- Berdasarkan konsep Tasawuf manusia terdiri dari dua unsur, yaitu lahut (unsur-unsur ketuhanan) dan nasut (unsur-unsur kemanusiaan).
- Konsep tersebut mengisyaratkan akan adanya hubungan yang sangat erat antara manusia dengan Tuhan.
- Obsesi terbesar Tuhan pada manusia pada hakekatnya adalah melihat diriNya melalui manusia, yang berarti manusia menjadi cerminan dari eksistensi Tuhan
- Jika manusia terobsesi untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan, dengan cara meniadakan dirinya sendiri, maka Tuhan tidaklah demikian, yang dia inginkan adalah melihat manusia mencerminkan sifat-sifat yang Ia miliki dalam kehidupan manusia biasa
Rabu, 28 Januari 2015
NASUT DAN LAHUT
Selasa, 27 Januari 2015
BODONG
BODONG
Kosong..
Gosong...
Ompong..
Melompong..
Bodong..
Tanpa sengaja mereka menyatukan makna..
dalam ketiadaan..
Aku yang kosong..
tanpa makna..
lalu Kau tiupkan ...
agar aku bermakna..
hilang makna..
gosong tak berarti..
ketika kematian tiba..
Tidak..
ia masih ada..
dalam catatan penjaga..
Ompong..
hilang sebagian makna..
tak ada yang sempurna..
dalam ketidaksempurnaan..
ada keindahan..
dunia lain..
melompong..
entahlah..
aku enggan bicara..
jangan kau pulang..
jika kau bodong..
tanpa bekal..
nanti bisa dicekal..
batal..
Kosong..
Gosong...
Ompong..
Melompong..
Bodong..
Tanpa sengaja mereka menyatukan makna..
dalam ketiadaan..
Aku yang kosong..
tanpa makna..
lalu Kau tiupkan ...
agar aku bermakna..
hilang makna..
gosong tak berarti..
ketika kematian tiba..
Tidak..
ia masih ada..
dalam catatan penjaga..
hilang sebagian makna..
tak ada yang sempurna..
dalam ketidaksempurnaan..
ada keindahan..
dunia lain..
melompong..
entahlah..
aku enggan bicara..
jangan kau pulang..
jika kau bodong..
tanpa bekal..
nanti bisa dicekal..
batal..
CITRA PEREMPUAN DALAM SYAIR JAHILIYAH
Bagi yang mencari informasi tentang peran dan kiprah perempuan pada masa Jahiliyah, serta perspektif laki-laki tentang perempuan masa Jahiliyah, silahkan untuk membaca buku ini. Di dalamnya berbicara tentang sastra Jahiliyyah dari sudut pandang perempuan..
![]() |
Add caption |
Senin, 26 Januari 2015
SYAIR SUFI DALAM LINTASAN SASTRA ARAB
SYAIR SUFI
DALAM LINTASAN SASTRA ARAB
Oleh:
Cahya Buana *
Abstract: The
Arabic mystical poetry is regarded by the peoples of eastern Islamic world as
containing the very highest expressions of their psyicology and culture. The
man who wrote it or in whose honour it was written are accorded the greatest
possible veneration. This poetry is the richest source for the study of changes
and tendencies in the human mind that underlie and accompany historical
developments.
Kata Kunci:
Syair, aghrad al-Syi’r, syair sufi, al-Ramz, al-ma’ani al-hissiyah, Ibnu
‘Arabi dan al-hubb al-Ilahi
Syair
dalam lintasan sejarah sastra Arab, memiliki peranan yang sangat penting dalam
sistem sosial budaya bangsa Arab. Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab,
diduga telah ada, jauh sebelum agama Islam lahir. Syair tertua diperkirakan
berasal dari zaman Jahiliyah, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang disebut
saat ini dengan istilah syair Jahili. Pada masa Jahiliyah syair menempati
posisi penting di kalangan masyarakat Arab. Untuk itu penyair memperoleh
penghormatan dari masyarakat lebih dari seorang orator (khâtib). Pada
masa itu biasanya syair dibacakan di tengah khalayak, pada tempat-tempat
tertentu seperti pasar (sûq). Pasar syair yang paling terkenal saat itu
adalah Sûq ‘Ukkazh. Syair yang paling bagus, mendapat penghargaan dengan
digantung di atas Kabah, dan mendapat gelar al-mu’allaqât.[1]
Syair selain berfungsi sebagai media
untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga
untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka,
seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang
mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga selain
disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwân al-Arab atau
catatan sejarah bangsa Arab.[2]
Syair
ini, selanjutnya dari masa ke masa mengalami perkembangan yang sangat pesat, meskipun
sempat mengalami pasang surut, menjadi kebanggaan dan menjadi ciri khas
masyarakat Arab hingga kini. Pada masa Bani Abasiyah, sesuai dengan iklim
politik yang sangat maju, dunia syair pun mengalami perkembangan yang sangat
luar biasa. Syair akhirnya menjadi media yang jitu bagi para sastrawan dalam
mengekspresikan perasaannya.
Karakteristik
syair yang bersifat terbuka, padat dan penuh dengan makna, menjadi media yang
tepat bagi kaum sufi untuk melukiskan segala perasaan dan imajinasi mereka yang
terkadang tidak dapat dipahami masyarakat secara umum. Hal ini kemudian
menjadikan syair sufi muncul dengan corak dan gaya bahasa tersendiri.
A. Definisi Syi’ir
Ada
beberapa definisi syair yang diberikan para ahli sastra, di antaranya:
a.
al-kalâm al-mauzûn al-muqaffâ,
atau kalam Arab yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qafiyah.[3]
b.
menurut Luis Ma’ruf, syair adalah كلام
يقصد به الوزن والقافية
Syair
adalah: “ suatu kalam (ungkapan atau rangkaian kalimat) yang sengaja diberi
wazan dan qâfiyah.”
Setelah
mengalami perkembangan definisi tersebut ditambahkan dengan aspek lainnya yang
turut mempengaruhi syair, seperti:
a.
menurut Ahmad Hasan al-Zayyat,
syi’ir adalah:
الكلام
الموزون المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصور المؤثرة البليغة
Yaitu
“kalam yang sengaja disusun dengan berdasarkan pada wazan dan qafiyah,
menggambarkan imajinasi yang indah dan ilustrasi yang menarik”.
b.
Penulis buku al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu, memberikan definisi syair
tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yaitu:
الكلام
الفصيح الموزون المقفى المعبر غالبا عن صور الخيال البديع
Yaitu, kalam (ungkapan) yang fasih yang berdasarkan
pada wazan dan qafiyah, dan biasanya mengungkapkan tentang gambaran-gambaran
imajinasi yang indah.[4]
Untuk itu menurut
kesusateraan Arab, syair adalah “ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang
terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola
tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat.[5]
Dari
berbagai definisi yang dikemukakan para ahli sastra Arab di atas, dapat
disimpulkan, bahwa syair Arab terbentuk dari beberapa unsur, yaitu: wazan,
qafiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayal (imajinasi).
Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syi’ir dari
aspek fisik atau performa, sedangkan al-ghardh atau tujuan syi’ir dan
unsur khayal merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syi’ir.
B. Tema-tema syair
(aghradl al-syi’r)
Syair
di dalam sastra Arab klasik biasanya dibuat untuk tujuan tertentu yang disebut
dengan aghradh al-syi’r. Tema-tema tersebut dari waktu ke waktu selalu
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan pola pikir
masyarakatnya. Namun demikian ada beberapa tema yang sangat familier dan biasa
mereka gunakan, di antaranya yaitu:
1.
al-madh atau syair yang dibuat dengan tujuan memuji seseorang atau sesuatu.
Corak syi’ir seperti ini sudah ada sejak masa Jahiliyyah, awal Islam, masa Bani
Umayyah, Abbasiyyah, hingga masa modern.
2. al-ghazal atau syair rayuan. Syair dalam
bentuk seperti ini disukai para penyair Arab hingga akhir masa pemerintahan
Daulat Abbasiyah, hingga era modern, bahkan ada beberapa penyair spesialis
menggubah syair percintaan, seperti Ismail Shabari.[6] Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan tradisi akibat pengaruh Barat yang
lebih mengutamakan logika.
3.
al-hijâ’ atau syi’ir
ejekan. Sebagaimana syi’ir ghazal, corak ini pun hanya mampu bertahan
atau bahkan mengalami masa kejayaan, hingga akhir pemerintahan Daulat Abasiyah,
namun jarang digunakan oleh penyair modern, terutama bentuk syi’ir ejekan
personal (al-hijâ’ al-syakhshî) . Pada masa awal Islam, jenis syi’ir
seperti ini tetap diminati, dengan maksud untuk mempertahankan agama Islam dari
cercaan dan hinaan kaum kafir dan musyrik.
4. al-hamâsah atau syi’ir penyemangat. Dunia padang pasir
dan badawi yang melingkupi wilayah Arab serta tradisi mereka yang menyukai
peperangan, menjadikan syi’ir model ini digemari di kalangan masyarakat Arab
sebagai spirit pada saat mereka berperang ataupun menundukkan dunia padang
pasir yang sangat ganas. Pada masa awal Islam dan Bani Umayah yang benyak
melakukan ekspansi, syi’ir ini sangat berguna dalam rangka memberi semangat
kaum muslimin dalam mempertahankan agama. Saat ini, syi’ir dengan corak seperti
ini, kurang digemari lagi oleh masyarakat Arab, karena mereka lebih menyukai
syi’ir nasionalis (al-syi’r al-wathani) sesuai dengan situasi dan
kondisi perpolitikan di setiap negara yang lebih mengutamakan nasionalisme.
5.
al-ritsâ atau syair
ratapan. Sebagaimana yang lainnya, al-ritsâ juga salah satu corak syair
asli Arab. Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas
kejadian yang menyedihkan. Jenis syi’ir ini tetap diminati hingga abad modern,
karena berhubungan langsung dengan kondisi kejiwaan manusia secara umum, bahkan
pada era modern ini, corak syi’ir ini berkembang lebih dari sebelumnya, sesuai
dengan kondisi kejiwaan zaman.
6. al-fakhkhar atau syi’ir yang digubah dengan tujuan untuk
membanggakan diri sesuai dengan watak bangsa Arab. Pada masa kini, syi’ir
seperti ini kurang diminati.
7.
al-washaf atau syi’ir
yang dibuat dengan tujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan sesuatu,
seperti keindahan Alam, pemandangan, kehancuran, peperangan, dan lain
sebagainya dalam bentuk deskriptif. Syi’ir ini banyak berkembang dari waktu ke
waktu karena lebih imajinatif dan inspiratif.
8.
Pada masa modern ada
beberapa jenis tujuan syi’ir yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
seperti munculnya al-syi’r al-wathani (syi’ir nasionalisme), asl-syi’r
al-ijtima’i (syi’ir sosial), dan al-syi’r al-tarikhi wa al-ta’limi (syi’ir
sejarah dan pendidikan). Pada masa modern ini, mungkin tema kemanusiaan,
sosial, serta kebudayaan lebih menarik perhatian para penyair modern.
C. Syair Sufi
Salah satu fenomena penting yang tidak bisa diabaikan dalam perkembangan
syair Arab adalah munculnya corak baru pada masa daulat Abasiyah yang dinamakan
denga al-syi’r al-wujdani (syi’ir spiritual). Syi’ir dengan jenis
seperti ini, merupakan ciri khusus penyair sufi. Syi’ir sufi pada dasarnya
adalah bagian daripada syair religi Islam yang bersifat mistik, karena lebih
banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek batin dibanding logika, meskipun jika kita
amati, sebagian sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’irnya, -selain unsur emosi-
banyak juga menggunakan aspek logika, bahkan aspek ini terkadang tampak
mendominasi, terutama pada hal-hal yang bersifat simbolis. Jadi syi’ir sufi
sesungguhnya adalah gabungan antara mistik dan filsafat.
a.
Perkembangan syi’ir sufi
Pembahasan
mengenai perjalanan dan perkembangan syi’ir sufi Arab-Islam, Muhammad al-Mun’im
Khafaji membaginya ke dalam lima fase, yaitu:
1.
Fase pertama sebagai fase awal
sejarah perkembangan syi’ir sufi dimulai pada kisaran tahun antara 100-200 H,
sepanjang abad kedua Hijriyah, pada masa Khilafah Bani Abasiyah. Pada fase ini
syi’ir sufi berkembang apa adanya mengikuti trend saat itu, baik dari aspek
seni sastranya maupun arus pemikirannya. Syi’ir sufi pada periode ini masih
terhitung sedikit, hanya terdiri dari beberapa bait saja. Di antara penyair
sufi yang hidup pada masa tersebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (185H)
2.
Fase kedua sekitar dua abad
lamanya dari abad ke-3 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada periode ini syi’r sufi
mulai mengalami perkembangan dan kemajuan. Di antara penyair sufi masa ini
adalah Abu Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245 H), Abu Hamzah
al-Khurasani wafat pada tahun 290 H, al-Mutanabi, Syarif Ridha dan lain-lain.
3.
Fase ketiga perkembangan syi’ir
sufi berkisar antara tahun 400-600 H, kurang lebih dua abad lamanya. Pada fase
ini, sastra sufi didominasi oleh corak al-hubb al-Ilâhi (cinta Ilahi), madh
al-Rasul (pujian bagi Rasul), al-syawq ila al-amâkin al-muqaddasah
(kerinduan pada tempat-tempat yang disucikan), dan ajakan kepada keutamaan
ajaran Islam. Pada masa inilah mulai berkembangnya sastra sufi Persia, dan
munculnya penyair-penyair besar Arab seperti al-Ma’ari dan Mihyâr. Adapun penyair sufi yang ada pada masa ini di
antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syâmi (586 H), al-Rifâ’I (587 H), Abd
al-Qadir al-Jîlani, Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Andalusi, dan
al-Bara’i. Berikut contoh syi’r yang digubah oleh penyair besar pendiri tarikat
Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani:
يا
من تحل بذكره عقد النوائب والشدائد
يا
من إليه المشتكى وإليه
أمر الخلق عائد
يا
حي يا قيوم يا صمد تنزه عن مضادد
أنت
العليم بما بليت به وأنت
عليه شاهد
أنت
الرقيب على العباد وأنت فى الملكوت واحد
أنت
المنزه يا بديع الخلق عن
ولد ووالد
أنت
المعز لمن أطاعك والمذل لكل جاحد[7]
…
Wahai Engkau
yang dengan mengingatNya terlepas semua simpul kesulitan dan kesusahan
Wahai Engkau
tampat mengadu, yang padaNya semua makhluk kembali
Wahai Engkau
yang Maha Hidup, Yang berdiri dengan sendirinya, Tempat bergantung segala
sesuatu, yang suci dari semua yang berlawanan dengan hal itu
Engkau yang tahu
dengan semua balaMu, dan Engkau pula yang menyaksikannya
Engkaulah
penjaga semua hamba, dan Engkaulah satu-satunya yang ada dalam kerajaan
Engkau yang
suci -wahai pencipta makhluk-, dari melahirkan dan dilahirkan
Engkaulah
pemberi kemuliaan bagi yang mentaatiMu, dan pemberi kehinaan bagi yang
mendurhakaiMu.
4.
Fase keempat perkembangan syi’r
sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah syi’r sufi berada
pada puncak kejayaannya. Penyair-penyair besar masa ini di antaranya adalah:
Ibnu al-Faridh (632 H), Jalaluddin al-Rumi,
Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M) al-Bushairi (690 H/1290 M), Ibnu
‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lain sebagainya.
Salah satu dari mereka adalah Ibnu Farid, yaitu Imam Abu Hafsh Umar ibnu
‘Ali ibnu al-Mursyid al-Hamawi, lahir di Mesir pada tahun 632 H. Ia adalah
pemuka dari penyair sufi pada fase ini. Di antara syair-syair sufinya adalah
sebagai berikut:
فكل الذى شاهدته فعل
واحد بمفرده لكن بحجب الأكنة
إذا ما أزال الستر لم
تر غيره ولم
يبق بالأشكال إشكال ريبة
Setiap yang
kusaksikan adalah satu, akan tetapi dari tempat yang tersembunyi
Jika tirai itu
tidak tersingkap, kau tidak akan menyaksikan yang lainnya, tidak ada bentuk
lain selain keraguan.
Dalam syair-syair tasawufnya tersebut banyak berbicara mengenai gelora
cintanya pada Tuhan yang mayoritas disajikan dalam bentuk ghazal (cumbuan),
khamr (mabuk kepayang), sebagai bagian dari syair Cinta Ilahi (al-hubb
al-Ilahi) dan kelezatan berjumpa dengan Tuhan (al-wushûl al-rûhi).
Meluasnya syair-syair ghazal indrawi (hissi) pada
penyair-penyair Arab, turut pula mempengaruhi gaya syair kaum sufi. Dari syair ghazal
hissi selanjutnya berpindah di tangan kaum sufi menjadi ghazal
spiritual yang suci (al-ghazal al-rûhi). Terpengaruh gaya bahasa dan
corak tasawuf Ibnu Farid, para sufi lainnya, yang diketuai oleh Ibnu Arabi
menggubah qasidah-qasidah cinta Ilahi mereka seperti halnya Ibnu Farid.
Selanjutnya jenis syair tersebut meluas ke kawasan Andalus, Spanyol, Perancis,
sebagaimana sebelumnya telah terlebih dahulu mempengaruhi wilayah Persia dan
Turki.[8] Dan
akhirnya juga turut mempengaruhi corak puisi sufi yang ada di Indonesia, yang
diprakarsai oleh Hamzah Fansuri.
5.
Fase kelima dari perkembangan syair
sufi dimulai dari abad ke-8 Hijriyah hingga sekarang. Tokoh penyair sufi yang
terkenal adalah al-Sya’rani (898-973 H), al-Nabalsi (1143 H), dan lain
sebagainya.
b.
Karakteristik syi’ir sufi
Meskipun
dari segi fisik atau bentuk, syi’ir sufi pada dasarnya tidak berbeda dengan
syi’ir Arab lainnya, namun dari segi kandungan
(mâdah al-syi’r) ada beberapa ciri khusus yang membedakannya
dengan syi’ir lainnya, seperti:
1.
Syi’ir sufi lebih banyak berbicara
tentang jiwa atau lebih menekankan pada aspek kejiwaan dibandingkan aspek
lainnya, sehingga lebih bersifat mistis daripada logis.
2.
Gaya bahasa dan tema pada syi’ir
sufi lebih banyak menggunakan simbol atau lambang.
3.
Syi’ir sufi banyak mengungkapkan
tentang cinta, terutama cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Dalam ungkapan
cintanya tersebut, syi’ir sufi selalu dikaitkan dengan dunia ruhani, dunia
langit, cahaya dan kemulian Tuhan.
4.
Aspek paling penting yang menjadi
ciri khas gaya syi’ir sufi adalah: sarat dengan makna, sangat imajinatif,
kreatif dalam menggunakan kata untuk berbagai tujuan, ekspresif dalam
mendeskripsikan sesuatu, serta kecerdasan yang luar biasa dalam
mengilustrasikan segala bentuk pemikiran yang kemudian merangkainya dengan
cermat.
5.
Di atas semua itu sesungguhnya
syi’ir sufi pada dasarnya adalah ungkapan emosi sang penyair, personalitinya,
serta gejolak perasaan terdalam yang ia rasakan. Dengan demikian sastra sufi
pada hakekatnya adalah sastra emosional murni, untuk itu dari segi makna ia
termasuk pada corak sastra romantis iluminasi spiritualis.
6.
Dalam syi’ir sufi ada beberapa
corak syi’ir yang berkembang dan semua itu berkaitan erat dengan faham tasawuf
yang dianutnya, seperti syi’ir zuhud (ascetism poetic), syi’ir cinta
Ilahi (al-hubb al-Ilahi), syi’ir pujian kepada Nabi atau shalawat Nabi (al-mada’ih
al-nabawiyah), syi’ir hikmah dan moral (syi’r al-hikmah wa al-âdab),
syi’ir du’a (syi’r al-du’a), dan syi’ir pensucian Tuhan (syi’r
al-tasbîh).
Contoh sy’ir tasbih:
سبحان من سبحته ألسن
الأمم تسبيح حمد بما أولى من
النعم[9]
Maha suci,
wahai Engkau yang dikuduskan oleh sekalian lisan umat
Tasbih pujian
atas sebaik-baiknya nikmat[10]
c.
Simbol (al-Ramz)
pada syi’ir sufi
Pada
syi’ir-sy’ir sufi biasanya banyak ditemukan simbol-simbol atau
perumpamaan-perumpamaan yang sulit dimengerti dan memerlukan interpretasi
tersendiri, yang terkadang pengertian antara makna sebenarnya dengan makna
majazi tersebut sangat jauh. Simbol pada syi’ir sufi juga tidak hanya sebatas
kinayah jauh, namun juga pada sistem penamaan simbol yang tersembunyi yang tidak diungkapkan secara jelas, seperti
kata khamar sebagai minuman yang memabukkan yang diibaratkan dengan kelezatan
pada saat bertemu Tuhan yang padarnya tidak ada relavansinya kecuali setelah
dicari kesamaan makna antara keduanya dengan melalui penafsiran tasawuf.
Makna-makna
indrawi (al-ma’ani al-hissiyah) yang digunakan sebagai simbol oleh kaum
sufi untuk menggambarkan makna-makna spiritual dan konsep-konsep mistisnya
tersebut, pada dasarnya hanyalah sebatas tampilan pisik atau kulit yang tampak
di permukaan. Untuk itu kaum sufi dalam mengekspresikan makna-makna
spiritualnya tersebut menggunakan deskripsi indrawi (al-washf al-hissy/sensory
description), percintaan indrawi (al-ghazal al-hissi), dan juga
mabuk indrawi (al-khamr al-hissy). Hal ini dilakukan dari waktu ke
waktu, tiada lain karena mereka tidak menemukan kata ataupun bahasa yang mampu
mengungkapkan rasa cinta mereka terhadap Tuhan, kecuali bahasa cinta manusia
yang bersifat indrawi. Untuk itu mereka menggunakan kata al-khamr
(minuman memabukkan), al-‘ain (mata), al-khad (pipi), rambut,
wajah dan lain sebagainya, sebagai simbol belaka untuk sesuatu yang ada di balik
itu.
Simbol-simbol
yang digunakan dalam syi’ir percintaan (al-ghazal) dan kemabukan/ekstase
(al-khamr), bukanlah hal asing dalam syi’ir-syi’ir sufi Islam. Dan yang
pasti, penyimbolan yang seperti ini tidak ada yang lebih baik dalam dunia
sastra, selain perumpamaan yang diciptakan oleh kaum sufi.[11] Untuk
itu kaum sufi pada dasarnya telah ikut menciptakan kata-kata atau
istilah-istilah baru yang lebih mendekati istilah-istilah ilmiyah yang maknanya
tidak diketahui selain oleh ahlinya. Agar makna-makna yang dimaksud dapat
dipahami secara umum, muncullah kamus-kamus khusus untuk istilah-istilah
tasawuf.
Menurut
Mun’im Khafaji, biasanya simbol-simbol yang digunakan oleh kaum sufi dalam syair
mereka meliputi thibâq[12],
tauriyah,[13]
jinâs,[14]
atau muqâbalah.[15]
Aspek-aspek yang disebutkan Mun’im tersebut adalah aspek-aspek badîiyah balâghiyah[16]suatu
sastra.
Terkadang
simbol yang digunakan untuk menghubungkan makna hakiki dan majazi pada syi’ir
sufi berupa atribut-atribut atau mediator tertentu yang mirip dengan kinayah
dan isti’arah jauh yang terdapat dalam ilmu Bayan. Penggunaan simbol pada syi’ir sufi terkadang
disebabkan oleh karena penyair tidak berbicara dengan bahasa logis melainkan
bahasa ruhaniah, bathiniyah, dan organ-organ perasa tersembunyi lainnya, atau
juga karena ia hendak mengungkapkan makna-makna dalam yang tidak mungkin
dipahami oleh masyarakat secara umum.
Selain
yang telah disebutkan sebelumnya, simbol-simbol yang terdapat pada syi’ir sufi
juga terkadang meliputi gaya bahasa, seperti ijaz, tasybih, tamtsil,
isti’arah, majaz, kinayah, husnu al-ta’lil, serta kaya dengan imajinasi (khayal).
Untuk itu simbol pada syi’ir-syi’ir sufi adalah campuran antara simbol gaya
bahasa dan simbol tema, baik yang berasal dari konsep-konsep filsafat, maupun
analogi logika. Namun yang jelas penyair sufi biasanya terbenam pada lingkaran
ilmu Bayan dan Badi’ yang dibahas oleh ilmu Balaghah.[17]
Adapun
yang membuat syi’ir sufi keluar dari lingkaran logika, hal itu oleh karena akal
sampai kapanpun tidak dapat menggambarkan segala sesuatu kecuali hal-hal yang
bersifat kongkrit, dan kaum sufi menggunakannya sebagai mediator untuk
menggambarkan semua perasaan yang dialaminya. Sebagai contoh istilah-istilah
yang biasa digunakan oleh kaum sufi dengan menggunakan simbol adalah fana,
baqa, wahdat al-wujud, dan lain sebagainya yang tidak bisa dipahami kecuali
dengan bentuk simbolis. Berikut contoh ungkapan puitis wahdat al-wujud
Ibnu ‘Arabi yang sarat dengan simbol:
يا
خالق الأشياء فى نفسه أنت لما تخلقه
جامع
تخلق ما لا ينتهى كونه فيك
فأنت الضيق الواسع[18]
Wahai
Engkau Pencipta segala sesuatu dalam Dirinya
Sesungguhnya
Engkau dan ciptaanmu adalah Satu
Engkau
ciptakan segala sesuatu yang tidak pernah berakhir
Dalam
dirimu, sesungguhnya Engkau adalah yang sempit sekaligus yang luas.
Masih dalam lingkaran paham wahdat
al-wujudnya, Ibnu ‘Arabi menggubah
syi’ir al-hubb al-ilahi (puisi cinta untuk Tuhan) dengan penggunaan
simbol-simbol di dalamnya:
حقيقتى
همت بها وما رآها بصرى
ولو
رآها لغدا قتيل
ذاك الحور
فعندما أبصرتها صرت
بحكم النظر
أبيت مسحورا بها أهيم حتى السحر
يا حذرى من حذرى لو كان يغنى حذرى[19]
Hakikatku
merindukan hakikatku
Namun
pandanganku tak sanggup menembusnya
Jikapun
dapat memandangnya, niscaya hancur
Terbunuh
pandangan itu
Pada
saatku memandangnya
Pandanganku
adalah pandanganNya
Aku
terjaga karenaNya
Berkasih
hingga terjaga
Wahai
Aku pengawasku
Seandainya
aku tidak perlu pengawasanku
Selain
Ibnu ‘Arabi, masih banyak penyair sufi lainnya yang menganut paham wahdat
al-wujud dan menggunakan simbol-simbol dalam syi’irnya, seperti Syekh Hasan
Ridhwan (1239-1310H) dalam kitabnya Raudh al-Qulub al-Mustathab,
menggubah syi’ir sufinya yang berkaitan dengan wahdat al-wujud secara simbolis,
seperti berikut ini:
وكل ما سواه نجم آفل بل فى شهود العارفين باطل
فليس إلا الله والمظاهر لجملة
الأسماء وهو الظاهر[20]
Segala
hal selain Dia adalah bintang yang akan terbenam
Bahkan
dalam pandangan para ahli ma’rifah semuanya lenyap
Kecuali hanya Allah, dan
fenomena –fenomena dengan sejumlah nama, dan Ia adalah Zahir
Pada intinya adalah bahwasanya simbol menjadi sangat
digemari oleh kalangan sufi dalam menciptakan syi’ir-syi’ir mereka, karena
terbatasnya bahasa manusia yang tidak
mampu menampung semua makna yang mereka maksudkan, terutama makna-makna yang
bersifat bathiniyah, sehingga sesuai dengan tabiat manusia yang bersifat
materi, maka pengungkapan aspek immateri tersebut diungkapkan dengan bahasa
kongkrit indrawi, namun demikian perlu interpretasi yang mendalam.
d.
Ibnu ‘Arabi dan
al-hubb al-Ilahi (cinta Ilahi)
Di antara istilah-istilah tasawuf yang sangat terkenal adalah al-syawq
(kerinduan), al-hubb (cinta), al-‘isyq (birahi), al-wajd
(ekstase), al-fanâ(ketiadaan), dan al-Baqa (keabadian). Ibnu
‘Arabi sebagai pelopor paham wahdat al-wujud dalam bahasa tasawufnya
tidak terlepas dari istilah-istilah tersebut.
Menurut Nicolson, Ibnu Arabi adalah sufi Arab-Islam terbesar. Ia muncul
dengan membawa metode tasawuf baru yang menyerupai filsafat, sehingga Syekh Abu
Madyan menjulukinya dengan “Sulthan al-‘Arifin” atau pemimpin para bijak
(sufi). Ibnu Arabi banyak memberi pengaruh terhadap corak tasawuf Persia. Gaya
imajinasi kreatifnya menjadi salah satu unsur yang melandasi komedi Ilahiyah
Dante. Syi’ir-syi’ir cinta Ibnu ‘Arabi dan Wahdat al-Wujudnya ia tuangkan dalam
kitabnya ‘Fushush al-Hikam [21]
D. Penutup
Syair
sufi adalah salah satu jenis syair yang berkembang dalam dunia sastra Arab yang
muncul pertama kalinya pada masa Khilafah Abbasiyah. Meskipun dari aspek bentuk
(performance) syair ini tidak berbeda dengan syair-syair lainnya, namun
dari segi kontens, syair ini memiliki karakteristik tersendiri, seperti banyak
menggunakan simbol (al-ramz), banyak mengungkapkan cinta Ilahi (al-hubb
al-ilahiyah), dan gaya bahasa metafora seperti tasybih, isti’arah, tamtsil,
dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan simbol.
- DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, jilid 4
Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah, Indonesia: Maktabah Dar
Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960M/1479H
Ibnu Husain, Muhammad Sa’ad, al-Adab al-‘Arabi wa
Tarikhuh, al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali,
1410 H
Al-Iskandari,
Ahmad dan ‘Inani, Mushtafa, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu,
Mesir: Dar al-Ma’arif
Khafaji, Muhammad Abd al-Mun’im, al-Adab fi Turats al-Shufi, ttp:
Maktabah Gharib, tth
Salâm, Zaghlûl, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd
al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’ al-Hijri, Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961
Ya’qub, Emil Badi’, al-Mu’jam
al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arudl wa al- Qafiyah wa Funun al-syi’r, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H
* Penulis adalah
dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
[1] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340
[2] Zaghlûl
Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’
al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193, lih. Juga Ensiklopedi Islam,
, hal. 340
[3] Emil
Badi’ Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arudl wa al-Qafiyah wa
Funun al-syi’r, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H, hal. 376
[4] Ahmad
al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu,
Mesir: Dar al-Ma’arif , hal. 42
[5] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1999, jilid 4, hal. 340
[6] Muhammad
Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuh, al-Mamlakah
al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H
[7] data
diambil dari Muhammad Abd al-Mun’im Khafaji, al-Adab fi Turats al-Shufi,
ttp: Maktabah Gharib, tth, hal. 170
[8] al-Adab
fi Turats al-shufi, hal. 229
[9] bait
qasidah (bahr thawil) digubah oleh Hazim al-Qarthajinni (608-684 H)
[10] tentang
karakteristik syi’ir sufi, lih. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji, al-Adab fi
al-Turats al-Shufi, Kairo: Maktabah Gharib, tth
[11]
Muhammad Mun’im Khafaji, hal. 182-183, dari kitab al-Shufiyah fi al-Islam,
hal. 102
[12] yang
dimaksud dengan thibaq dalam ilmu balaghah adalah mengumpulkan dua lafaz
yang bertentangan maknanya (antonim), seperti kata awal dan akhir, zhahir dan
bathin, dsb. Thibaq dalam ilmu Badi’ termasuk salah satu aksesoris pemanis
makna (al-muhassinat al-ma’nawiyah). (Ahmad al-Hasyimi, Jawahir
al-Balaghah, Indonesia: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah,
1960M/1479H, hal. 366)
[13] tauriyah
adalah menyebutkan satu lafaz yang memiliki dua makna (sinonim), salah satunya
makna dekat dan yang lainnya makna jauh, namun yang dikehendaki oleh penyair
adalah maknanya yang jauh, sedangkan dilalah (indikator) pada makna
dekat lebih jelas dibandingkan pada makna jauh, sehingga hal tersebut akan
membuat pembaca atau pendengar menduga-duga makna yang sebenarnya. Tauriyah
dalam ilmu Badi’ termasuk salah satu aspek pemanis makna (al-muhassinat
al-ma’nawiyah). (Jawahir al-Balaghah, hal. 363-364)
[14] jinas
adalah dua lafaz yang sama atau serupa namun memiliki makna yang berbeda,
terbagi menjadi beberapa bagian di antaranya adalah jinas sempurna (jinas tâm),
jinas tidak sempurna (jinas ghair tâm). Jinas tam yaitu kedua lafaz sama
persis dari segi huruf, jumlah huruf ,
harakat dan sakinahnya, serta urutannya, sedangkan gahir tam adalah jinas yang
tidak memenuhi syarat pada jinas tam. Contoh jinas tam: kata sa’ah
yang berarti jam, dan sa’ah yang berarti hari kiyamat. Sedangkan contoh
jinas ghair tam seperti istilah: dawam al-hal min al-muhal
(keabadian suatu hal adalah sebuah kemustahilan). Kata hal yang berarti
keadaan dan muhal yang berarti mustahil adalah salah satu contoh dari jinas
ghair tam. Jinas di dalam ilmu Badi’ termasuk al-muhassinat al-lafziyah
(pemanis kata).
[15] muqâbalah
adalah menampilkan dua makna atau lebih
yang sejenis, lalu memberikan lawan-lawan katanya secara berurutan.
Seperti fiman Allah SWT: fa amma man ‘a’tha wattaqa wa shadaqa bi al-husna fa
sanuyassiruhu lil al-yusra, wa amma man bakhila wastaghna wa
kadzdzaba bi al-husna fa sanuyassiruhu lil al-‘usra. (barang
siapa yang dermawan, bertakwa dan membenarkan adanya
pahala yang yang terbaik, maka ia akan Kami berikan jalan yang mudah,
dan barang siapa yang kikir, dan merasa dirinya cukup (tidak
memerlukan pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik,
maka ia akan Kami berikan jalan yang sulit. (QS. Al-Lail ayat 5-10).
Kata-kata yang terdapat pada ayat-ayat tersebut menunjukkan makna muqabalah
dalam bahasa Arab. Muqabalah adalah bagian dari al-muhassinat al-ma’nawiyah.
Lih. Jawahir al-Balaghah, hal. 367
[16] yang
dimaksud dengan aspek-aspek badi’iyah balaghiyah adalah aspek-aspek
keindahan yang terdapat pada ilmu badi’ sebagai bagian dari ilmu
balaghah dan menjadi aksesoris penambah keindahan dalam ungkapan-ungkapan
sastra Arab.
[17] al-Adab
fi Turats al-Shufi, hal. 184
[18] Mun’im
Khafaji, al-Adab fi turast al-Shufi, hal. 190, dari Fushush al-Hikam
Ibnu ‘Arabi
[19] Ibid, hal. 190
[20] Ibid,
hal. 191
[21] lih.
Mun’im Khafaji, al-Adab fi al-Turats al-Shufi, hal. 230
Langganan:
Postingan (Atom)