْ وأقدارِ
Tangisilah oleh kalian pemuda pemberani yang telah dijemput ajalnya
Dalam setiap badai dan peristiwa yang menerjang
لا نومَ حتى تقودوا الخيلَ عابسةً         ينبذْنَ طرحا بمُهَراتٍ وأمهارِ
Tiada kata tidur hingga kalian menuntun kuda (mengerahkan pasukan) dengan garang, yang menyerang dengan anak-anaknya
أو تحْفِروا حفرة فالموتُ مكتنع           عند البيوت حُصَيْنا وابنَ سيارِ
Atau kalian gali saja liang (kuburan), kematian pasti akan datang jua
Di rumah yang terjaga atau dalam  perjalanan
والحرب قد ركبتْ حدباء[27] نافرة                حلّتْ على طبقٍ من ظهرها عار
Perang ini menjadikan hadba berlari (kocar-kacir)
Tersungkur ke bumi dan dari punggungnya keluar orang yang telanjang
كأنهم يوم راموه بأجمعهم                رامُوا الشكيمة من ذى لِبْدَةٍ ضار
Di hari mereka memanahnya (Shakhr) dengan segenap kekuatan mereka, mereka seakan akan memanah singa berbulu besi yang ganas
حامي العَرينِ لدى الهيجاء مضطلع     يَفْرِى الرجالَ بأنياب وأظفار
Sang penjaga jerumun (kandang singa) yang perkasa dalam kecamuk peperangan
Mengejutkan kaum laki-laki (prajurit) dengan taring dan kukunya
حتّى تفرّجتِ الآلاف عن رجل         ماضٍ على الهول هادٍ غير محيار
Hingga membuat terkesima ribuan laki-laki (prajurit) seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan berlari tanpa arah
تجيش منه فُوَيْقَ الثدي جائفة            بمُزْبِدٍ من نجيع الجوف فوّارِ[28]
 Takut olehnya, lalu membusuk di atas payudara (dalam pelukan wanita)
Dengan bergelimang darah

Membaca Ratapan al-Khansa
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kasidah di atas tersusun dari beberapa unsur, yaitu muqaddimah al-qasidah (pendahuluan) yang biasanya dalam bentuk tangisan, madah atau pujian, hamasah atau semangat perjuangan, fakhr atau narsisme, dan hija atau ejekan sebagai klimaks dari kasidah ritsa.
  Pertanyaannya adalah apa hubungan unsur-unsur tersebut dengan tradisi dan budaya perang bangsa Arab Jahiliyah? Untuk itu, masing-masing unsur perlu dikaji secara kritis melalui pendekatan sosiologi sastra. 
1.      Muqaddimah al-buka (tangisan sebagai syair pembuka)
Syair ritsa yang berkembang pada masa Jahiliyah memiliki karakteristik tersendiri. Ciri yang paling mencolok adalah hampir setiap kasidah selalu diawali dengan kata-kata tangisan yang disebut dengan muqaddimah al-buka. Istilah muqaddimah al-qasîdah sendiri ditemukan pertama kali oleh penulis dari buku karya  Husein ‘Atwan dengan judul Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-Asr al-Jâhili,[29] namun demikian ‘Atwan sama sekali tidak memberikan definisi konkrit tentang muqaddimah al-qasîdah. Dalam bukunya tersebut ia hanya menjelaskan macam-macam mukadimah syair yang berkembang pada masa Jahiliyah yang dilengkapi dengan contoh masing-masing.
Istilah muqaddimah al-qasîdah adalah gabungan kata muqaddimah dan qasidah yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Kata Muqaddimah mengandung arti permulaan sesuatu, atau pendahuluan, sehingga frase muqaddimah al-kitab diartikan dengan pendahuluan buku, muqaddimah al-kalam diartikan dengan pendahuluan pembicaraan dan muqaddimah al-Jaisy diartikan dengan pasukan terdepan.[30] Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia  kata muqaddimah diartikan dengan pendahulan, pembukaan, mukadimah, dan bagian depan.[31] Sedangkan kata qasîdah dalam terminologi sastra Arab diartikan dengan kumpulan bait-bait syair yang terdiri dari tujuh bait atau lebih[32] memiliki qafiyah[33] dam wazan[34] yang sama, dengan tafi’lat[35] yang tetap dan tidak berubah jumlahnya, menjadi satu kesatuan bait yang utuh, dan biasanya dimulai dengan bait bermashra’[36]. Bait qasidah bisa mencapai hingga ratusan, namun yang paling umum biasanya antara 20 hingga 50 bait. [37] Definisi  ini pada hakekatnya hanya berlaku bagi syair Arab klasik, sebab dalam syair Arab modern qasidah sudah bebas dari aturan-aturan qafiyah, wazan, wahdah al-bait, dan lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam al-syi’r al-hurr (puisi bebas).[38]
Dari pengertian-pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqaddimah al-qasidah adalah bait-bait syair yang berfungsi sebagai pendahuluan atau pembuka.
Pada kasidah di atas yang menjadi syair pembuka sekaligus menjadi karakteristik syair ritsa adalah bait:  
يا عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار                      وابكى لصخر بدمعٍ منك مدرارِ[39]
Wahai mata, kucurkanlah air matamu dengan deras
Tangisilah Sakhr dengan deraian air matamu
Mukadimah kasidah dalam syair ritsa selalu diawali dengan hal-hal yang terkait dengan tangisan. Kata-kata seperti mata, air mata, menangis, cucuran, deras, dan lain sebagainya adalah diksi yang paling banyak diminati dalam mukadimah kasidah. Beberapa contoh lain yang menggunakan mata, tangisan, dan hal-hal lain yang terkait dengan ratapan dalam syair al-Khansa:
يا عين ما لكِ لا تبكين تَسْكابا             إذْ راب دهر وكان الدهر ريابا
Wahai mata, tidakkah kau berurai air mata
Saat waktu menjadi galau, dan sungguh memang galau

يا عين جودى بدمع منك مسكوبِ        كلؤلؤٍ جال فى الأسماط مثقوبِ
Wahai mata, menangislah denga air matamu dengan deras
Seperti mutiara yang berkilau di kalung
ألا يا عين فانهمرى وقلّتْ                 لمرزئةٍ أصبتُ بها تولَّت
Wahai mata, mengalirlah, dan kenapa sedikit
Untuk sebuah musibah yang menimpaku secara terus menerus
يا عين جودى بالدمو                                   ـع المستهلاّتِ السوافح
Wahai mata, mengalirlah dengan air mata yang deras
أعينيَّ جودا ولا تجمّدا                                  ألا تبكيان لصخر الندى
Wahai mata, mengalirlah dan janganlah membeku
Tidakkah kau menangisi Sakhr yang baik
ألا يا عين فانهمرى بغدر                  وفيضى فيضة من غير نزر
Aduhai mataku, mengucurlah dengan deras
Dan mengalirlah bagai banjir
Dari contoh-contoh tersebut, tampak ada kesamaan antara satu mukadimah dengan mukadimah lainnya. Pertama, hampir seluruh syair ritsa al-Khansa menggunakan mata sebagai orang kedua (mukhatab) dalam mendialogkan kesedihannya. Hal ini tentu saja menjadi indikasi masih sederhananya pola fikir bangsa Arab saat itu, mereka hanya merujuk pada hal-hal yang bersifat fisik dan kasat mata seperti mata, tangisan dan air mata. Bagi bangsa Arab Jahiliyah, wujud-wujud konkrit tersebut menjadi simbol kesedihan yang nyata. Kedua, penyair menggunakan diksi yang hampir mirip antar satu mukadimah dengan mukadimah lainnya. Sebagai contoh, pada mukadimah pertama penyair menggunakan kata tabkin yang artinya menangislah yang kemudian dipertegas dengan kata taskaba yang berarti tercurah atau bercucuran. Pada mukadimah yang kedua, kata mata (ain) dirangkai dengan kata judi () yang artinya sama dengan tabkin yakni menangislah yang juga dipertegas dengan kata maskub yang artinya sama dengan taskaba (tercurah). Mukadimah ketiga penyair menggunakan kata inhamiri () yang berarti kucurkanlah atau alirkanlah yang pada dasarnya sama dengan menangislah. Mukadimah keempat dan kelima penyair juga menggunakan diksi yang sama yakni kata judi () dan juda () dan tabkiyan () yang semuanya berarti menangislah. Pada contoh terakhir, penyair kembali menggunakan kata yang sama dengan mukadimah sebelumnya yaitu inhamiri () dan dilengkapi dengan kata perintah lainnya yaitu kata fidi ()yang juga memiliki arti yang sama yakni kucurkanlah atau menangislah.
            Variatifnya diksi yang digunakan penyair dalam menggubah syair ritsanya tersebut, bagi dunia sastra mungkin dinilai sebagai sebuah kretifitas yang hebat, namun demikian, dari kaca mata sosiologi sastra dapat dipastikan bahwa perang pada Jahliyah telah memberi dampak yang sangat luar biasa bagi kejiwaan kaum perempuan. Diksi-diksi (pemilihan kata) yang variatif di atas mencerminkan betapa banyak kepedihan yang dirasakan kaum perempuan pada masa Jahiliyah akibat perang. Kepedihan-kepedihan yang dirasakan oleh penyair akibat peperangan kemudian dipertegas dengan bait-bait selanjutnya yaitu:
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة               كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
أرْعى النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها                       وتارة أتغشّى فضْلَ أطمارى
Kuawasi bintang-bintang, meski tak seharusnya aku lakukan
Kadang (dengan) itu aku  melupakan semua kemalanganku
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا               مُخَبّرا قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang semakin berkembang cepat,
Dan aku tak senang mendengarnya
            Bait-bait syair tersebut menggambarkan bagaimana kejiwaan seseorang saat menghadapi kabar kematian orang yang sangat dicintai, selain menangis tentu saja orang yang merasakannya tidak lagi mampu memejamkan mata untuk tidur, yang ada hanya resah dan gelisah. Kondisi kejiwaan seperti ini terjadi akibat perang. 
Dalam mukadimah di atas tepatnya bait pertama, ada sebuah nama yang disebutkan oleh penyair yakni Sakhr[40]. Sakhr secara realitas ia adalah saudara laki-laki sang penyair, namun pada hakekatnya ia adalah simbol dari sebuah kekejaman perang saat itu. Sakhr yang disebutkan penyair adalah bukti konkrit bagaimana peperangan telah merenggut nyawa yang seharusnya bisa memberikan makna lebih bagi kehidupan daripada sekedar mati sia-sia.
            Perang, selain mengakibatkan kegelisahan psikis, juga mengakibatkan kegelisahan yang bersifat sosial sebagaimana tercermin dalam kasidah ritsa qafiyah ba berikut ini:
يا عين ما لك لا تتبكين تسكابا            إذ راب دهر وكان ريابا
Wahai mata, tidakkah kau mengucurkan air mata
Saat waktu menjadi gelap dan menakutkan
فابكى أخاك لأيتام وأرملة                 وابكى أخاكِ إذا جاورتِ أجنابا
Tangisilah saudaramu atas nama para yatim dan janda
Dan tangisilah saudaramu, jika suatu saat kamu bertetangga dengan orang lain
Pada bait kedua, penyair mengungkapkan kegelisahannya akan nasib anak-anak yatim dan para janda setelah ditinggalkan oleh Sakhr yang dianggap sebagai pembela kaum yang lemah. Anak-anak menjadi yatim akibat ayah mereka mati terbunuh di medan perang, dan para istri menjadi janda setelah suami mereka terbunuh. Fenomena seperti ini, tentu saja menjadi  kegelisahan masal kaum perempuan pada masa Jahiliyah.
Tangisan dalam mukadimah syair ritsa, sepertinya digubah tidak semata-mata untuk meratapi kematian seseorang, namun bila diamati ada beberapa makna lain yang tersirat dan semuanya merujuk pada persoalan perang yang terjadi pada masa itu, yakni selain digunakan untuk menghipnotis masa atau pendengarnyak juga berfungsi untuk  menarik simpatik yang mendengar dan mencari belas kasih. Tujuannya, tentu saja agar kelompoknya mau membalaskan dendamnya atas kematian orang yang dikasihinya.
Semoga bermanfaat....................


[1] Lajnah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit,  h. 341
[2] Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 27
[3] Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat dalam buku tersebut.
[4] al-Ritsâ, hal. 12
[5] lih.  al-Ritsâ, hal. 13-53
[6] al-Ritsâ, hal. 54
[7] al-Ritsâ, hal. 55, 62, dan 70
[8] al-Ritsâ, hal. 86
[9] ‘Abd al-Salam al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 7-8
[10] Nama tempat yang terletak di bawah kekuasaan Bani Murrah.
[11] Dzat al-Atsal adalah nama tempat yang terletak antara kekuasaan Bani Asad dan Bani Sulaim
[12] Abd al-Salam al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, h. 18
[13] Ada yang mengatakan ibnu Nahyah
[14] Istri Sakhr
[15] Abd al-Salam al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 5
[16] Abd al-Salam al-Haufi (Syarah dan tahqiq), Diwan al-Khansa,  h. 9
[17] Lihat Abd Mahanna, Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat fi al-Jahiliyah wa al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990)
[18] Dalam konteks sastra Arab, istilah hamasah memiliki pengertian yang sangat luas. Cahya Buana, dalam bukunya Citra Perempuan dan Syair Jahiliyah menyebutnya dengan syair kepahlawanan. Nabilah lubis dalam bukunya al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi menyebutkan bahwa hamasah pada dasarnya masuk pada kategori fakhr (membanggakan diri), namun bila fakhr lebih bersifat individu, hamasah bersifat jama’ah atau kelompok dan terkait dengan peperangan. Untuk itu, hamasah biasanya sudah pasti fakhr, namun tidak semua fakhr adalah hamasah. 
[19] Kumpulan syair-syair Arab minimal 7 bait.
[20] Qafiyah adalah bunyi lafaz terakhir pada bait syair. Dalam diwan (kumpulan syair) al-Khansa terdiri dari qafiyah 16 qafiyah, yaitu ba, ta, ha, dal, ra, zay, sin, da, ain, fa, qaf, lam, mim, nun, ha, dan ya. 
[21] Sebagian meriwayatkan بدمع فيضه جارى. Abdul al-Salâm al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 46
[22] Makna sebenarnya dari ghair mukhtadam adalah yang tidak hancur
[23] Arti awal dari ghair khuwwar adalah yang tidak lemah
[24] Jald berati kuat dan sabar, sedangkan marirah berarti teguh pendirian atau cita-cita
[25] Makna qâr  yang sebenarnya adalah bahan berwarna hitam yang biasa digunakan untuk mengecat atau mewarnai perahu atau unta. Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah waal-‘Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1992), cet. 32, h.665. Perumpamaan yang digunakan oleh al-Khansa sama halnya dengan mustahil atau tidak mungkin terjadi.
[26] شدّ أزره Dalam kamus diartikan dengan menolong atau membantu
[27] Hadba’ jamak dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya masuk. Ungkapan ini sepertinya merupakan kinayah bagi para pengecut.
[28] Fawwâr adalah istilah atau ungkapan untuk mubâlaghah (berlebihan) atau hiperbola
[29] Husein ‘Atwan, Muqaddimah al-Qasidah al-‘Arabiyah fi al-Syi’r al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tth)
[30] Lajnah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit,  h. 746
[31] Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, h. 469. Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 1790
[32] Batas minimal tujuah bait adalah pendapat mayoritas para ahli sastra Arab, namun demikian di antara mereka ada yang berpendapat bisa disebut qasidah bila terdiri dari tiga bait atau lebih, sembilan, sepuluh, bahkan lima belas. Artinya tidak ada batasan baku jumlah bait syair sehingga bisa disebut qasidah. Emil Badi’ Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun al-Syi’r,  (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), h. 376-377
[33] Qafiyah adalah bunyi lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. Salah satu syarat penting dalam pembuatan qafiyah adalah adanya huruf sukun yang ada ditengah-tengah antara huruf pada akhir bait syi’ir dengan huruf yang ada sebelumnya.
[34] Wazan dinamakan juga dengan bahr atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab
[35] pola-pola kata yang terdapat pada sebuah bahr
[36] Setiap bait syair Arab terdiri dari dua larik (baris)
[37] Emil Badi’ Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun al-Syi’r, h. 376
[38] Emil Badi’ Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fi ‘ilm al-‘arud wa al-qafiyah wa Funun al-Syi’r, h. 377

[39] Sebagian meriwayatkan بدمع فيضه جارى. Abdul al-Salâm al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 46
[40] Sakhr terbunuh pada peperangan yang disebut dengan Yaum Kullab atau juga yaum Dzatal-Atsal  sekitar tahun 615 M. Dzi Atsal adalah nama sebuah tempat yang terletak antara perkampungan Bani Asad dan Bani Sulaim. Ia dikuburkan di gunung ‘Asib daerah kekuasaan Bani Sulaim di samping kota Madinah. 
[41] Abd Mahanna, Mu’jam al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 43
[42] Al-Munawwir, h. 404
[43] Abd Mahanna, Mu’jam al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, h. 18
[44] Abd Mahanna, Mu’jam al-Nisa’ al-Sya’irat fi al-Jahiliyyah wa al-Islam, h. 274
[45] Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kata kamu dalam syair al-Khansa ditujukan pada matanya sendiri sebagai lawan bicara (mukhatab). 
[46] Makna sebenarnya dari ghair mukhtadam adalah yang tidak hancur
[47] Arti awal dari ghair khuwwar adalah yang tidak lemah
[48] Jald berati kuat dan sabar, sedangkan marirah berarti teguh pendirian atau cita-cita
[49] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002), h. 835
[50] شدّ أزره Dalam kamus diartikan dengan menolong atau membantu
[51] Hadba’ jamak dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya masuk
[52] Abdul al-Salâm al-Haufi, Diwan al-Khansa’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 45

[53] Dalam riwayat lain disebutkan namanya sebagai Sulma binti Mujadda’ah.
[54] Saudara-saudara Umru al-Qais yang telah mati terbunuh
[55] Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2005), h. 29
[56] Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi,  h. 28
[57] Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56
[58] Penjelasan lengkap mengenai syair hija, lihat Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif, tth), hal. 5-91
[59] Tim penulis, al-Mujiz fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, h. 58
[60] Hadba’ jamak dari hadibah yang berarti perempuan yang keluar punggungnya, dada dan perutnya masuk
[61] Fawwâr adalah istilah atau ungkapan untuk mubâlaghah (berlebihan) atau hiperbola
 

Sample text

Sample Text

 
Blogger Templates